a third kiss

27.8K 2.4K 122
                                    

"Coba kau tanya baik-baik, apa maksud ciuman itu? Jangan mau dipermainkan olehnya, Ji. Jangan diam saja jika kau dilecehkan."

Aku masih tersedu dan sesekali terisak kecil. Berusaha menghapus genangan air mata yang kembali jatuh lagi. Yaa, aku baru saja habis bercerita panjang lebar kepada Jieun. Ini sedikit melegakan walau belum sepenuhnya aku merasakan lega. Setidaknya, aku mempunyai tempat yang tepat untuk menceritakan kejadian hari ini sebelum aku memutuskan untuk datang kemari.

Sebab, aku tidak bisa bernafas dengan baik setelah apa yang menimpaku. Aku butuh tempat untuk bercerita. Lantas, aku mengendarai mobil membelah jalanan Seoul menuju apartemen Jieun.

Datang begitu saja sebab aku tahu kode apartemennya—sangat menguntungkan sekali.

Jieun sempat marah, tapi melihat wajahku yang memelas dan seperti ingin menangis ia menghampiriku dengan khawatir. Memborbardir ku dengan cecaran pertanyaan yang ku abaikan. Sebab, kepala ku terlalu pening untuk dapat mencerna segala rentetan frasanya. Kekurangan tidur adalah hal terburuk yang pernah aku alami semasa hidup.

Tidak peduli lagi dengan Jungkook, aku merasa muak berada di dekatnya. Berada di dekatnya jelas ide buruk, sebab aku merasakan nyeri mendadak di dada.

"Sudah tenang?" Jieun memegang bahuku lembut. Aku sangat berterima kasih padanya karena sudah mau meluangkan waktu libur hanya untuk mendengar keluh kesahku. Meminjamkan bahunya untuk ku bersandar kala aku menumpahkan segalanya melalui air mata.

Lekas aku mengangguk pelan, hidungku tersumbat karena tangisan hebatku sebelumnya. "Terima kasih sudah mau mendengarkan ceritaku," tuturku kelewat pelan dengan suara serak sehabis menangis.

Aku benci dengan keadaanku sekarang.

"Tidak apa, tidak masalah," katanya tanpa berhenti mengusap punggungku. "Kau bisa menceritakan semua masalahmu padaku. Aku akan bersiap membantumu semampuku. Jangan memendamnya."

Bibirku mematri senyum asimetris kendati bentuknya samar. Untuk beberapa hari kedepan aku memutuskan untuk tinggal di apartemen Jieun sampai ibu pulang. Bukan apa, hanya saja Jungkook terlalu bahaya untukku. Aku harus menghindarinya selagi bisa. Berada berdua di rumah dengan pria kelebihan hormon itu akan menjadi alarm peringatan untukku.

"Kau sudah makan?" tanya Jieun. Lekas ia beranjak dan membuka lemari pendingin di sudut dapur. "Aku punya beberapa cemilan di sini. Tapi jika untuk bahan masakan, aku tidak punya. Aku hanya punya ramen."

"Aku tidak berselera untuk makan."

"Oh, ayolah, Park Jiyeon." Jieun berdecak tidak habis pikir. Menghampiriku dengan wajah tertekuknya. "Jangan bilang karena masalah itu kau tidak nafsu makan?! Geez! Ini tidak seperti dirimu yang biasanya." Intonasinya naik beberapa oktaf saat berkata begitu.

Lantas aku mengulum bibir sejemang. "Kejadian itu membuat selera makan ku hilang," aku menunduk, menghindari tatapan intimidasi Jieun yang pastinya akan penuh angkara nanti. "Tapi aku akan menghabiskan isi kulkasmu," lanjutku dengan senyuman lebar. Berusaha untuk mencairkan suasana agar Jieun tidak berdebat lagi.

"Tch! Ya, ya. Terserah kau saja," ucapnya menyerah. Meletakkan kasar cemilan itu ke atas meja sofa ruang tengah tempatku duduk bersila. "Habiskan semuanya, aku tidak mau tahu."

Lekas aku terkekeh geli, meraih cepat bungkusan plastik besar itu.

"Tapi, Ji," kunyahan ku terhenti manakala suara Jieun memecah keheningan yang terjadi mengitari kami. Aku mengangkat sebelah alis menunggu apa yang akan diucapkannya. "Kau tidak berminat bertanya apa maksud ciumannya itu? Setidaknya, kau harus tahu alasan dia melakukan tindakan tidak senonoh seperti itu padamu."

Aku terdiam, pun kunyahanku ikut terhenti. Mencerna dengan baik setiap abjad yang Jieun lontarkan memasuki sepasang runguku. Memang benar, aku merasa amat penasaran akan alasan dibalik tindakan lelaki itu selaku ayah tiriku. Jungkook terlalu berbuat lancang jika aku biarkan. Aku bisa mengadukan hal ini kepada ibu yang pastinya akan mempercayaiku dibandingkan dirinya.

Sibuk terdiam karena pikiranku yang berkecamuk, aku tersentak saat merasakan getaran ponsel yang tergeletak di atas meja. Menemukan satu nomor tidak diketahui yang masuk.

"Ha—"

"Cepat keluar. Aku di depan gedung apartemen temanmu."

What?! Jungkook?!

...

Sepanjang perjalanan aku tidak berhenti menggerutu pelan kendati Jungkook berada di kursi kemudi. Aku membuang wajah, lebih memilih memfokuskan pandangan pada objek luar jendela yang memaparkan pemandangan sehabis hujan. Aroma petrikor merasuki indera penciuman disela perjalanan kami dan terasa menggelitik hidung.

"Kau pergi tanpa seizin ku." Sejemang aku merasa terkejut dengan suara berat itu. Tapi aku berusaha abai, tanpa menatapnya dan tetap mendengarkan ucapannya. "Selagi ibu mu tidak ada dirumah, kau adalah tanggungjawab ku," lanjutnya lagi.

Melalui ekor mata, aku melihatnya. Tidak ada kebohongan di sana, aku hanya menemukan kesungguhan dalam parasnya yang kini fokus pada jalanan di depan.

Aku kembali mengalihkan pandangan. Tidak berminat untuk membalas kalimatnya barusan. Keinginan ku untuk menetap di apartemen Jieun sepertinya hanya sebatas keinginan saja. Sebab, pria ini memaksaku pulang dan akan mengadukan tindakan tidak sopanku pada ibu—ancamnya.

Sial! Tidak sopan katanya. Siapa yang tidak sopan disini, huh?

Barangkali aku ingin sekali menyangkal, tapi untuk sementara aku membiarkan Jungkook memegang kendali sebelum aku yang nantinya akan berkuasa.

"Aku harap kau dapat mengerti kata-kata ku, Jeon Jiyeon."

Jantungku mencelos seketika saat Jungkook buka suara lagi disela deru mesin mobil pengisi keheningan sebelumnya. Aku menoleh cepat dengan sepasang alisku yang menukik.

"Jangan merubah margaku seenaknya saja," ucapku sinis tanpa melepaskan atensi.

Jungkook mematri senyum samar. Melihatku sekilas sebelum kembali menatap ke depan.

"Margamu sudah berubah semenjak ibu mu menikah dengan ku. Tidak ada lagi Park, yang ada hanya Je—"

"Itu hanya menurut mu. Sayang sekali Park akan tetap menjadi margaku sampai kapanpun itu," aku menyela ucapannya. "Aku tidak pernah setuju dengan pernikahan kalian. Tapi aku terpaksa menyetujuinya sebab merasa kasihan kepada ibu."

"Jadi kau hanya mengasihani ibumu, begitu?" tanya Jungkook dengan sebelah alis terangkat. "Waw. Anak yang balas budi sekali."

Brengsek.

Kepalan tanganku kian terasa kuat. Aku tidak punya kata-kata lagi yang pas untuk dilontarkan sebab otakku merasa kosong.

"Kau bermulut kasar dan keras kepala. Berbeda sekali dengan ibumu," tukas Jungkook lagi. "Ibumu wanita lembut dan penurut. Padahal dia tua dariku beberapa tahun. Sementara dirimu, lebih kecil dariku tapi tidak pernah bersikap sopan santun."

Refleks aku ternganga mendengar tuturan kalimatnya barusan yang kelewat tajam. Aku mendengus seraya membuang muka, menjilat sudut bibir sejenak sebelum mengangguk-angguk.

"Ya, begitulah aku. Aku memang berbeda dengan ibu," balasku kelewat santai. Menunjukkan kepadanya bahwa seberapa kuat diriku yang tidak akan goyah hanya dengan kata-katanya barusan.

"Tapi sikapku begini tergantung dari sikapmu padaku," sambung ku lagi saat Jungkook tak kunjung membalas. "Bukankah sudah kukatakan sebelumnya, jika kau berlaku tidak sopan padaku, maka aku akan bersikap jauh lebih buruk daripada itu."

Tepat setelah aku mengakhiri frasa ku dengan penuh penekanan, Jungkook mendadak menginjak pedal rem hingga kepalaku membentur dashboard mobil.

Duk!

"Aw—shit!" Aku mengerang, memegang dahi ku yang terbentur terasa panas.

Lekas menoleh menghadap sang biang masalah ini, ingin melayangkan umpatan yang sudah tersusun apik dalam kepala.

Tapi sepertinya harus tertahan di kerongkongan saat dengan lancangnya bibir Jungkook kembali mencumbui ku—lagi.

-seagulltii
31 Januari 2019

Young Daddy ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang