Untuk menunggumu, memang membutuhkan banyak waktu. Juga, banyak kesabaran. Karena untuk menunggu, akan lebih berat dari pada mendapatkan.
🥋🥋🥋
BIASANYA, malam seperti ini, Indira sedang duduk di ruang makan hanya bersama dengan Bunda. Mereka terlihat bahagia meski tanpa Indra, karena Indra terkadang masih harus menetap di kantor sampai pekerjaannya selesai, atau jika tidak maka Indra akan terkena sanksi dengan dalih meninggalkan kewajiban dengan sengaja. Namun, sudah sebulan ini keadaan rumah menjadi ramai, meski hanya bertambah satu orang.
Indira tertawa melihat Abangnya yang ingin merecoki Mbak Fisya yang tengah di dapur, mengambil nasi untuk dihidangkan di meja makan, justru malah diabaikan. Indra terlihat cemberut, jengkel karena istrinya mengabaikannya, apalagi ditambah suara gelak tawa Indira dan Bunda. Semakin hancur saja suasana hatinya.
"Mas! Fisya lagi ngangkat nasi ini, sebentar." Fisya akhirnya membuka suara, meminta Indra duduk terlebih dulu bersama Bunda dan Indira di meja makan. Indra menghela napas, meski begitu ia tetap mengambil duduk di hadapan Bunda. Sementara Fiysa, akan duduk di hadapan adiknya.
"Makanya Bang, jangan ngerecokin! Mending bantuin, kan adem dilihatnya kalau gitu," ucap Indira, lalu terkikik melihat Indra yang mendengus.
"Kalian tau, nggak?" Indra berbisik pada Bunda dan Indira. Kedua perempuan beda generasi itu mengerutkan dahi, tidak tahu apa yang Indra bicarakan.
"Tau apa, Bang?" balas Bunda, Indra mengisyaratkan Bunda agar bicara tidak terlalu keras. Ia memandang lagi ke arah dapur, istrinya sedang melangkah menuju kamar mandi. Ia pun cepat-cepat menoleh pada Bunda dan Indira. "Fisya lagi marah-marah terus sama Abang, masa cuma karena masalah sepele aja, Abang disalahin. Padahal, Abang nggak salah. Abang yakin itu. Kalaupun Abang salah, Abang bakal langsung minta maaf, kok."
Kening Indira berkerut. Ia bingung harus menjawab apa. Ia tidak tahu gejala apa yang menimpa sang kakak ipar. Ia bukan anak Fakultas Kedokteran, tidak mempelajari berbagai macam penyakit dan gejalanya, juga obat penyembuhnya. Sementara Bunda, terlihat tersenyum manis. Indra jadi heran, apakah Bunda tahu menatap Fisya bersikap demikian?
"Selain suka marah-marah, Fisya ngapain lagi, Bang?" tanya Bunda, binar matanya sudah mengisyaratkan jika Bunda akan sangat bahagia setelah ini.
Indra berpikir sejenak. Mengingat-ingat apakah Fisya berubah selain berubah menjadi singa sejak beberapa hari terakhir ini. "Hmm, marah-marah aja sih, Bun. Terus.. oh ya, dia suka minta makan terus. Padahal, Abang tau kalau Fisya gak pernah suka ngemil atau makan malam. Fisya meski sudah langsing, selalu menjaga tubuhnya agar tetap ideal, Bun."
"Kalau masih begitu sampai minggu depan, Abang harus periksain Fisya ke dokter, ya. Dan coba di cek jadwal Fisya menstruasi," jawab Bunda, anehnya Bunda mengeringkan sebelah matanya. Indra hendak menjawab, namun Fisya sudah keburu datang dengan membawa baskom berisi nasi dan piring berisi ayam kecap. Aromanya begitu menggugah selera.
"Alhamdulilah, setiap hari selalu makan enak nih. Apalagi, juru masaknya Bunda sama Mbak Fisya, Ya Allah! Alangkah bahagianya hamba," ucap Indira, terkesan berlebihan memang. Namun, begitulah dia. Indira akan sangat akrab dengan orang terdekat.
"Besok Indi request ke Mbak Fisya boleh?" Indira bertanya, tangannya bergerak mengambil paha ayam yang dilumuri kecap dan beberapa potong cabai. Tentunya setelah Bunda, dan Abangnya mengambil.
KAMU SEDANG MEMBACA
[NUG's 3✔] SENPAI, Ana Uhibbuka FILLAH
SpiritualNUGRAHA SERIES : GENERASI #2-2 ___ Trilogy of [Assalamualaikum Calon Abi] *** Ini tentang perkara hati dan janji. Indira Mahestri, seorang mahasiswi polos di Universitas Dharma. Semua orang menyukainya karena Indira begitu baik dan suka membantu ses...