own conclusions

21K 2.1K 215
                                    

"Jadi, dia siapa?"

Jimin menuntut pertanyaan itu berulangkali ketika aku mencoba mengalihkan topik, sayangnya tidak berhasil sama sekali. Seolah ada tarikan khusus hingga Jimin mengulang lagi kata yang sama. Aku tidak tahu apa yang membuatnya begitu penasaran dengan entitas Jungkook setelah bertemu kendati sekilas. Namun jelas, paras wajah Jungkook yang asing dalam lingkup keluarga kami menjadi titik fokus bagi Jimin saat ini.

Menelan saliva ku gugup, aku berusaha mengeluarkan kalimat walau terdengar serak, "Dia ayahku."

Ada raut keterkejutan dikala aku berujar begitu, terpancar jelas dalam figur wajah Jimin tanpa respons aksara. Barangkali kata 'Apa' atau 'Sumpah' terdengar, nyatanya tak ada apapun yang keluar dari belah bibir tebalnya. Hanya sepasang iris itu kini tengah melebar dengan mulut yang terbuka.

"B-bagaimana ... " Terdengar jeda lantaran Jimin menyugar surainya kasar. "Bagaimana bisa?"

"Tentu saja bisa. Ibuku menikah lagi," balasku cepat. Apa-apaan dengan pertanyaan retorisnya barusan? Ibuku punya hak menikah selama itu dengan lelaki yang tentu saja harus ada rasa cinta di dalamnya. Aku berdehem, menyahut, "Apa terlihat aneh hingga kau bertanya begitu?"

"Tidak, Ji. Tidak. Tidak aneh sama sekali," Jimin membalas cepat. Tersadar dengan aksen suaraku yang melirih, kini mukanya tampak merasa bersalah. "Maksudku, aku hanya terkejut saja. Sebab, pria yang menjadi ayahmu ... " Mengulum bibir, Jimin menjawab ragu, " ... terlihat muda. Seperti seumuran denganku?" Satu alisnya menjungkir naik.

Aku tahu, hal ini pasti akan ditanyakan. Tak ada siapapun yang tidak dikejutkan dengan sosok ayah baruku sekarang. Tampan, muda, kaya raya, tapi menikahi wanita beranak satu dengan estimasi umur yang tidak cukup jauh. Diam-diam aku juga merasa kecewa dengan keputusan ibu yang mendadak tanpa sepengetahuan ku.

"Aku juga tidak mengerti," aku tertawa sinting sejemang. Meminum frappuccino ku getir, lantas melanjutkan, "Ini semua begitu mendadak. Ibuku bahkan memperkenalkannya sehari sebelum pernikahan. Benar-benar mendadak dan tentu saja aku juga tidak tahu jawabannya. Kenapa bisa ... Ibu menikah dengannya."

Satu hela nafas panjang Jimin terdengar menyita atensi ku sedetik untuk memerhatikan, sebelum menilik bayangan wajahku yang sendu di dalam cangkir frappuccino isi setengah. Aku menggenggamnya erat, menggigit sedikit bibir bawah lantaran kini sesak menyerang mendadak.

Pegangan tangan hangat Jimin kemudian menyentakkan. Lekas mengangkat kepala, melihat bibirnya membentuk kurva bulan sabit yang indah dengan manik menyipit. Sangat menyejukkan dan menenangkan hingga beban dalam kepalaku menguap terbawa angin lepas. Pun ada tarikan tertentu hingga aku dibuat tersenyum kendati tipis. Setidaknya, aku membentuk sebuah ekspresi.

"Tak usah dipikirin lagi," ia mengusap lembut punggung tanganku. "Setidaknya kau bahagia. Kau bahagia, 'kan?"

Aku tidak tahu penggambaran seperti apa yang cocok untuk mendefinisikan kehidupan baruku bersama dengan Jungkook. Semua total kosong melompong, aku tergugu barangkali untuk menjawab. Tercenung sesaat lantaran tengah sibuk dengan isi pikiran yang berubah abstrak sekejap.

"B-bahagia?" Apakah ciuman dan sikap Jungkook yang tidak sopan termasuk dalam kategori itu? Aku bingung. Lantas aku membingkai senyum paksa senatural mungkin, "Y-ya, tentu saja. Aku bahagia sekali." Diikuti anggukan cepat kepalaku demi memperkuat frasa.

"Dia tidak melakukan hal-hal buruk, 'kan?" Mata Jimin yang semakin sipit itu adalah sentilan bagiku. Itu berupa tatapan intimidasi yang menyorot tajam, bahkan menembus tulang belulang. Pun aliran darahku berdesir cepat saat Jimin menambahkan, "Aku hanya takut, dia mempunyai niat terselubung yang lain hingga harus menikahi Ibumu. Jika aku menjadi dirinya, ya, tentu kau paham maksudku, 'kan, Jiyeon?"

Young Daddy ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang