****
Decitan pintu menyadarkanku dari mimpi. Tubuh terasa pegal saat bangun dari sofa tempatku berbaring. Pandangan sedikit kabur mengarah pada pintu yang sudah ada Chaca yang berdiri di sana. Sekilas, kulirik jam tangan. Hampir dua belas malam. Aku mendecih pelan."Lupa jalan pulang, heh?" hardikku sembari melangkah mendekatinya.
Chaca menunduk, lebih sibuk memainkan pita putih pada tas selempangnya.
"Atau jam tangan kamu rusak? Coba lihat ke sana!" Aku memberikan titah yang ia lakukan meski sedikit takut. Kepalanya semakin menunduk dalam setelah melihat jam.
"Ma ...."
"Aku udah kasih kamu kelonggaran, Cha!" Aku menekan suaraku agar tidak membentaknya. Jujur, amarah sudah mengepul di dalam dada, ingin segera dikeluarkan. "Tapi kenapa kebijakan yang aku berikan, malah kamu langgar? Kamu tahu, kan, waktu pulang seorang perempuan? Ini sudah melewati batas, Cha!" Aku memijit pelipis. Terasa berdenyut di sana karena menahan kesal dalam hati.
Chaca terdiam sejenak. Lalu, kedua bibir mungilnya perlahan terbuka seiring kepalanya yang mulai mendongak. "Tadi ... aku sama ...."
"Apa? Kamu mau kasih alasan apalagi?!" Aku sudah tidak tahan. Aku membentaknya. Semua amarah sudah tampak ke permukaan. Dengan langkah pelan, aku menghimpit tubuhnya di pintu ganda cokelat rumah.
"Heh!" Aku mendengkus pelan. "Kamu nggak malu sama pakaian kamu ini? Bahkan kelakuan kamu kayak wanita murahan, Cha!"
Mata Chaca membulat kaget. Aku tidak peduli.
"Oke, Cha!" Aku menarik napas. "Kamu tidak mencintai aku, oke. Aku terima. Tapi apa kamu tidak bisa menghargai aku sedikit pun? Oh, kalau tidak bisa menghargai aku, setidaknya jaga pernikahan ini, Cha! Kamu mau orang-orang tau pernikahan kita sebenarnya?"
Chaca semakin menunduk. Jilbab lebarnya dipilin kuat.
"Aku ... merasa gagal, Cha." Selangkah, aku mundur menjauhinya. "Gagal jadi suami."
Hening sesaat, sebelum suara ketukan sepatuku terdengar. Kamar adalah pilihan terbaik untuk menenangkan pikiran.
*****
Jam 7 pagi, aku sudah selesai bersiap. Saat keluar kamar dan menemukan pintu sebelah kamarku masih tertutup rapat. Dasar pemalas!
Tak acuh, aku segera meninggalkan rumah ke kampus. Selama dia belum menghargai aku sebagai suami, terserah dia mau melakukan apapun.
Selama di kampus, aku menyibukkan diri dengan mahasiswa bimbingan. Sejenak, masalah yang kualami hilang. Bahkan saking sibuknya, aku lupa makan siang.
Saat kembali ke ruangan, aku terkejut karena pintu ruangan yang tidak terkunci. Seingatku sebelum mengajar, pintu sudah terkunci.
Pintu ruangan kudorong, menampakkan sosok wanita yang menjadi penyebab jeleknya mood-ku pagi ini.
"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku, masih berdiri di ambang pintu.
"Ini, aku bawain makanan. Enak, lho. Cobain deh." Dengan senyuman mengembang seolah tidak bersalah akan semalam, ia menunjukkan rantang di tangannya.
"Dapat dari mana kunci ruangan aku?"
"Dari dosen senior yang kita temui dulu itu. Yang pake bahasa aneh itu, lho. Pas aku bilang aku istri kamu, dia langsung bukain pintu," jelasnya.
"Oh begitu," jawabku singkat.
"Aku minta maaf, Ruf," kali ini wajahnya terlihat sangat merasa bersalah.
"Kamu pulang aja, Cha, aku masih ada jam ngajar dan tak bisa berlama-lama disini. Tadi aku masuk cuma ngambil buku yang tertinggal." Mungkin perkataanku ini menyakitinya, tapi sungguh, kata-kata ini keluar begitu saja dari mulutku dan aku menyesal telah mengatakan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepercik Doa Cinta
RomanceCinta itu tidak selamanya akan terbalas. Aku cukup tahu akan hal itu. Oleh karenanya, aku memendam rasa padanya hingga 9 tahun. Tanpa diketahui siapapun. Aku cukup sadar diri, gadis yang selalu membuat jantung ini berdebar tidak akan pernah membalas...