Bab 12

2.7K 162 25
                                    

Rasa dingin terasa menusuk kulit. Sepasang kelopak mata milik Chaca perlahan terbuka, menilik keadaan sekitar. Ia menarik selimut semakin ke atas. Lalu memejamkan matanya lagi. Tubuhnya beringsut mundur, hingga menemukan ada sesuatu yang hangat.

Kedua matanya membulat. Bingung. Ia memutar tubuhnya ke belakang, mendapati sosok lelaki tertidur pulas. Damai.

Chaca mendelik. Ia menjauh seketika. Selimut yang menutupi badannya melorot, melihat tubuhnya tanpa sehelai benang. Ia tersentak. Memorinya memutar kembali kejadian beberapa jam yang lalu. Ia baru saja menyerahkan kesuciannya pada lelaki yang ia anggap teman.

Chaca merasa bodoh. Kemudian menangisi takdir.

Lama ia tersedu. Lalu menatap kembali tubuh kekar di sampingnya. Begitu tenang, seolah tanpa beban, tanpa merasa berdosa sama sekali. Sementara Chaca, merasa menjadi wanita kotor. Sebelumnya, ia pernah berikrar pada dirinya sendiri untuk memberikan kehormatannya hanya pada lelaki yang ia cintai. Namun sekarang, ia terjebak. Chaca merasa diperkosa karena ini semua bukan keinginannya.

Chaca beringsut turun, mengenakan pakaian seadanya. Setelah selesai, ia menghadap Ma'ruf yang masih enggan membuka mata.

"Aku benci kamu, Ruf!" ucapnya penuh penekanan, karena merasa Ma'ruf sudah menggunakan kesempatan dalam kesempitan.

Chaca bergegas, memasukkan sebagian pakaiannya ke dalam koper dengan air mata terus menetes. Ditambah rasa sakit di antara kedua pahanya, membuatnya semakin merasa tersakiti.

Semuanya selesai. Chaca berdiri di ambang pintu. Masih menatap sosok Ma'ruf yang kini berubah posisi.

Chaca mencebikkan bibir. Amarah begitu menguasai dirinya hingga tidak bisa diluapkan lagi dalam bentuk tindakan apapun, termasuk menghukum lelaki penyebab ia merasa sangat kotor.

"Persahabatan kita sampai di sini, Ruf!"

Chaca pergi tanpa sepengetahuan Ma'ruf.

****

Dengan hati yang sangat gusar Chaca mengemudi dengan kecepatan yang tidak karuan.

Namun, sebuah pikiran muncul dalam benaknya. Mobil mulai berjalan lambat, lalu menepi di pinggir jalan.

"Aku harus ke mana?" bisiknya pada diri sendiri. Matanya menilik sekitar. Mencari-cari ide. Selama ini, ia sudah bergantung terus pada Ma'ruf. Apa bisa ia hidup tanpa bantuan suaminya itu?

Masa bodoh! Chaca tidak peduli lagi. Ia akan pergi ke mana pun mobil ini membawanya. Sikap Ma'ruf padanya membuat ia merasa jijik. Ia merasa baru saja diperkosa oleh suami sendiri. Chaca merasa kotor.

Setiap kali bayangan sentuhan Ma'ruf muncul, air matanya turun membasahi pipi. Kecepatan mobil akan ditambah lagi, tak peduli dengan teriakan pengemudi lainnya yang merasa terganggu karena caranya menjalankan mobil.

Chaca menghentikan mobil di tepi jalan, tepat di deoansebuah rumah minimalis bercat hijau. Ia terdiam sejenak sembari berpikir. Kemudian meraih ponselnya, mencoba menghubungi teman pemilik rumah itu.

"Aliya?" Chaca memulai obrolan via telepon.

"Aku di depan rumah kamu sekarang. Buka pintunya!" titah Chaca tidak ingin dibantah. Tak lama setelah mengatakan itu pada gadis di seberang telepon, pintu rumah bercat cokelat itu terbuka, menampilkan sosok gadis dengan celemek biru motif bunga.

Chaca turun dari mobil dengan ponsel masih menempel di telinga. "Aku mau tinggal sama kamu!" ucapnya tanpa aba-aba. Si pemilik rumah tertegun sejenak dengan mulut terbuka.

"Serius?" tanya Aliya setengah tidak percaya.

"Au! Kesel aku tuh! Jangan ditambah lagi! Aku mau tidur! Ngantuk!" Chaca berlalu begitu saja. Tenaganya terkuras habis akibat kegiatannya semalam dengan Ma'ruf, ditambah lagi menyetir mobil dari pagi buta, hingga hampir jam 7 ini.

Tanpa ia sadari, Aliya berjalan keluar sembari menggigit jari. Ponselnya menempel di telinga setelah menemukan kontak yang akan ia hubungi. Setelah nada tanda terhubung terdengar, Aliya segera berujar, "Ruf! Bini lo ke rumah gue!"

"Oke, aku menuju ke rumahmu sekarang!" Suara Ma'ruf terdengar dari seberang telepon. Ma'ruf mengakhiri panggilan telepon tanpa mendengar jawaban dari Aliya. Aliya mengerutkan dahinya karena bingung melihat tingkah kedua sahabatnya ini.

Tidak butuh waktu lama Ma'ruf untuk sampai di rumah Aliya, tentu saja karena rasa khawatir yang membuatnya mengemudi seperti orang kesetanan padahal dia sudah tau dimana posisi istrinya berada. Namun, ini pertama kalinya mereka marahan apa lagi tanpa alasan yang jelas.

Hanya dengan satu ketukan saja, Aliya sudah membukakan lebar pintu rumahnya untuk Ma'ruf.

"Dia barusan pergi, Ruf," ucap Aliya dengan nada sedih.

"Kenapa kamu nggak tahan dulu?" suara Ma'ruf meninggi, sebelumnya dia tidak pernah berbicara sekasar ini.

"Maaf, Ruf." Aliya menunduk, raut wajahnya begitu terlihat merasa bersalah pada sahabatnya.

Tanpa mengucapkan apa pun, Ma'ruf langsung pergi. Emosinya tak dapat dibendung lagi. Di dalam mobil berkali-kali ia menghantamkan kepalanya ke stir mobil, sungguh dia tidak habis pikir melihat tingkah konyol Chaca kali ini.

Dia terus berpikir tentang tempat dimana mana lagi yang memungkinkan didatangi oleh istrinya.

Sekian menit ia berpikir, akhirnya ia mendapatkan jawaban tentang pertanyaannya. Walau pun dia tidak mendapatkan Chaca disana, setidaknya ia sudah berusaha mencari.

Berulang kali ia ucapkan istigfhar sebelum menyalakan mobilnya. Secepat kilat, mobil Ma'ruf meninggalkan halaman rumah Aliya dengan harapan yang sangat besar untuk bertemu dan meminta maaf kepada istrinya.

Bersambung.

Sepercik Doa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang