Chapter 15 | Aku Mencintainya

19.5K 2K 523
                                    

Perihal rasa itu urusan manusia. Dengan siapa hati berlabuh itu keputusan manusia. Namun, kita tidak bisa berbuat apa-apa jika memang dia bukan jodoh kita. Semuanya sudah menjadi kehendak-Nya.

🥋🥋🥋

ALMA nampak ngos-ngosan saat mengejar Indira. Ia bingung, mengapa Indira berlari saat ia saja sedang menikmati pemandangan langka beberapa menit yang lalu. Yap, dimana saat Azzam dan Atthaya bertatapan dengan tangan saling menggenggam. Sungguh, menurutnya itu sangat romantis! Bah, kira-kira kapan ya Alma bisa begitu bersama pujaan hatinya?

Indira sendiri tidak tahu mengapa dirinya berlari dari ruang karate setelah matanya dengan sangat jelas menangkap pemandangan yang menurutnya sangat tidak enak dipandang itu. Entah apa yang salah, namun hatinya berdenyut kesakitan. Bolehkah ia berkata jika ia tidak menyukainya? Iya, Indira tidak suka jika Azzam memiliki hubungan dengan Atthaya.

Lalu, siapa yang cocok dengan Azzam? Dirinya? Fyuuuh! Ia terlalu percaya diri sekali! Jelas-jelas Indira bagaikan kelinci buruk rupa dan Atthaya adalah putri raja.

Memangnya, siapa yang akan menolak pesona Atthaya Maharani?

Indira juga tidak buta untuk menilai jika Atthaya cantik, sangat cantik malah. Atthaya sangat pintar, dia pandai berimajinasi dengan menulis beberapa judul naskah untuk drama yang Indira tahu dari Alma. Terlebih, Atthaya adalah Ketua Himpunan Teater. Atthaya juga seorang model hijaber yang meski baru merintis karir, beberapa tawaran sudah Atthaya dapatkan dan terima. Meski begitu, Atthaya sangat pandai mengatur waktu antara pekerjaan dan kuliah.

Hidupnya benar-benar sempurna. Atthaya hidup tanpa cela!

Indira tidak tahu akan kemana ia pergi. Yang jelas, kakinya sudah melewati lorong-lorong kampus. Meski terbilang sepi, namun Indira berani daripada harus memutar arah dan kembali ke ruangan. Rasanya Indira ingin marah, namun marah kepada siapa?

Sampai kakinya menginjak lobi utama pun, Indira tidak berniat untuk berhenti. Ia tetap berjalan bahkan sampai keluar dari gerbang kampus. Indira sesekali meringis, panas aspal begitu terasa di kulitnya. Indira tercengang, ia melupakan flat shoes miliknya dan kini ia harus bertelanjang kaki!

Ya Allah, sungguh pedih cobaan yang Engkau berikan padaku.

Karena tidak mungkin terus bertelanjang kaki, Indira memutuskan berhenti di depan warung kecil dekat kampus. Yang kebetulan, Indira sudah kenal dengan pemilik warung tersebut.

"Eh, Mbak Dira. Dari mana? Kok kakinya nyeker gitu, sih?" suara Febi, anak perempuan yang kini duduk di bangku SMP menatapnya bingung. "Sini Mbak, duduk."

Indira mengangguk kikuk. Ia duduk di bangku panjang depan warung. Menatap kakinya yang panas akibat menapak jalanan aspal. Indira terlalu ceroboh keluar dari ruangan hingga melupakan alas kakinya. Benar kata Bunda, meski sudah kuliah ia masih tetap saja ceroboh!

"Mbak Dira, mau minum apa? Febi buatin, ya." Indira menggeleng mendengar ucapan Febi. "Eh, nggak usah, Feb. Ngerepotin."

"Mbak Dira kayak sama siapa aja. Udah ya tunggu, Febi buatin teh aja gimana? Itu juga lagi masak air," ucap Febi. Ia selalu antusias ketika Indira mampir ke warungnya meski hanya sebentar. Baginya Indira itu orang baik, Febi sangat suka. Terlebih lagi, Indira pintar. Febi pernah meminta diajarkan tugas sekolahnya. Indira membantunya dengan senang hati dan keesokan harinya Febi mendapatkan nilai sempurna, 100.

[NUG's 3✔] SENPAI, Ana Uhibbuka FILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang