Bab 3

2.9K 147 1
                                    

"Aku?"

"Iya, Ruf. Kamu mau kan bantu aku?" Chaca menganggukan kepalanya dengan senyum yang terus merekah di bibirnya.

Ku usap-usap kaca arlojiku, kebiasaanku ketika sedang dalam kebimbangan. Apa yang harus kujawab?. Aku memang sangat mencintainya, tetapi bukan pernikahan seperti ini yang ada di dalam impianku.

Aku sungguh tidak rela jika hanya menjadi suaminya untuk sementara. Menjalani bahtera rumah tangga hanya karena sebuah harta warisan dan tanpa cinta sedikit pun darinya.

"Pernikahan itu bukan permainan, Cha." kali ini ucapanku begitu serius, tak sempat lagi aku memikirkan sebuah candaan untuk menutupi perasaanku ini.

"Aku tau, ini pernikahan tanpa cinta, Ruf. Kita bisa dengan cepat mengakhirinya. Ayahku tak lama lagi akan mati dan setelah kematiannya itu maka kita akan bercerai." ucapnya tanpa jeda.

Aku tak tahu apa yang sedang ada di dalam fikiran Chaca sekarang, mengapa ia menganggap sesuatu ini begitu sederhana?

Aku paham jika ia sangat membenci ayahnya, tapi apakah aku sanggup untuk menjalani hubungan sebagai suami sementaranya. Aku harus menolaknya tanpa sedikit pun melukai atau membuatnya tersinggung.

"Maafkan aku, Cha. Menurutku, pernikahan adalah sesuatu yang sangat sakral. Kita tidak bisa mempermainkannya apalagi ini di depan agama, Cha. Aku tak bisa melakukannya, mungkin jika kau mau, aku akan membantumu untuk mencari seseorang yang baik untukmu dan mau menjadi suamimu untuk sementara." Mengatakan semua ini rasanya hatiku seperti disayat sembilu, aku seperti membunuh diriku sendiri tetapi nyawaku tidak benar-benar hilang. Hanya rasa sakit yang teramat menyiksa yang kini tertinggal.

"Baiklah, gak apa kok, kalo kamu gak bisa bantu!" ucapnya seraya berdiri mengambil tas kecilnya yang ada di atas meja.

Ya Rabb, mengapa jadi serumit ini, sih?

"Bukannya begitu, Chacaku!" Aku kembali mengatur emosiku agar segera stabil, tak mungkin kubiarkan wanita ini pergi dengan kesalah pahamannya padaku.

"Sudahlah, Ruf. Aku baik-baik saja." ucap Chaca terakhir kalinya sebelum pergi meninggalkanku yang masih duduk di kursi.

Kejar? Tidak? Kejar? Tidak?

Sekian detik dua kata itu terus berputar di kepalaku hingga akhirnya aku berlari mengejarnya yang berjalan sangat pelan, kurasa ia memang ingin aku mengejarnya. Dasar ratu drama.

"Cha, aku mau. Tolong berhenti merajuk seperti ini." Aku memegang tangannya untuk menahan langkahnya.

Lagi-lagi otakku dikalahkan oleh hatiku. Hati yang selalu menangis ketika melihat wanita di hadapanku ini. Mungkin karena aku tak bisa memilikinya.

"Terima kasih, Ruf." Chaca memeluk lengan sebelah kananku.

****
Perjalanan menuju kampung halaman kali ini terasa berbeda karena ada yang menemani. Jarak kampung halamanku dangan kota sekitar 3 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda empat yang telah menemaniku selama tiga tahun ini.

Chaca menghidupkan musik, terdengar lagu dari grup band yang terkenal pada masanya itu deng judul 'Jadian'. Ini adalah lagu favoritku, yang selalu kuputar berulang-ulang ketika akan beranjak ke dunia mimpi.

"Ibu kamu gimana orangnya, Ruf?" Chaca memulai pembicaraan.

"Ibuku sama sepertimu, Cha. Cerewet, banyak maunya, dan suka merajuk." Aku tertawa melirik wanita di sampingku yang juga ikut tertawa.

"Hisss kamu, itu namanya perempuan banget." Chaca mulai manyun, dia kambuh lagi. Aku tak bisa berhenti tertawa melihat tingkahnya yang tidak pernah berubah itu.

Sepercik Doa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang