Aku kehilangan Yang In Seob tak lama setelah diriku pulih. Selama berada di dalam penjara, ia menderita komplikasi. Tabib Hwalinseo mengatakan hatinya bermasalah dan karena ia adalah tahanan, ia tak bisa mendapat perawatan yang terbaik. Hati kecilku ingin berontak: mengapa In Seob mati sebagai tahanan dan bukan sebagai bangsawan? Aku ingin menanyakan itu pada Abamama lebih-lebih ketika di pakaiannya ditemukan jimat yang sama dengan milikku, namun sayangnya istana kembali bergejolak. Tuan Yang, ayah In Seob, menggerakkan orang-orang untuk melakukan kudeta pada ayahanda selepas masa berkabung.
Tentu saja, semua bukan hanya semata perkara kematian In Seob, tapi lebih dari itu: intrik politik. Tahun 1623 tepatnya, ayahku resmi dikudeta. Kami dibuang ke Pulau Ganghwa. Di sana kami hidup jauh dari keributan kota dan segala macam tetek bengeknya. Tidak ada yang salah dengan hidup sebagai rakyat biasa. Karena itulah aku lebih memahami perihal kemanusiaan. Gwanghae-gun bahkan bukan lagi rajaku, ia ayah, hanya ayah.
Hal itu terus terjadi hingga di suatu sore dekat armada kapal kecil aku mendengar dendang nyanyian. Nyanyian yang tak asing: yang mungkin belum kau lupakan sepenuhnya. Itu dia! Gadis itu pasti ada di sini!
"Di mana kau, Ahgassi? Aku harus menanyakan sesuatu padamu. Harus. Kau di..." Aku menggumam tanpa menyadari bahwa seorang gadis tengah berdiri sejajar denganku. Kami memandang laut yang sama: laut lepas.
"Mencariku, Pangeran?" Gadis itu... dia.. itu ...wanita..
"Nugu..."
"Aku yakin kau belum melupakanku. Kau hanya menerka antara ya dan tidak. Ini hamba, Shaman yang menolong Pangeran beberapa tahun lalu," katanya. Ia memperkenalkan diri sebagai seorang Shaman. Shaman... penganut ilmu hitam?
Aku menelisik penampilannya dari atas hingga bawah. Sebuah kain sutra panjang menutupi kepalanya, namun beberapa saat kemudian diturunkannya kain itu hingga seluruh wajahnya terlihat. Ia tampak masih sangat muda, sepasang matanya hitam gelap namun bersinar, bibirnya merah jambu merekah, garis rahangnya tampak manis. Benarkah ia seorang Shaman? Pertanyaannya, mengapa?
"Kaukah... yang membuat jimat itu?" tanyaku spontan. Ya, aku mengingat soal jimat.
"Benar. Hamba yang membuat itu."
"Mengapa?"
"Untuk memperpanjang usia Pangeran hingga purnama ketujuh tahun ini." Ia menjawab singkat-singkat, bicara soal perpanjangan usia, jimat, dan segala macam: yang aku sama sekali tidak paham. Aku masih hidup sampai purnama keenam. Jadi bagaimana mungkin aku bisa mati di purnama ketujuh? Aku bukan lagi pangeran. Siapa yang akan mengincar kematianku dan mengapa justru Shaman ini memberitahukan hal yang...harusnya menjadi sebuah rahasia? Maksudku, mengapa ia membuat jimatnya? Mengapa tak biarkan aku mati saat itu?
Pertanyaan yang nyaris membuat kepalaku hendak meledak kemudian masih tertahan oleh hujan. Gerimis yang menderas membuat kami harus berlari dan berteduh di sebuah gubuk tak berpenghuni yang tak jauh dari dermaga. Baju kami basah di beberapa bagian, wajahnya juga.
"Kau...bisa bicara santai saja denganku? Aku sudah tidak menggunakan gelar pangeran di sini. Dan...bisakah.. kau jawab pertanyaanku satu per satu? Aku merasa melewati banyak hal penting," ujarku padanya. Entah suaraku terdengar atau tidak di sela keributan hujan.
"Hamba akan menjawab semuanya. Ah, maksudku, bertanyalah. Aku akan menjawab semuanya. Tapi... aku punya beberapa syarat. Bersediakah kau memenuhinya?" Mata bulatnya memandang mataku, sedikit mendongak, dan sisi kanan wajahnya terbasuh cahaya obor. Aku mengangguk mengiyakan.
"Kau bilang padaku jika aku akan mati di umurku yang ke-25 tahun. Dengan percaya diri kau katakan itu meski kita tak saling mengenal? Mana aku percaya? Aku Lee Ji. Panggil saja Yu Deokhwa. Deokhwa. Siapa namamu, Ahgassi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[2019] 'THE LAST' SERIES 🔜
Fanfiction(Sebagian Part Sudah Dihapus Untuk Kepentingan Penerbitan) Vol. 15 The Last Christmas Greeting berkisah tentang Shin, seorang pemuda yang tidak mempercayai keberadaan Sinterklas. Ia memiliki pengalaman misterius sejak umur 10 tahun. Pengalaman itu t...