Aku memutuskan untuk berangkat sekolah di pagi hari tepat saat Jungkook belum bangun dari bunga tidurnya. Bukan apa, hanya saja hari ini aku berniat untuk menghindar dari presensinya setelah kejadian memalukan kemarin ku alami. Pun, tidak hanya itu saja alasanku berangkat cepat.
Aku juga akan bertemu dengan Park Jimin.
Berlebihan memang, karena pria itu memintaku bertemu dengannya sepulang sekolah. Dan memang tidak ada kaitannya dengan tindakanku sekarang. Namun kendati demikian, aku perlu mental yang kuat untuk bertemu dengan eksistensinya yang meninggalkan luka membekas di sudut hatiku terdalam. Sulit untuk menyembuhkan luka itu kendati aku telah mencoba untuk menghilangkan rasa sakitnya. Nyeri itu tetap hadir.
Karena pada dasarnya, Jimin itu cinta pertamaku.
Bohong jika aku berkata sudah melupakannya. Sebuah kebohongan lagi jika rasa aneh nan menggelitik itu telah lenyap.
Sangat sulit untuk melupakan sang cinta pertama. Apalagi perlakuan Jimin yang kerapkali berlaku romantis dan menerbangkan ku ke atas tepat di langit yang ke tujuh. Setiap tutur kata manisnya masih terngiang-ngiang dalam otak dan berputar ulang bak kaset rusak pengiring tidur malam ku.
Aku juga tidak dapat memungkiri bahwa sekarang aku sangat merindukan kehadirannya.
Menarik nafas dalam-dalam hingga sepasang bahuku terangkat, lantas aku melangkah dinamis sembari memperbaiki tali ransel yang ku sandang. Berjalan menunduk, memperhatikan langkah kurasa opsi terbaik ketimbang memandang lurus ke depan.
Sebab, aku dapat melihat kehadiran Jimin di sana. Dan entah kenapa debaran jantungku mulai terdengar keras hingga rasanya mau pecah. Aku mengulum bibir, tidak mengerti dengan sikapnya yang hadir tiba-tiba di pagi hari seperti ini. Apakah sebuah kebetulan?
Kurasa tidak.
Aku juga tidak tahu.
Langkahku semakin dekat, pun aku merasa bergerak dengan cepat padahal aku sudah berusaha untuk berjalan selambat mungkin.
Tungkaiku terhenti seketika saat sepatu pantofel berjarak beberapa senti di depan ku. Pandanganku yang semula tertunduk, perlahan mulai terangkat. Aku mengembungkan pipi sekejap guna mengusir perasaan gusar ini yang membuat seluruh persendian ku lemah.
Ah, tidak.
Wajah Jimin yang tersenyum sumringah semakin membuat tubuhku lemah seperti jelly.
"Hai," sapaannya menyambangi indera pendengaranku. Penampilan Jimin tetap sama, tidak ada yang berbeda. Selalu berpenampilan casual, tapi terlihat menawan.
Ludahku diteguk paksa, sebelum aku mengulas senyum keterpaksaan dengan sapaan canggung. Sial! Ini terdengar memalukan.
"H-hai, J-jimin ..." Aku mengalihkan tatapan begitu matanya menangkap manik ku yang bergetar. Lekas, aku melanjutkan sekuat tenaga kalimat yang telah tersusun apik di dalam kepala, "A-apa yang kau lakukan di—di sini?"
"Menunggumu, mungkin?" Jimin mengedikkan bahu. Senyum pun tak kunjung luntur dari bibirnya. "Aku menunggumu," ulang Jimin tegas.
Memainkan jemari ku yang basah karena keringat. Lekas aku menukas, "Bu-bukankah kau memintaku untuk bertemu sepulang sekolah?" Aku menunduk mengucapkannya. Sebab, aku benar-benar tidak berani saling berbalas tatap. Aku berusaha untuk mencoba melupakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Daddy ✓
FanfictionKetika kehidupan damai Park Jiyeon mulai terusik dengan kedatangan ayah barunya. Memporak-porandakan hatinya. © 2019 proudofjjkabs