"KAU—ASTAGA, DIA BILANG BEGITU?!"
Aku berusaha mendesis tajam, membuat gestur sarat untuk diam. Kekesalanku total membludak hanya karena Jieun yang terpekik hebat tepat setelah mendengar kisah murahan yang baru saja aku ceritakan padanya. Sial. Jika aku tahu reaksinya akan sebegini, maka aku enggan untuk membuka mulut dan berdongeng disaat yang tidak tepat. Di tengah keramaian kantin ketika jam istirahat sekolah. Ayolah, bahkan ada beberapa pasang mata yang sempat menilik penasaran dengan apa yang kami bicarakan.
"Sst! Bisakah kau diam?" Aku menggertak pelan dengan netra tajamku. "Tidak perlu berteriak begitu. Kau terlalu berlebihan."
"Bagaimana tidak berlebihan jika aku mendengarnya—oh, astaga," Jieun menyibak rambut bagian depannya yang berantakan. Lantas kembali menyoroti ku serius. "Bukankah sebelumnya dia bilang itu hanyalah nafsu belaka?" tuturnya menekan sembari membuat tanda kutip.
Aku lekas memperbaiki dudukku dan memajukan kursi agar semakin dekat dengannya. Mengikis jarak setelah memastikan seluruh keadaan aman. Lantas aku berbisik pelan, "Aku juga tidak tahu. Dia sendiri bilang begitu kalau dia mencintai Ibuku."
Nafas kasar Jieun berhembus seraya dia tengah berpikir. Mengetuk permukaan meja menggunakan jemarinya dengan kening yang belum surut dari kerutan.
"Ini aneh. Aku juga tidak mengerti dengan apa yang dia rencanakan," balasnya sambil menggaruk pelan pipinya. "Maksudku, dia terlalu rakus dan egois. Mencintai kalian berdua—Ibu dan anak?!" Aksennya kini meninggi sirat akan ketidakpercayaan. "Benar-benar gila. Kurasa dia tidak waras sama sekali," sambungnya dengan mengibaskan sebelah tangan ke udara.
"Tapi, walaupun begitu," aku menjeda kalimat sembari membasahi bibir bawahku yang terasa kering. "Aku akan tetap fokus kepada Jimin. Entah kenapa, aku yakin pilihanku tidak salah sekarang. Jimin mencintaiku, dan aku juga akan mencoba untuk mencintainya."
"Jadi, kau selama ini tidak mencintainya?" tanya Jieun memajukan wajah ke hadapanku.
Meneguk saliva kasar, aku lekas mengangguk kaku, "Ya, maksudku, bukan tidak mencintainya. Hanya saja, aku takut lagi untuk menaruh rasa yang sama pada Jimin setelah apa yang dia lakukan kendati dia meninggalkan ku karena urusan yang benar-benar penting. Ya, hanya saja—" mengedikkan bahu, lantas aku menyeruput sodaku dalam jeda yang kubuat. Kembali melanjutkan, "Kau pasti tahu bagaimana rasa sakitnya ditinggalkan disaat aku menyayanginya."
Jieun menumpukan dagunya dengan kedua tangan tanpa melepaskan tatapan lekat padaku. Sontak sebelah alisku terangkat sebelah, "Apa?"
"Tidak. Hanya saja aku kembali mengingat-ingat masa-masa terpurukmu."
"Ah," aku mengibaskan tangan di depan wajahnya sembari membuat ekspresi masam. "Tch, jangan dibayangkan. Itu benar-benar memalukan sekali," desisku. "Aku tidak percaya pengaruh Jimin sebegitu kuatnya saat itu."
"Bagaimana lagi, Jimin adalah cinta pertama mu. Orang bilang, cinta pertama itu indah," ujarnya dengan memiringkan kepala ke kiri dengan senyum tipis yang terpatri. "Lagipula, kau dan Jimin merupakan perpaduan yang sempurna. Kalian sangat cocok. Aku juga sangat setuju jika kau kembali menempatkan hatimu untuk Jimin seorang."
"Jadi, keputusan ku tidak salah, bukan?" Kembali aku mengaju tanya akan opsi mana yang ku pilih. Aku butuh saran saat ini.
Jieun memberikan anggukan afirmatif yang membuat senyumku semakin terkembang.
"Yakinlah dengan keputusan mu itu. Ini adalah jalan yang kau pilih. Aku hanya tidak ingin membawamu ke dalam zona merah. Maka, menghindari Jungkook adalah pilihan yang tepat, Ji. Ketimbang ... " Jieun menjeda dengan mengedikkan bahu pelan. Lantas dia menarik nafas dalam-dalam dan dihembuskan hanya satu kali sentakan. Lekas melanjutkan, "Kau menyakiti hati Ibumu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Daddy ✓
FanfictionKetika kehidupan damai Park Jiyeon mulai terusik dengan kedatangan ayah barunya. Memporak-porandakan hatinya. © 2019 proudofjjkabs