Kenyataan Pahit

14 3 0
                                    



Lahir dan Mati adalah takdir yang tidak bisa dihindari

Di sebuah ruangan yang cukup rapi dengan nuansa putih yang dominan terdapat tiga orang yang tengah berbincang. Seorang dokter dengan sepasang pria dan wanita yang sudah paruh baya.

"Jadi bagaimana kondisi anak saya dok? "tanya Fernand kepada dokter yang tadi menangani Vando.

Fernand memang tadi sedang berada di kantornya sebelum mendapatkan kabar bahwa anak semata wayangnya masuk rumah sakit. Fernand baru tahu alasan Vando masuk rumah sakit lantaran berantem dengan anak kandung istrinya setelah dijelaskan oleh Risa. Ia tidak mau menyalahkan siapapun karena semuanya sudah terlanjur terjadi. Namun Fernand tidak bisa tenang begitu saja karena ada alasan yang membuat dirinya selalu khawatir terhadap Vando.

"Kondisi anak bapak baik-baik saja." Dokter yang terlihat sudah berusia cukup matang membuka suara untuk menjawab pertanyaan Fernand.

Fernand dan Risa menghembuskan nafas lega setelah mendengar jawaban dokter. Mereka sangat cemas akan kondisi Vando. Mereka tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Mereka tidak mau kehilangan Vando.

"Namun bolehkah saya tahu, apa anak bapak dan ibu memiliki penyakit tertentu?" Tanya dokter tersebut dengan nada yang terdengar cukup khawatir.

"Memang ada apa dok?" kali ini Risa yang bersuara.

Risa memang mama tiri Vando tapi hal itu sama sekali tidak membuatnya membenci Vando. Risa sangat menyayangi Vando, seperti ia mengasihi anak kandundungnya sendiri.

"Sepertinya paru-paru anak bapak dan ibu mengalami gangguan fungsi. Paru-paru kanannya tidak bisa berfungsi secara normal." Dokter mengucapkan hal yang sangat ditakutkan oleh Fernand dan Risa.

Fernand langsung panik dan tidak bisa mengontrol diri. Pikirannya melanglang buana. Ia tidak bisa fokus saat ini. Pikirannya begitu terfokus pada Vando. Ia tidak bisa membayangkan hal buruk terjadi pada Vando. Cukup sudah Fernand merasakan rasa pedih saat ditinggalkan Indah. Fernand tidak mau lagi merasakan kehilangan.

"Apapun caranya selamatkan anak saya dok." Fernand bersuara dengan gemetar yang menyelimuti tubuhnya.

"Tenang dulu Pa." Risa yang ada disamping Fernand memegang tangan Fernand berusaha menenangkan suaminya yang mendadak panik mendengar penjelasan dokter.

"Vando memang terkena kanker sejak empat tahun yang lalu dok. Tapi selama ini kondisinya selalu baik-baik saja." Risa menjelaskan kondisi Vando yang sebenarnya.

4 tahun lalu, beberapa bulan setelah pernikahan Risa dan Fernand memang Vando mengalami sesak nafas yang cukup parah. Vando dibawa oleh kedua orangtuanya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan agar Vando segera sembuh. Namun, bukan berita bahagia yang didapat. Fernand sangat terpukul pada saat itu. Ia menerima kabar dari dokter yang memeriksa Vando bahwa anaknya mengidap kanker paru-paru. Lebih menyedihkannya lagi, kanker yang ada pada paru-paru Vando sudah sampai stadium IIIA.

Kanker paru-paru dengan stadium IIIA merupakan status penyakit yang sudah cukup parah. Vando diprediksi hanya memiliki sisa umur 5 tahun. Dan itupun hanya 19% dari total penderita kanker paru-paru stadium IIIA yang mampu bertahan.

Vonis dokter itu sudah 4 tahun yang lalu. Kini Fernand benar-benar kalut memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi pada anaknya. Ia tidak bisa untuk melihat anaknya menderita. Jika Tuhan bersedia mengubah takdir, Fernand lebih memilih agar dirinya saja yang mengidap penyakit mematikan tersebut. Ia tidak mungkin kuat untuk melihat anaknya merasakan sakit yang amat luar biasa menyakitkan itu.

"Tadi kami dari pihak dokter rumah sakit ini langsung berkoordinasi dengan dokter ahli kanker. Dan menurut beliau, saat ini penyakit anak bapak sudah ada pada stadium IV. Anak bapak harus segera mendapatkan penanganan agar penyebaran sel kankernya bisa dihentikan." Jelas panjang lebar dokter tentang penyakit yang dialami oleh Vando.

"Lakukan apa saja dok, segera dok. Selamatkan anak saya dok." Dengan panik Fernand berkata sembari menarik-narik lengan dokter tersebut.

Fernand benar-benar tidak bisa berpikir normal sekarang. Ia hanya fokus pada Vando. Sementara Risa yang ada disampingnya hanya bisa diam. Lelehan air mata sudah memenuhi wajah Risa. Ia bisa merasakan apa yang dirasakan suaminya saat ini.

"Bapak harus tetap tenang. Kanker paru-paru yang menyerang anak bapak adalah kanker paru-paru bukan sel kecil. Oleh karena itu, kami dari tim dokter akan segera berkoordinasi untuk melakukan pembedahan. Namun kami harus melakukan tes darah dan uji fungsi paru terlebih dahulu untuk memastikan bahwa kondisi anak bapak siap untuk dilakukan pembedahan."

Dokter kembali menjelaskan prosedur yang akan dilakukan untuk menyelamatkan Vando. Dokter tersebut berbicara dengan sangat tenang. Ia sudah sangat berpengalaman dalam menangani kasus-kasus seperti ini sehingga dokter tersebut sudah tahu bagaimana bersikap kepada keluarga pasien.

"Sudah saya bilang, lakukan cara apa saja dok yang penting anak saya selamat. Jangan khawatirkan masalah administrasi, saya akan usahakan semuanya tercover dengan baik. saya mohon dok, selamatkan anak saya."

"Kami pasti akan mengusahakan yang terbaik untuk anak bapak dan ibu. Namun semuanya tergantung pada yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, bapak dan Ibu harus tetap tenang dan lebih baik banyak berdoa untuk kesembuhan anak anda." Dokter berusaha untuk memberikan ketenangan pada Fernand dan Risa.

"Untuk saat ini, hanya itu yang bisa saya sampaikan. Apa ada yang hendak bapak atau ibu tanyakan?"

"Tolong selamatkan anak saya dok."

Lagi-lagi Fernand menyuarakan rasa kekhawatirannya terhadap Vando. Ia mengulang-ulang kalimat yang sama agar sang dokter menyelamatkan anak semata wayang yang sudah ia besarkan.

"Sudah pasti kami akan mengusahakan yang terbaik."

"Terima kasih dok."

Risa menuntun suaminya agar meninggalkan ruangan dokter tersebut. Ia sangat tahu kalau suaminya masih terpukul dan tidak terima mendengar penjelasan dari dokter.

Fernand dan Risa keluar dari ruangan dokter tersebut dengan raut wajah yang penuh dengan kesedihan. Mereka berjalan dengan lunglai menuju ruang rawat anaknya.

Fernand berjalan dengan tatapan yang kosong. Pikirannya tidak bisa lepas dari Vando. Apakah Vando bisa selamat? Apakah Vando akan meninggalkannya lebih dulu? Apa Tuhan bersedia memberikan keajaiban unuk anak semata wayangnya? Apa ia masih bisa hidup jika sumber bahagianya sudah tidak ada? Semua itu terlintas dengan amat cepat dalam pikiran Fernand. Fernand tidak akan bisa merasa baik-baik saja sebelum melihat Vando kembali sehat dan bisa beraktifitas layaknya remaja pada umumnya.

Fernand mengingat tingkah Vando saat masih kecil. Raut bahagia Vando saat menjadi juara kelas di ujian nasional pertamanya. Ia juga mengingat tangis histeris Vando saat mengetahui mamanya sudah pergi meninggalkannya. Vando benar-benar kunci bahagia Fernand. Vando adalah poros yang memutarkan semua rasa bahagia dalam hidupnya. Ia tidak mungkin bisa hidup lagi jika Vando juga pergi meninggalkannya.

Unconditional Feeling (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang