Bab 10

2.5K 117 3
                                    

Aku mengganti pakaian dengan apa yang ada di hadapanku saja, hilang sudah predikat 'Dosen paling rapi' untukku hari ini.

Sungguh, hati dan pikiranku sedang tidak karuan. Ingin kuteriak jika mengikuti keinginan logika tetapi suara hati berteriak lebih kencang menyadarkanku. Siapalah aku yang tidak pernah dianggap ini?

"Cepetan, Ruf," teriakan Chaca membuyarkan seluruh khayalan.

Aku harus kuat, tak bisa terus-terusan kubiarkan diriku terperangkap dalam keadaan yang rumit ini.

Di depan pintu utama ada Chaca tengah berdiri dengan senyuman mengembang.

Namun, berbeda denganku.

Selain sedih karena kehilangan papa mertua, juga sedih karena itu artinya ... Chaca akan meninggalkanku. Selamanya.

Chaca bergerak cepat menuju mobil. Aku menambah kecepatan langkahku mengikutinya. Mengunci pintu, lalu berjalan cepat masuk ke dalam mobil.

"Astaga, Ruf! Akhirnya hari-hari yang aku tunggu tiba juga!" Ia terus berkicau dengan riang gembira selama aku mengemudi.

Tak tahukah dia apa yang aku rasakan? Campur aduk. Sedih, kaget, tidak siap dan ... tersiksa dengan perasaan di dalam dada. Karena selama ini, rasa yang ada pada diriku untuk Chaca semakin bertambah. Aku tidak rela kehilangannya.  Ini terlalu cepat.

"Halo, Pak."

Aku tersentak kaget saat Chaca menelpon seseorang. Menormalkan pikiran, aku memfokuskan diri pada jalanan yang sedikit macet.

"Iya, Pak. Surat perceraian saya segera diurus, ya?"

Deg!

"Chaca ...,"gumamku yang menyerupai bisikan.

"Apa, Ruf?" tanyanya setelah menjauhkan ponsel dari bibir. "Semuanya jelas, kan? Papa meninggal, kita bercerai."

Ya Allah, apa ini?

Bibirku bungkam. Sedang di dalam dada sana, ada hati yang perlahan hancur.

Hancur karena terlalu berharap bisa bersama Chaca selamanya. Bahkan, belum ia berikan kesempatan padaku untuk memberinya kebahagiaan yang belum didapatkannya dari sang papa.

Aku bisa apa, selain bungkam oleh takdir yang mempermainkan diriku?

"RUF, AWAS!"

Aku tersentak. Fokus ke depan sambil mendelik. Secepat tenaga memutar stir ke kanan dengan cepat, lalu mengerem.

Dadaku naik turun tidak beraturan. Lalu menoleh pada Chaca yang sama terkejutnya.

"Gila kamu, Ruf! Kamu mau bunuh kita?" pekiknya di depanku. Dapat terlihat jelas jemarinya gemetar, pun bibirnya. "Kalau kamu mau mati, silakan! Jangan bawa aku!"

Ah, dia tidak peduli padaku. Lalu bagaimana mungkin ia bisa mencintaiku?

Berulang kali kuucapkan istigfhar untuk menstabilkan perasaan yang tidak karuan. Mencoba mengemudi kembali dengan pikiran yang jernih agar tidak ada lagi kejadian seperti barusan.

****

"Cepet amat nyampenya? Nggak sabar nunggu pembagian warisan, ya?"

Aku dan Chaca baru saja menginjakkan kaki di depan ruang rawat Papa, tetapi langsung mendapat hardikan dari istri pertama. Entah terbentur apa kepala papanya Chaca saat menikahi wanita ini. Kenapa ucapannya begitu menyakitkan?

"Ma, aku tuh nggak kayak yang Mama pikirin!" Chaca membela dirinya sendiri. Air mata sudah membanjiri wajahnya yang putih.

Aku merangkul pundaknya. Sedikit merasa bersalah karena tahu ini semua hanya drama yang dilakukan oleh Chaca.

Sepercik Doa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang