Suasana ruangan yang dominan dengan warna putih terasa begitu nyaman. Ruangan seperti inilah yang sangat disukai oleh Vando. Namun tidak dengan aroma obat-obatan yang memenuhi ruangan ini.
Vando sudah tersadar dari pingsannya. Saat ini ia berada di ruangan UKS sekolah. Masih menekuri suasana hening yang ada di ruangan ini Vando tidak menyadari pintu ruangan yang terbuka menghadirkan sosok cowok bertubuh agak tinggi.
"Lo sudah sadar?" tanya cowok tersebut.
"Hmm" hanya dehaman yang bisa Vando berikan untuk menjawab pertanyaan cowok yang sudah menjadi sahabatnya sejak lama itu.
"Bisa gak si lo perhatian sama diri lo sendiri" tanya Rama yang sudah kesal dengan kelakuan Vando yang suka seenaknya sendiri.
"Buat apa?" bukannya menjawab, Vando justru melontarkan pertanyaan yang membuat Rama semakin geram.
"Lo yang paling tahu kondisi lo gimana, harusnya lo juga yang paling tahu bagaimana cara menjaga kondisi lo sendiri." Dengan nada yang penuh tekanan, Rama mengutarakan apa yang menurutnya benar.
Vando sama sekali tidak menyahuti ucapan Rama, ia justru memilih untuk memusatkan fokus penglihatannya pada tirai yang membatasi kasur satu dengan lainnya.
Di sisi lain Rama sangat tahu kalau Vando sedang berjuang dengan pikirannya sendiri. Vando selalu seperti ini, tidak mau bicara tapi otaknya terlalu memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi.
"Menurut gue, lebih baik lo sekarang fokus sama kondisi lo saja. Lupakan Ike, masih banyak cewek yang bahkan sudah ngantre buat lo jadikan pacar." Bukan maksud Rama untuk membuat Vando berhenti meraih bahagianya, ia hanya ingin Vando bisa fokus sama dirinya sendiri dibandingkan mengejar masalah cinta yang tidak ada ujungnya.
"Apa gue salah Ram, kalau gue ingin merasakan setitik saja bahagia. Terlalu banyak hal yang telah menjauhkan gue dari rasa bahagia dan kini saat satu titik itu sudah gue temukan kenapa rasanya semakin susah untuk diraih. Apa iya gue harus menghabiskan sisa hidup gue tanpa merasakan sedikitpun bahagia?"
Seperti tersayat pecahan kaca, itulah yang Rama rasakan saat ini. Ia bisa merasakan apa yang Vando rasakan saat ini. Vando memang menjalani takdir hidup yang begitu berat. Rama sendiri sudah sangat paham dengan apa yang dihadapi Vando saat ini.
"Seperti yang sering gue bilang ke lo Ndo, bahagia itu tergantung gimana lo menikmati hidup lo. Semua datang dari hati lo. Lebih baik lo fokus sama kondisi lo saat ini, gue yakin lo masih bisa bertahan. Lo jangan memikirkan hal-hal yang malah bikin lo semakin drop."
Rama mencoba menenangkan Vando dari emosi yang mulai mnutup isi hatinya. Sebagai sahabat ia tidak mau kehilangan Vando, ia tidak ingin melihat Vando terus menerus terpuruk. Ia ingin Vando yang jahil kembali. Namun, akhir-akhir ini semua yang terlihat justru hal yang sebaliknya.
"Gue pasti selalu berusaha Ram. Tapi takdir yang bermain di sini. Gue tidak tahu apa gue bisa bertahan atau tidak." Jelas Vando dengan nada yang terdengar begitu memprihatinkan.
"Gue balik ke kelas dulu. Lo istirahat aja." ucap Rama sembari bergegas akan meninggalkan ruangan ini. Sebentar lagi jam istirahat kedua memang akan segera habis.
Tidak ada jawaban dari Vando. Ia hanya diam dan terus menatap tirai UKS yang sejujurnya nampak biasa saja. Memang bukan tirai yang menjadi fokus Vando, namun pikiran yang melayang kemana-mana yang membuatnya begitu tekun diam tanpa suara.
Kreeekk. Terdengar suara pintu yang terbuka. Hal itu sama sekali tidak mengganggu Vando. Ia sama sekali tidak menolehkan kepalanya. Ia masih begitu fokus dengan pemikirannya.
"Kak.." suara cewek yang mampir di telinga Vando sukses menyadarkan dia dari lamunan yang begitu runyam.
"Kakak sudah sadar?" cewek itu kembali bersuara mencoba menarik perhatian Vando yang masih terdiam.
"Iya dong. Emang gue kenapa?" Vando bersuara. Namun tidak dengan nada yang memprihatinkan lagi. Vando yang jahil kembali keluar. Dan itu karena hadirnya Ike di ruangan ini.
"Sorry ka, kalau ucapan aku tadi kasar banget." Ike meminta maaf perihal ucapannya tadi yang terdengar cukup kasar. Ike berpikir bahwa Vando pingsan karena kaget mendengar ucapannya yang kasar. Ike merasa bersalah dan khawatir di waktu yang sama.
"Gak semudah itu bisa gue maafkan. Harus ada tebussannya. Vando mengeluarkan ide jahilnya yang sudah memenuhi otak cemerlangnya.
"Kok gitu sih"
Ike tidak terima dengan apa yang di ucapkan Vando. Ia tahu betul betapa jahilnya Vando. Ia tidak mau hal yang terjadi di awal mereka kenal kembali terjadi.
"Ya itu terserah lo. Mau gue maafin apa tidak. Padahal udah bikin gue pingsan segala."
Otak Vando berputar dengan cemerlangnya. Namun kali ini berbeda, ia tidak ingin memaksa Ike seperti diawal mereka kenal. Ia ingin Ike membuka hati dengan sendirinya. Tanpa paksaan. Ia ingin Ike tulus berada disisinya. Kalaupun tidak bisa menjadi pacar, Vando rela menjadi teman. Asalkan bisa terus ada di sekitar Ike karena Ike ibarat sumbu pada lilin yang bisa mengantarkan cahaya kebahagiaan.
"Apa emangnya?" terdengar pasrah Ike menanyakan apa yang Vando inginkan.
"Gak susah. Cukup temani gue jalan malam ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Feeling (Completed)
Teen FictionCOMPLETED Aku tidak bisa memilih mana yang terbaik dari dua pilihan yang sama baiknya. Aku memang egois, dengan menginginkan kalian berdua untuk terus bersamaku. Tapi kini aku sadar bahwa aku tidak bisa selamanya menggenggam dua hati yang terlalu ba...