Chapter 33 | Hati Berkata Lain

17.3K 2K 351
                                    

Assalamu'alaikum. Ada yang kangen? Kalau ada, kita sama!

Udah siap membaca? 😊

***

Rasaku bukan ajang permainan yang bisa kau buat mainan. Ini sungguh menyakitkan. Kau tahu, aku sempat mengira jika kamu adalah jodohku. Namun, ada takdir lain yang ternyata Allah siapkan untukku. Dan dia, bukan dirimu.

🥋🥋🥋

TIDAK ada yang spesial meskipun libur sudah di depan mata. Besok, libur panjang semester sudah dimulai. Berbagai rencana berlibur sudah di susun Alma dan Tari sebaik mungkin. Indira hanya bisa menghela napas mendengarkan kedua sahabatnya berbicara. Sementara ia sendiri enggan untuk ikut nimbrung.

Indira merasa, semenjak hari itu, tidak ada lagi yang bisa ia harapkan.

Mereka melewati lorong-lorong kampus. Hendak menuju kantin untuk mengisi perut dari rasa lapar setelah mengisi kelas berbeda.

"Dir, kamu mau pesan apa? Kali ini, aku yang traktir deh. Lumayan, dapat uang sangu dari Bapak dan Ibu. Katanya, buat pulang kampung liburan besok," tanpa diminta, Alma sudah bercerita. Ia melirik Tari yang juga ikut senang mendengar kabar ini. Mereka berdua akan pulang kampung bersama tiga hari lagi. Kembali ke desa untuk melepas rasa rindu dan penat.

Barulah Indira menoleh. Jika diperhatikan, ada lingkar hitam besar di bawah kelopak mata cantiknya, wajahnya sayu tak seperti bulan-bulan sebelumnya. Alma dan Tari tahu mengapa Indira seperti itu. Mereka cukup prihatin dengan apa yang menimpa Indira. Tetapi, takdir Allah siapa yang akan melarang? Alma dan Tari, Indira sekalipun, adalah manusia lemah. Manusia penuh dosa. Rasanya tak pantas berkali-kali meminta untuk mengulang waktu yang sudah berlalu.

"Kalian mau pulang kampung?" tanya Indira, suaranya begitu lirih. Khas ceria yang disematkan pada dirinya seolah meredup. Indira kehilangan cahayanya.

Tari mengangguk cepat. "Iya dong, Dir. Kita udah kangen banget sama Bapak dan Ibu masing-masing di kampung. Apalagi Alma, anak tunggal. Katanya sih, Pak Darmono lagi panen. Pasti lumayan lah kalau Alma pulang. Bisa dapat upah," bisiknya pada Indira. Tidak bisa dikatakan berbisik memang, karena suara Tari bisa Alma dengar.

Alma sendiri cengengesan, pikirannya membayangkan kalau mendapatkan seetidaknya seperempat dari hasil panen padi sawah Bapak.

"Kamu beneran, Al?" Indira bertanya lagi. Alma mengangguk. "Bener dong. Aku nggak pernah bohong sama kamu, Dir. Aku mau pulang kampung sama Tari tiga hari lagi. Ada apa, toh? Kamu mau ikut juga?"

Indira terdiam. Ia tidak pernah bepergian jauh selain bersama Bunda dan Bang Indira. Ia memang dimanja sejak kecil. Bahkan, alamrhum Ayah sekalipun tak membiarkan putri bungsunya berjalan-jalan sendirian tanpa pengawasannya.

Tetapi, tidak mungkin kan, kalau Indira pulang kampung ditemani Bunda? Atau, Bang Indra dan Mbak Fisya?

"Kalau kamu ikut, pasti Bapak Ibuku seneng banget. Soalnya aku udah cerita banyak tentang kamu. Ibu bilang, penasaran sama wajahmu."

"Penasaran kenapa emang, Al?"

"Soalnya aku bilang wajahmu seperti selebgram-selebgram jaman sekarang. Cantik, putih, mulus, dan yang paling penting sholehah."

Mata Indira membulat sempurna. "Kamu bilang begitu sama Bapak dan Ibu kamu di kampung?"

Alma mengangguk-angguk. Tidak menyadari raut wajah Indira sudah menahan malu. "Alma.. tapi kan aku nggak sebaik apa yang kamu bilang sama mereka. Aku jauh dari kata cantik, apalagi sholeha. Aku masih suka telat saat Allah memanggilku."

[NUG's 3✔] SENPAI, Ana Uhibbuka FILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang