Aku bumi dan kamu mataharinya, namun siapa yang akan menjadi rembulan untuk menemani malamku?
Genap satu bulan sudah hubungan Ike dan Nata. Mereka selalu mengisi hari dengan berbagai hal yang bermanfaat buat kehidupan mereka. Namanya juga berpacaran dengan orang berprestasi, ya sudah pasti tempat favorit untuk dikunjungi tidak akan jauh-jauh dari perpustakaan dan toko buku. Namun hari ini berbeda, Ike dan Nata akan pergi keluar. Bukan ke toko buku tentunya. Mereka akan pergi untuk mengisi perut bersama.
Ike sudah siap dengan baju casualnya. Ia selalu antusias ketika akan pergi keluar bersama Nata. Memang, Nata seperti matahari yang selalu menyinari harinya. Ia selalu bahagia saat bersama Nata. Ia benar-benar bersyukur bisa bersama Nata. Saat masih sibuk dengan lamunannya tiba-tiba ada suara motor yang berhenti didepan rumahnya. Ike langsung berdiri dan menghampiri Nata yang masih duduk di motor Vespanya.
" hai kak" sapa Ike dengan senyuman yang begitu lebar. Siapapun pasti akan berlaku sama seperti Ike, di temui kekasih hati dan diajak jalan. Cewek manapun pasti akan merasa bahagia.
"sudah siap?" tanpa membalasa sapaan Ike, Nata langsung bertanya pada Ike. Memang sudah satu bulan hubungan resmi mereka berjalan, namun Nata tetaplah Nata yang tidak bisa bersikap receh dan manis. Bukan ia tidak mau mencoba, tapi Ike sendiri menghendaki agar Nata tetap seperti Nata yang asli. Menurut Ike barang ori lebih menarik, begitu juga dengan sikap Nata, sikap Nata yang asli lebih menantang.
Tanpa menjawab pertanyaan Nata, Ike hanya mengangguk dan langsung duduk di jok belakang motor antik Nata. Setelah memastikan Ike sudah siap, Nata menyalakan motornya dan melajukannya secara perlahan. Ike yang ada di belakang hanya berpegangan pada jaket Nata, wajahnya dipenuhi dengan senyum manis yang menunjukkan betapa bahagia dirinya saat ini.
Ike memang bahagia, sungguh sangat bahagia. seolah seluruh isi hatinya hanya penuh dengan kata bahagia. tidak ada persaan lain yang menghampiri dirinya. Selain karena ia sudah bisa bersama Nata, tidak hadirnya Vando dalam segala kegiatannya baik di sekolah maupun diluar sekolah juga menjadi kebahagiaan sendiri bagi Ike. Namun, kadang dari lubuk hatinya yang terdalam ada rasa aneh ketika dirinya tidak menemukan keberadaan Vando atau saat dirinya bersua dengan Vando, namun ia tidak di ganggu sedikitpun olehnya. Hal itu benar-benar terasa aneh, tetapi ia langsung menghilangkan pemikiran tersebut karena Nata sudah menjadi sumber bahagianya.
Tanpa terasa, kini motor Vando sudah diparkirkan dengan rapi di parkiran depan caffe yang terlihat cukup menarik untuk dikunjungi. Dari luar juga tampak banyak muda-mudi yang tengah menikmati santap malam mereka. Tidak ada percakapan anatara Nata dan Ike, namun Ike sudah mulai terbiasa. Ia berjalan dibelakang Nata mengikuti kemana langkah Nata tertuju.
Setelah memesan pesanan, masih juga tidak ada percakapan di antara Nata dan Ike. Memang Ike sudah terbiasa, namun kadang ia juga menjadi kesal sendiri dengan tingkah Nata. Ike tidak mau terus-terussan memulai percakapan, ia kadang juga lelah untuk terus memahami Nata tapi tidak pernah dipahami.
"kak." Ucap Ike yang berhasil memecah keheningan.
"hmm" tanpa melirik sedikitpun Nata hanya seperti berdeham menjawab panggilan dari Ike. Matanya masih terfokus pada ponselnya yang tidak pernah Ike ketahui apa isinya.
"kakak kok diem mulu si" dengan Nada yang sedikit merajuk, Ike mulai menunjukkan kekesalannya pada Nata.
"hmm" lagi dan lagi hanya itu yang Nata ucapkan. Seolah tidak punya minat untuk berbicara, Nata hanya mendenguskan nafasnya. Tentu saja hal itu tidak lepas dari penglihatan Ike yang membuatnya semakin berang.
"kakak niat ngajak aku keluar gak sih,, kok malah nyuekin aku kaya gini" emosi Ike tersulut karena tidak mendapatkan respon positif dari Nata. Ia benar-benar marah, malam yang seharusnya penuh dengan kata bahagia kini berganti dengan malam yang diisi dengan rasa kecewa dan amarah.
" maaf Ke, aku harus balik. Kamu pulang naik taksi atau ojol aja." tanpa menunggu jawaban Ike, Nata langsung bergegas meninggalkan Ike. Seolah ada sesuatu yang begitu darurat, wajah Nata terlihat begitu cemas. Ia bahkan tidak menengok sedikitpun ke arah Ike, gadis yang ia bawa keluar. Gadis yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya untuk mengantarkannya sampai rumah. Sementara Ike hanya bisa terdiam, ia tidak menyangka akan mengalami hal ini lagi. Ditinggalkan sendiri oleh orang yang mengajaknya keluar dan sayangnya orang tersebut adalah orang yang ia kasihi.
Ike benar-benar kecewa dengan apa yang Nata lakukan. Ia merasa seperti gadis yang tidak ada harganya ketika ditinggalkan bahkan tanpa melihat wajahnya sama sekali. Ike benar-benar sedih. Nata yang ia anggap sebagai matahari pemberi sinar kehidupan, sinar kebahagiaan dalam hidupnya, nyatanya menghilang dan meninggalkan jejak gelap yang menyesakkan. Ike jadi sadar bahwa Matahari memang tidak selalu menyinari bumi, ada malam yang memiahkan bumi dengan matahari.
Di malam hari, bumi menjadi gelap dan terlihat kelabu, begitu pula Ike yang ditinggalkan mataharinya. Ia terlihat benar-benar menyedihkan, duduk sendirian dengan wajah berlinang air mata. Tentu saja hal itu menimbulkan tanya bagi siapapun.
Ike sadar bahwa ternyata perumpamaan dirinya sebagai bumi dan Nata sebagai matahari adalah benar-benar tidak tepat. Nyatanya, bumi masih bisa berbahagia karena di tengah malam yang begitu gelap masih ditemani oleh sosok bulan yang begitu hangat. Sementara dirinya hanya akan dirundung duka ketika matahari tidak ada. Apakah ia pantas berharap akan hadirnya rembulan yang menghangatkan hatinya yang sedang kacau? Dan kenapa dirinya merasa bersalah telah menyia-nyiakan Vando? Apakah kini pilihannya menjadi sebuah kesalahan? Ike benar-benar tidak bisa berhenti memikirkan hal tersebut. Ia kecewa dengan Nata namun ia tidak bisa membenci Nata. Berkali-kali ia dikecewakan, namun hatinya tetap tertuju pada Nata. Ia benar-benar marah pada dirinya sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/97291250-288-k410945.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Feeling (Completed)
Teen FictionCOMPLETED Aku tidak bisa memilih mana yang terbaik dari dua pilihan yang sama baiknya. Aku memang egois, dengan menginginkan kalian berdua untuk terus bersamaku. Tapi kini aku sadar bahwa aku tidak bisa selamanya menggenggam dua hati yang terlalu ba...