PoV Ma'ruf
****
Waktu terus berlalu dengan cepat. Kulirik arloji yang ada di pergelangan tangan sebelah kiri, sudah lebih dua jam aku mencari Chaca ke tempat-tempat yang mungkin akan dituju, tapi nihil, dia tidak ada di manapun.
Kuhentikan mobil di bawah pohon rindang, berpikir sejenak sambil meneguk air mineral yang selalu tersedia di dalam mobil.
Tadi, sempat terpikir untuk mengecek Chaca di rumah orang tuanya, tapi tak mungkin dia akan ke sana. Karena kutahu, baginya rumah itu adalah penyebab segala masalah dalam hidupnya.
Lagi pula, apa yang akan aku jawab jika para ibu mertuaku bertanya tentang masalah yang terjadi pada rumah tanggaku dan Chaca?
Ya Rabbi, ke mana lagi aku harus mencari Chaca Maricaku?
Kepala yang terasa pusing kupijat perlahan. Sungguh, hilangnya Chaca membuatku kelimpungan.
Ting!
Sebuah notifikasi pesan masuk, segera kurogoh ponsel yang ada di saku celana. Mungkin saja pesan dari Chaca.
Kubuka layar kunci ponsel dengan memasukkan nomor tanggal pernikahanku dan Chaca. Bukan hanya satu, ternyata sudah banyak pesan chat menumpuk di menu percakapan WhatsApp. Ada beberapa pesan dari Aya, sisanya adalah pesan dari mahasiswa-mahasiswa yang telah janjian untuk bimbingan skripsi.
Kuabaikan seluruh pesan tanpa membukanya. Berpikir tentang cara untuk menemukan Chaca, jauh lebih penting dari meladeni seluruh chat itu. Selain menjadi dosen, aku adalah seorang suami. Maka biarlah hari ini aku lebih mementingkan kewajibanku sebagai suami.
Dering ponsel berbunyi.
'Ayatul memanggil'.
Kenapa dia harus menelepon sekarang? Aku sangat tidak ingin berbicara dengan siapa pun. Kugeser tombol merah untuk mereject panggilan dari Aya, kemudian menyetel ponsel menjadi mode pesawat.
Selain ponsel yang tak pernah berhenti berbunyi, cacing dibalik kemeja biru yang kugunakan juga telah melakukan konser musik tradisional.
Aku lapar. Namun, tak ada nafsu makan sama sekali.
Lagi, ponselku berbunyi. Kali ini pasti bukan notifikasi atau telepon dari siapa pun karena benda pipih ini telah ku-setting menjadi mode pesawat.
"Astagfirullahhaladzhim." Berkali-kali kuucapkan istighfar seraya menggeser tombol X untuk mematikan alarm sholat dhuha yang ada di ponselku.
Mengapa aku begitu naif hingga melupakan kegiatan ini?
Bukankah selama ini doa telah memerankan perannya dengan sangat baik?
Kedua pertanyaan itu terus memenuhi pikiran, membuatku menjadi begitu terpojok karena telah lupa melibatkan Yang Mahakuasa pada masalahku kali ini.
Tanpa berpikir panjang, segera kutarik pedal gas mobil untuk mencari masjid terdekat.
Tak jauh dari tempat persinggahan tadi, akhirnya aku menemukan masjid dengan halaman yang sangat luas, ukuran halamannya sekitar 500m². Masjid Babul Rahman namanya. Mobil segera kuparkirkan di bawah pohon rindang yang ada di sekitar halaman masjid tersebut.
Desain bangunan masjid ini begitu indah dengan kombinasi-kombinasi warnanya yang sepadan. Lain kali aku akan membawa Chaca untuk sholat di masjid ini.
Ah, aku teringat lagi padanya.
Wajah kuusap perlahan dengan kedua telapak tangan untuk mengusir segala pikiran dan ingatan tentang bayangan Chaca yang terus menjelma.
Setelah mengambil air wudhu, segera kutunaikan sholat dhuha sebanyak dua belas rakaat. Di setiap sujud aku terus meminta agar pernikahan kami selalu dijaga menjadi pernikahan yang sakinah, mawaddah, warahmah. Aku juga memohon agar segera dipertemukan dengannya. Tak sanggup hatiku beradaptasi dengan masalah yang seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepercik Doa Cinta
RomanceCinta itu tidak selamanya akan terbalas. Aku cukup tahu akan hal itu. Oleh karenanya, aku memendam rasa padanya hingga 9 tahun. Tanpa diketahui siapapun. Aku cukup sadar diri, gadis yang selalu membuat jantung ini berdebar tidak akan pernah membalas...