Jika kalian bertanya apa yang terjadi denganku, aku juga tidak tahu. Dan aku sama sekali tidak mengerti dengan diriku sendiri.
Respons tubuhku benar-benar di luar kendali. Entah aku sensitif sebab mendekati datang bulan atau apa, namun yang jelas aku tidak pernah sesensitif ini sebelumnya. Terakhir kali aku menjadi manusia yang menyebalkan semenjak Jimin mengakhiri hubungan—
Aish! Kenapa membahas itu?!
Aku tidak mau mengingatnya.
Usahaku untuk menghentikan sesegukan yang terdengar samar tidak membuahkan hasil sama sekali. Sesekali aku bermenung, kemudian air mata itu luruh lagi dan aku terisak untuk kesekian kalinya. Aku juga tidak mengerti dengan keadaanku sekarang.
Lantas selang beberapa menit kuhabiskan dengan meratapi perasaan bersalah karena membuat Jungkook dilanda amarah, aku memutuskan untuk bangkit. Dengan langkah tergopoh-gopoh dan sempoyongan, pun hampir saja terjembab ke permukaan marmer jika saja refleks tubuhku yang bagus tidak menahan bobot tubuhku dengan bersandar di dinding.
Kepalaku sakit sehabis menangis. Ini hal wajar. Sudah bukan hal awam lagi aku mengalami hal seperti ini. Lekas aku melanjutkan langkah perlahan memasuki kamar mandi, berniat membasuh wajah agar pikiran ku kembali segar dan tenang. Kendati perasaan bersalah itu masih saja tetap ada, aku harus melupakannya sejenak sebelum aku berakhir dengan pagi yang buruk esoknya.
Setelah aku membersihkan wajah di wastafel, aku sejenak berhenti. Memerhatikan refleksi wajahku dengan partikel air yang masih berjejak di epidermis. Mataku sembab, hidung memerah, dan bibir yang agak menebal. Ah, keadaan yang benar-benar kacau.
Menghela nafas kasar, kurasa pikiranku sudah mulai tenang sedikit demi sedikit. Aku kembali menuju ranjang dan terduduk di bibirnya. Memerhatikan jam yang tergantung apik di permukaan dinding.
Pukul sebelas lewat empat puluh dua menit.
Bagus sekali. Aku hampir menghabiskan kisaran waktu kira-kira dua jam lebih hanya untuk menangis. Memecahkan rekor menangis dengan durasi paling lama seumur hidup. Baiklah, itu terdengar seperti lelucon yang berlebihan. Tapi aku serius.
Hampir pertengahan malam, pun aku tidak mendengar deru mesin mobil di bawah pertanda Jungkook sudah pulang. Yaa, Jungkook pergi dari rumah bersama mobilnya. Entah kemana itu. Kurasa ia benar-benar marah dan kecewa dengan sikapku yang tidak menghargai dirinya.
Aku menarik nafas berat lagi, segera meraih ponsel dan mendial nomor seseorang yang kurindukan. Begitu panggilan terhubung, bibirku mengulas senyum samar. Perasaan rindu tak tertahankan ingin ku luapkan segera dengan berkonversasi sejemang.
"Hallo, Ibu ..." Aku memulai sapaan dengan kesenangan yang membuncah.
"Hai, Sayang. Ada apa?"
Mengulum senyum, aku membalas lagi, "Bagaimana kabar Ibu sekarang?" Aku tidak tahu mengapa suaraku seketika berubah menjadi serak. Dan itu pastinya mengundang tanda tanya yang besar di kepala ibu.
"Sayang, kenapa dengan suaramu?" Sudah kuduga. "Kau ... katakan, apa yang terjadi?" Intonasi bicara ibu kini terdengar menuntut jawaban yang memuaskan.
Lantas aku menggigit bibir bawah, menahan genangan air di pelupuk mata meminta ditumpahkan segera. Lekas aku mendongak, berusaha untuk menghentikannya.
Aku dilanda bingung. Akankah berbagi dengan menceritakan kejadian hari ini kepada ibu, atau bagaimana. Lantaran ketakutan dan perasaan teramat bersalah masih saja terasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Daddy ✓
Fiksi PenggemarKetika kehidupan damai Park Jiyeon mulai terusik dengan kedatangan ayah barunya. Memporak-porandakan hatinya. © 2019 proudofjjkabs