Kinerja otakku total rusak hanya karena perlakuan Jungkook di dalam mobil tadi. Aku nyaris saja mati meleleh sebab persendian tubuhku berhenti berfungsi. Bergerak pun terasa sulit hingga aku hanya berani menatap kaku jalanan di depan dengan bibir bawah bagian dalam yang di gigit gusar. Takut-takut Jungkook dapat bertindak jauh. Isi pikiran yang kelewat negatif menguasai seluruh otak.
Yang kulakukan saat ini hanya membuang pandangan ke luar jendela saraya menatap gumpalan-gumpalan awan dalam balutan angkasa. Bibirku membingkai senyum tipis manakala kesejukan menyelimuti dada. Rasa cemas ku akan keadaan ibu tergantikan sejenak. Tepat setelah kejadian itu terjadi, tak ada percakapan lagi yang terjalin di antara kami. Hingga pesawat menerbangkan ku menuju ke tempat Ibu.
Jungkook diam. Aku pun begitu. Kami sama-sama bungkam dan lebih tertarik untuk larut dalam pikiran masing-masing. Yaa, kendati aku tidak dapat menebak apa yang Jungkook pikirkan. Entah suatu hal yang sama denganku, atau pikirannya berlainan kesana-kemari. Aku tidak peduli untuk itu sebab terdengar mustahil sekali dan ... konyol.
Maka, yang kulakukan hanya menarik nafas panjang sembari memperbaiki posisi duduk yang nyaman. Layar LCD di depanku tidak begitu menayangkan siaran yang menarik. Aku hanya menatap kosong dengan pandangan sayu pertanda kantuk mulai menguasai. Menguap sejenak lantaran kini kedua mataku terasa berat. Dan entah sejak kapan pandanganku mulai memburam perlahan hingga gelap datang sebagai penguasa.
Nafasku mulai berhembus teratur. Pun aku mulai bergabung ke dalam bunga tidur. Headphone masih menempel apik di sepasang indera pendengaranku. Tentu, aku dapat merasakannya sebelum sumpalan itu raib begitu saja. Pengap yang semula kurasakan mulai tiada. Aku tidak peduli karena rasa lelah lebih mendominasi diri.
Sayup-sayup aku dapat mendengar suara wanita yang berbicara samar tentang makanan. Disusul dengan tone berat yang menyahut seruan. Aku lantas menggeliatkan badan pelan dengan kepala yang memiring nyaris saja mematahkan leher. Percaya atau tidak, tepat saat aku bangun mungkin tulang leherku akan menjadi kaku untuk digerakkan barangkali hanya mengangguk.
Detik berikutnya aku dapat merasakan tarikan pelan seseorang yang membawa kepalaku bersandar menuju daerah yang nyaman. Terasa lebar dan menguarkan aroma maskulin seorang pria. Aroma ini tercium familiar sekali. Persis seperti ... aroma tubuh Jungkook?
Pun rasa lembab dan hangat di kening menyentakku sejemang sebelum aku bergerak untuk mencari kenyamanan akan posisi. Bergerak lebih dalam membawa kepalaku pada celah yang memancarkan bau sangat tajam daripada sebelumnya. Usapan pada suraiku semakin membawaku terbang ke dalam kenyamanan mimpi. Perlahan kesadaranku yang tinggal separuh mulai menghilang. Kini aku benar-benar kehilangan kesadaran dan lebih betah berada dalam pengaruh alam bawah sadar.
Sampai-sampai tone dalam itu berbisik serak. Tepat di depan telingaku dan bergema saat memantul ke gendang telinga. Terngiang-ngiang dalam kepala sebelum semuanya benar-benar kosong.
"Have a good rest, Jeon Jiyeon. Good sweet dreams."
...
"Aku tidak meminta kalian untuk datang. Kenapa harus memaksa datang jauh-jauh kemari hanya untuk menjengukku?"
Aku mendengus sebal dengan bibir mengerucut manakala mendengar sahutan ibu yang protes akan kedatangan kami mendadak seperti ini. Pun rasa syukur berulangkali aku rapalkan dalam hati ketika keadaan ibu terbilang baik-baik saja. Tak ada luka cukup parah. Hanya beberapa goresan kecil di kening dan daerah tubuh lainnya. Hanya menimbulkan rasa perih dan tidak akan berakibat fatal.
Syukurlah.
"Sayang, bagaimana kami tidak datang saat mendengar kabarmu itu, hm?" Suara Jungkook yang membalas mengalihkan perhatianku. Menemukannya yang mengusap dahi ibuku penuh afeksi dengan sorot mata yang ... penuh cinta? Kembali, Jungkook buka bibir, berkata, "Aku dan Jiyeon benar-benar cemas luar biasa. Kenapa kau harus mengemudi saat mabuk? Apa yang membuatmu mabuk-mabukan?"
Pertanyaan yang benar-benar menuntut. Aku bahkan dapat melihat raut kecemasan dalam figur Jungkook. Pandanganku berubah sendu saat tatapan ku yang lamat tidak diindahkan sama sekali olehnya. Lekas merubah subjek saat suara ibu menguar pelan.
"Tidak ada hal buruk yang terjadi." Ibu terkekeh kecil. Aku semakin menggenggam pegangan tanganku pada ibu. Ikut mematri senyum tipis. "Aku hanya ceroboh. Menghabiskan tiga botol wine tanpa memikirkan apapun. Aku ... aku benar-benar minta maaf," tutur ibu penuh sesal.
Ada jeda yang tercipta lantaran belum ada satupun yang berniat membalas. Jungkook hanya diam begitu aku meliriknya sekilas. Bingkai senyum hanyalah jawabannya tanpa untaian kata penjelas.
"Ibu, lain kali jangan lakukan itu lagi," aku memilih untuk menimpali. Mengenggam erat tangan ibu yang hangat seraya menyalurkan afeksi. "Aku takut Ibu kenapa-napa. Jangan lakukan itu lagi, sudah cukup Ibu melakukannya saat kehilangan Ayah."
Aku dapat mendengar kekehan kecil ibu yang mengudara. Sebelah tangannya yang lain terangkat demi mengusap kepalaku lembut sembari mengangguk-angguk pelan masih dengan senyuman yang bertahan.
"Iya, Sayang. Ibu mengerti. Maafkan Ibu, ya?"
Tak ada yang kulakukan lebih selain daripada melayangkan anggukan. Memeluk tubuh ringkih itu yang terbaring lemah dengan hati-hati.
"Aku haus, tidak ada minuman disini?" Aksen Jungkook refleks membuatku menoleh padanya.
"Tidak ada. Jangan minum minuman disini." Ibu membalas. Lekas menatapku dengan menukas, "Ji, bisa beli minuman kaleng untuk Ayahmu, Sayang?"
"Mm, baiklah."
Aku menurut, berbalik dan angkat kaki dari sana. Memacu tungkai lebih cepat dengan menciptakan larian kecil untuk menambah kecepatan. Menyusuri lorong rumah sakit yang benar-benar asing di mata. Cukup lama aku menemukan lemari pendingin berisi minuman kaleng. Lekas bergerak memasukkan koin dan mengambil beberapa kaleng minuman penyegar tenggorokan di sana.
Lantas aku beranjak dari sana menuju ruangan ibu. Kali ini aku berjalan teratur, hampir saja aku tersesat begitu sampai di persimpangan lorong yang banyak. Waktu yang kuhabiskan cukup lama untuk sampai ke tujuan. Aku menghela nafas lega begitu tiba di depan ruangan ibu. Dengan senyuman lebar aku melangkah. Membuka kenop pintu pelan dan ingin berseru barangkali berkata bahwa 'aku datang.'
Namun, semua itu harus ditelan bulat-bulat saat menemukan pemandangan yang menyesakkan. Tidak tahu kenapa, dadaku terasa sakit dan ngilu bersamaan. Pandanganku total terbelalak begitu saja dengan tubuh yang menegang. Mengintip di celah pintu yang kubuka kecil. Meneguk liur getir, aku hanya dapat tersenyum kecut saat kecapan memasuki indera pendengaran ku dengan jelas.
Memutuskan untuk menutup daun pintu pelan demi menghindari bunyi yang mungkin menganggu kegiatan mereka. Iya, menganggu kegiatan mesra Ibu dengan Jungkook yang saling menyalurkan rindu dengan sebuah ciuman panas di dalam sana. Manikku mulai memanas begitu saja dengan pandangan yang mulai memburam. Lantas aku melangkah lebih jauh dari pintu, duduk di kursi seraya menghapus lelehan air mata yang baru saja mengalir mulus di pipi.
Apa yang terjadi dengan diriku benar-benar sulit untuk ku mengerti. Seharusnya, itu wajar mereka lakukan. Tapi, aku tidak dapat menampik bahwa hatiku sakit saat melihatnya.
-seagulltii
23 April 2020Masih ada yang hidup jam sekarang? Aku baru sempat update YD. Awalnya bimbang mau lahirin cerita baru tapi hutang di WP banyak banget yang belum kelar><
Btw, bulan puasa udah mau datang. Aku mau minta maaf sama kalian. Maafkan dakuh yang banyak salah ini. Maybe, di bulan puasa aku harus hati-hati buat update scene yang romantis dan mature content:v
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Daddy ✓
FanfictionKetika kehidupan damai Park Jiyeon mulai terusik dengan kedatangan ayah barunya. Memporak-porandakan hatinya. © 2019 proudofjjkabs