Chapter 26 | Memilih Siapa?

17.6K 1.9K 405
                                    

Bagian mananya yang salah dari takdir? Takdir tak pernah salah. Hanya manusia yang selalu menyalahkan takdir tanpa tahu jika sebenarnya Allah sudah merencanakan yang terbaik. Meski, jalan yang harus ditempuh tidaklah mudah.

🥋🥋🥋


LANGIT sore kini berubah mendung. Anzar melajukan mobil hitamnya membelah derasnya hujan. Gemericik air juga petir yang menyambar satu sama lain tak ia hiraukan. Tujuannya hanya satu, segera sampai rumah sakit dan bisa melihat putranya. Anzar jahat? Ya, bilang saja begitu. Mana ada seorang Ayah yang lebih memilih menuntaskan pekerjaannya terlebih dulu dibandingkan langsung pergi ke rumah sakit saat mendengar jika putranya sendiri kecelakaan? Meski Anzar sudah mendapat kabar dari Amalia bahwa Azzam mengalami patah tulang, namun rupanya kegilaannya terhadap pekerjaan tidak bisa dirubah.

Kemejanya basah saat Anzar memaksa menerobos derasnya hujan menuju lobi. Ia tidak menyediakan payung di dalam mobil. Biar saja. Ia akan meminta Pak Jaya untuk mengambilkan beberapa lembar kaus untuknya berganti, atau Anzar sendiri yang akan pulang dan kembali lagi ke rumah sakit.

Langkahnya dengan cepat menaiki lift. Bergegas menuju ruangan Anggrek, di lantai 4. Ia begitu cemas dengan keadaan Azzam. Meski sudah berumur 20 tahun dan kuliah, bahkan tahun depan Azzam wisuda, tetap saja Azzam adalah putranya. Darah dagingnya. Baginya, Azzam dan anak-anaknya yang lain tetaplah anak-anak. Azzam belum terlalu dewasa jika dibandingkan dengan Raihan.

Ia membuka knop pintu ruangan. Sontak membuat beberapa orang yang ada di dalam sana menoleh. Anzar tertegun melihat istrinya masih saja sesenggukan di samping Azzam. Ia menghela napas. Kebiasaan Amalia yang satu itu memang tidak bisa dirubah. Amalia terlalu cemas. Wajar saja karena ia adalah Ibu kandung Azzam.

"Assalamualaikum, Sayang," sapanya, mengecup dahi Amalia dengan penuh kasih sayang. Lalu, beralih menyapa Fatih, Kafka, Atthaya dan juga.. seorang perempuan asing.

"Siapa kamu?" tanyanya, terdengar dingin dan tidak bersahabat. Amalia yang mengerti situasi Anzar berbeda akhir-akhir ini menyentuh pundak Anzar. Mengusapnya, lalu berbisik. "Mas, apaan sih? Jangan kasar begitu. Namanya Indira, cantik kan? Dia junior Azzam di kampus. Umi pernah ketemu Indira di pengajian Ressa. Waktu itu Abi tidak bisa menemani karena ada urusan kantor."

Indira tersenyum kikuk. Menunduk takut. Kilatan mata tajam itu mengingatkannya dengan Azzam. Sungguh, wajahnya pun mirip sekali. Ayah dan anak itu seperti duplikat.

"Maaf, Indira," ucap Anzar, menghela napas. Ia merasa sangat bersalah sudah berkata kasar. Lalu, ia mengambil duduk di tempat yang sebelumnya Amalia duduki. Putranya tengah berbaring dan menatapnya seolah memberi tahu jika ia tidak boleh seperti itu pada Indira.

"Bagaimana keadaanmu, nak?" Anzar bertanya, melihat beberapa luka di sekujur tubuh Azzam yang nampak. Anzar menatap Azzam kasihan. Terlebih, pada kakinya yang dibiarkan dengan posisi lebih tinggi.

"Alhamdulilah baik, Abi. Azzam tidak apa-apa. Ujian dari Allah nih, mau wisuda," jawab Azzam, terkekeh. Responnya sangat santai. Tidak sama sekali khawatir jika ia harus mengambil giliran wisuda tahun depan. Itu artinya, ia harus tertinggal dari Fatih, Kafka maupun Atthaya.

"Sangat disayangkan, nak. Tapi, Abi tidak bisa memaksakan. Sebaiknya istirahat dan pikirkan bagaimana caranya agar cepat sembuh." Azzam mengangguk kala Anzar menepuk pundaknya. Memberinya semangat tanpa berbicara panjang lebar seperti Amalia.

[NUG's 3✔] SENPAI, Ana Uhibbuka FILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang