#Sepercik_Doa_Cinta.
Part 4
***
Sungguh aneh wanita ini. Setelah meminta tolong ... kini, ia juga memberi syarat padaku. Heh! Yang minta tolong siapa, yang memberi syarat siapa? Apakah dia sudah kehilangan akal sehatnya?
Aku menyetir mobil dengan kecepatan normal sambil terus berpikir apa yang harus kulakukan setelah mendengarkan syarat-syarat yang diberikan Chaca. Bagaimana mungkin aku bisa menerima syarat itu begitu saja. Di sini, dia yang sedang membutuhkanku, tapi mengapa aku yang merasa diintimidasi olehnya?
Hello, Ma'ruf. Mengapa kau menjadi laki-laki yang begitu lemah? Hati bukanlah segalanya yang harus selalu dituruti. Kau masih punya otak, bukan? Di mana harga dirimu sebagai laki-laki, jika kau terus berada di bawah jari telunjuknya?
Ingin rasanya aku berteriak, mengurangi tekanan yang menyesakkan dada. Tapi tak mungkin kulakukan sekarang, sebab, ada Chaca yang kini sedang sibuk memainkan ponselnya di sampingku.
Aku harus tegas padanya. Jika dia hanya menganggap semua ini permainan, maka aku tidak ingin dipermainkan sendiri.
"Em ... aku juga punya syarat, Cha." Dia memandangku sambil mengernyitkan dahi. Sedang aku, tak berani melihatnya. Hanya bayangannya yang terpantul di cermin yang menjadi fokusku.
"Loh, kok kamu minta syarat juga?" ucapnya dengan bibir yang manyun.
Ais, betapa egoisnya wanita yang sangat kucintai ini.
"Biar afdhol, Cha." Aku sedikit tertawa. Lagi. Tanpa berani menatapnya.
"Bilang aja cepat!" Kuyakin Chaca pasti sedang menahan emosinya.
"Kamu gak mau rekam dulu? Kamu kan pelupa, Cha." Aku tertawa meledek, sambil sesekali menoleh ke arahnya.
Aku selalu begini, bercanda di saat Chaca sedang kesal. Dan ekspresi wajah manyunnya itulah yang selalu aku rindukan setiap hari sejak sembilan tahun yang lalu.
"Gak usah, aku ingat kalo bagian yang penting begini. Bilang aja cepat!"
"Oke, baiklah. Syaratnya adalah ... kamu harus tidur sekamar denganku jika ada tamu atau keluarga yang berkunjung ke rumah. Kamu harus melayaniku selayaknya suamimu, kecuali masalah ... mmm ... ranjang." Aku terdiam sejenak, "udah, itu aja, Cha. Sanggup 'kan?" Aku meliriknya sebelum turun dari mobil.
Chaca keluar dari mobil tanpa menjawab pertanyaanku. Mungkin dia butuh waktu untuk memikirkan syaratnya.
Sebenarnya tak tega, namun aku juga ingin sedikit merasakan kebahagiaan walaupun nantinya, aku tahu, Chaca hanya terpaksa melakukan semua syarat ini.
Chaca menggandeng tanganku menuju mall. Hari ini aku menemaninya berbelanja. Sejak turun dari mobil tadi, dia belum mengatakan apa pun. Aku juga diam, memberikannya waktu untuk memutuskan.
Kami terus menelusuri mall berdua. Chaca mengambil apa saja yang dibutuhkannya. Sedang aku hanya mengekorinya saja.
Hingga, tiba-tiba Chaca berhenti.
"Ruf ...." Akhirnya ia mengeluarkan suara.
"Iya, Chaca Marica hey hey," jawabku sambil mengerutkan dahi.
"Aku mau, Ruf."
Apa katanya tadi? Aku gak salah dengar, 'kan?
Yes!
Berulang kali kuucap hamdalah di dalam hati. Raut muka masih kupertahankan sebisa mungkin, agar terlihat biasa saja. Sungguh, pernyataannya yang tiba-tiba membuat degupku menggila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepercik Doa Cinta
RomanceCinta itu tidak selamanya akan terbalas. Aku cukup tahu akan hal itu. Oleh karenanya, aku memendam rasa padanya hingga 9 tahun. Tanpa diketahui siapapun. Aku cukup sadar diri, gadis yang selalu membuat jantung ini berdebar tidak akan pernah membalas...