Bab 6

2.6K 123 9
                                    

Rasa dingin yang mencucuk di seluruh tubuh memaksa mata ini terbuka. Perlahan aku mengucek mata, menyesuaikan cahaya yang diterima. Setelahnya, aku menatap ke arah samping kiri dan menemukan Chaca yang sedang tidur nyenyak di dekat kakiku. Ah, kenapa dia memutar posisinya kembali?

Aku teringat pada kejadian tadi malam yang sayup-sayup mendengar suara kesal Chaca karena aku tidur duluan. Sungguh, mataku memang terasa berat malam itu. Tidak bisa ditahan lagi. Mungkin terlalu lelah karena sejak pagi tak ada istirahat sama sekali.

Membayangkan tentang permainan yang dibuat Chaca tadi malam, membuatku jadi senyum-senyum sendiri dan jengkel dalam waktu bersamaan. Jengkel karena jawabannya ... yang mengagumiku sebab telah menolongnya mendapatkan warisan.

Kuperhatikan kembali Chaca yang saat ini sedang tertidur pulas. Pantas saja dingin, selimut sudah dikuasai olehnya. Huh! Dasar egois! Memangnya hanya dia yang butuh selimut itu?

Dengan hati-hati, kutarik sedikit selimut yang dipakai oleh Chaca agar menutupi tubuhku juga.

"Nah, Begini kan baru nyaman."

Kumiringkan tubuh ke arah kanan, menatap jam kecil berwana biru yang lagi-lagi berkarakter doraemon.

Jam enam.

Aku merapatkan selimut hendak melanjutkan tidur kembali.

Apa?! Jam enam?

Seketika aku langsung terduduk. Astaga ... aku telat shalat subuh!

Astaghfirullahal'adzim ....

Dengan cepat, aku turun dari tempat tidur, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah melaksanakan shalat, aku beristighfar berkali-kali dengan kepala tertunduk, menyesal atas kelalaianku ini.

Ya, Allah ... maafkan hamba-Mu yang telah lalai ini.

Aku melipat sajadah dan menggantungkannya ke tempat semula. Saat mata menoleh ke arah tempat tidur, seketika aku tersadar. Aku lupa membangunkan Chaca. Dia juga belum shalat subuh. Tak menunggu waktu lama, aku segera menghampirinya. Mengguncang bahunya pelan, sambil menyebutkan namanya beberapa kali.

"Cha, Bangun."

"Hm ...."

"Bangun! Shalat subuh!" Aku menguatkan sedikit volume suaraku. Memaksanya untuk bangun.

"Apa sih?" Matanya perlahan terbuka saat aku menarik lengannya. Astaga ... ini bisa memancing rasa kesalku pagi-pagi.

"Bangun, Cha! Kamu shalat subuh dulu!" Lagi. Aku menarik lengannya paksa.

"Ma'ruf, ih!" Chaca menghentakkan tanganku dari lengannya. Menatapku dengan pandangan menikam. "Aku gagal jadi milyarder gara-gara kamu!" Setelah mengatakan itu, ia melipat kedua tangannya di depan dada.

"Shalat subuh lebih utama dari milyarder!" ucapku tak kalah ketus.

"Aku lagi haid, Ma'ruf! Kamu lupa?"

Eh?

Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Malu!

Semalam, Chaca memang sudah memberitahuku. Saat aku mengajaknya sholat isya berjamaah, ia menggeleng malu. Dengan wajah bersemu merah ia mengatakan bahwa tamu bulanannya sedang datang.

Kenapa aku jadi pelupa begini?

"Lain kali, kalo orang bicara itu direkam!" ketus Chaca menuju kamar mandi.

Aku menahan tawa melihat tingkahnya. Rasa malu yang tadi menyerang, menguap begitu saja.

Cha ... Cha, masih saja sama, belum berubah sedikit pun.

Sepercik Doa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang