Bab 9

2.3K 118 1
                                    

****

"Papa, Ruf ...."

Aku mengusap lengannya yang tertutup kain. Chaca menyandarkan kepalanya di lenganku. Membuat jantung ini meletup-letup di dalam sana.

"Sabar, ya? Nanti Papa bakalan sembuh, kok," hiburku.

Hatiku terasa menghangat di dalam sana. Melihat bagaimana kesedihan yang terpancar dalam mata Chaca saat melihat kondisi papanya yang semakin melemah.

Ternyata Chaca tidak seburuk yang kuduga sebelumnya.

"Tapi, kamu lihat sendiri, kan? Gimana keadaan Papa? Dia lemah banget, Ruf!" Chaca semakin terisak.

Aku meringis pelan. Di depan kami sudah berjejer istri dan anak-anak Rahadian Halim yang tengah menatap aku dengan aneh. Risi!

"Ruf, mending kamu bawa istri kamu pergi sana!" Istri pertama menyahut. Diikuti kalimat setuju dari beberapa saudara Chaca lainnya.

"Iya. Berisik banget, tau, jadi anak. Kuping aku jadi panas denger tangisan dia!" Seorang gadis menyahut kesal. Earphone dipasang di kedua telinganya setelah mengatakan kalimat itu.

"Yuk, Chaca, pulang," ajakku padanya. Ia mengangguk lalu berdiri mengikutiku.

Kami berjalan sambil bergandengan tangan. Kepalanya masih setia menempel di lenganku. Jika seperti ini terus, bisa sangat berbahaya bagi jantung. Apalagi dengan tatapan-tatapan orang lain. Meski sebagian menilik kagum, tetap saja risi.

Tanpa menunggu aku membukakan pintu mobil, Chaca langsung masuk.

Saat aku sudah masuk, terlihat Chaca sedang sibuk mengusap air matanya sambil bercermin.

"Mata aku bengkak, Ruf," ucapnya dengan nada kesal.

"Kan kamu yang nangis, Cha," jawabku. "Kamu tenang aja, ya?  Papa pasti sembuh. Kamu jangan nangis kayak gini lagi." Aku mengambil tissue, lalu menggantikannya mengusap cairan di pipinya.

"Ya udah, sih. Biarin aja mati!" pekik Chaca.

Tubuhku kaku. Mata mendelik kaget. "Jangan ngaco kamu, Cha!"

"Kan emang itu yang aku pingin, Ruf." Chaca tersenyum lebar. "Papa meninggal, terus ngasih warisan banyak ke aku."

"Chaca! Kamu keterlaluan banget! Dia papa kamu!"

"Emang dia pernah anggap aku anak?"

"Tapi, Cha ...."

"Kamu tenang aja, Ruf. Setelah ini, penderitaan kamu juga bakalan berakhir."

"Penderitaan?"

"Ya." Chaca mengangguk antusias. "Kamu bebas pacaran sama siapapun nantinya.  Aku juga begitu. Setelah Papa meninggal, kita akan bercerai."

Aku menelan ludahku secara kasar mendengar perkataannya itu, dia masih sama. Aku di matanya hanya sebatas sahabat dan tidak lebih. Lupakan tentang perasaanku, sungguh dia juga tidak iba terhadap ayahnya sendiri.

"Chaca, kamu itu anak bungsu dan anak kesayangan papamu. Dia pernah bilang itu ke aku pas lamaran kemarin," Aku mencoba menata pikiran negatifnya.

"Alah ... pencitraan aja sih itu, Ruf. Dia selalu bilang gitu juga tapi nggak pernah ada buktinya sama sekali. Aku tuh tinggal dirumah itu hanya karena nggak punya tempat lain aja." Otak cerdasnya sudah tidak terlihat lagi. Aku menggelengkan kepalaku.

"Istigfhar Chaca, semua yang kamu miliki sekarang ini adalah dari papa kamu. Itu karena rasa sayang dan cintanya ke kamu, Cha. Kalo dia nggak sayang, kamu sudah ada di jalanan sekarang. Jadi pengemis!" Kutekan setiap kata-kata yang keluar, sungguh keras kepala Chaca membuat tanduk dikepalaku serasa muncul ke permukaan.

Sepercik Doa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang