BENCI 🍃 (Oya's POV)

47 5 0
                                    

Sama seperti biasa, setiap terbangun selalu berharap tidak lagi warna hitam yang kulihat. Memang bodoh, tapi itulah bentuk usaha sederhana yang dilakukan seorang gadis buta berjuang demi setitik warna terang selain warna hitam. Ku ulurkan tanganku menggapai sekelilingku sebagai panduan jalanku. Jinjit jemari-jemari kakiku sangat terasa berhati-hati menyusuri kediamanku ini.

"Ma, mama Issa". Sorakku mencari keberadaan ibuku.

"Eh udah bangun sayang, buruan makanannya udah dingin. Ayo sini-sini". Ajak ibuku menggapai lenganku memandu ke meja makan.

"Iya iya ma iya". Kataku mengiyakan.

Posisiku sekarang duduk, bisa kutebak sudah tersedia banyak makanan yang dimasak khusus untukku. Bisa kutebak juga sekarang ibuku sedang memandangku penuh cinta. Memandang anak semata wayangnya. Selalu saja memperlakukanku bak seorang putri di kerajaanku sendiri.

("Andai mama tahu kelakuanku di luar jauh dari kata seorang putri yang perlu disanjung, sangat jauh ma")

"Kan diam lagi, ayo makan. Makanannya sudah ada depan Oya, kasian kan mubazir". Celoteh ibuku.

"Siap kerjakan ma, laksanakan!" Candaku.
"Hahahaa anak mama, habisin sampai kamu gendut" Pinta ibuku.

"Ah ntar ga ada yang suka sama aku ma, udah buta gendut lagi hahaha" Kataku diselingi canda yang menjadi-jadi.

"Hahaa..". Tawa ibuku yang terhenti dan semakin kecil.

"Kenapa ma?". Tanyaku spontan.

"Ah gak ada apa-apa sayang, makan aja. Mama ke dapur dulu" Kata ibuku mengakhiri obrolanku di meja makan.

Aku melanjutkan makanku,
Aku terhenti di suapan terakhirku,
Terbayang, bahkan mungkin makanan pun jijik dimakan oleh pezina seperti diriku. Dan bisa jadi makanan inilah yang menjadi saksi kelak atas perbuatanku. Makanan yang sudah dibuat spesial oleh orang yang spesial, makanan yang disajikan penuh kasih teruntuk orang yang sangat dikasihnya malah menjadi sesuatu yang mengutukku.

Mengutukku sebagai pendusta. Pendusta terhadap orang yang sudah sangat mempercayaiku. Yah aku sudah merusak kepercayaannya.

Kepercayaan mama Issa.

Aku menetaskan air mata, air yang sudah tidak asing lagi rasanya di lidahku. Kali ini, aku tidak tahu cara memberhentikannya. Air mata seorang penipu, pendusta, pengkhianat mengalir tanpa tahu diri kesalahannya, tanpa tahu diri ini adalah ketetapan hidupku.

("Apakah aku korban atau pelaku?")

Yah memang benar aku korban dari nafsu birahi seseorang, tetapi aku juga tidak bisa mengingkari aku telah melakukan perbuatan kotor itu maka aku juga adalah pelaku.

("Lalu siapa yang salah?")
("Tidak boleh kukatakan lagi kesalahan itu terletak pada kelahiranku di dunia ini")
("Tidak boleh kukatakan lagi kesalahan itu karena ibuku telah melahirkanku")
("Dan lebih tidak boleh aku katakan kesalahan itu karena aku ditakdirkan buta")
("Yah tidak boleh, aku sudah berjanji")

Aku membenci diriku, ya sekarang aku sangat membenci diriku seperti aku membenci ayahku. Tuan Kettof. Lalu sekarang apa bedanya aku dengan dia? Tidak beda jauh, sama-sama pengkhianat, sama-sama kotor, sama-sama pelaku dosa.

("Memang benar, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya"). Keluhku membenci diriku sendiri.

"He sayang, udah kenyang?" Tanya ibuku mengaburkan lamunanku.

Ya kukira tangisku takkan berhenti, suara ibuku satu-satunya yang dapat membendung air mataku, mungkin gengsi menjadi alasan utamanya. Malu ketika ditanya kenapa menangis dan jawabanku akan terdengar tolol untuk hal yang memang mutlak kesalahanku. Malu ketika ditanya kenapa menangis lalu aku akan menjadi pembohong yang kedua kalinya dengan mengatakan tidak apa-apa.

USELESS 🍃Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang