"Kau bilang padaku jika aku akan mati di umurku yang ke-25 tahun. Dengan percaya diri kau katakan itu meski kita tak saling mengenal? Mana aku percaya? Aku Lee Ji. Panggil saja Yu Deokhwa. Deokhwa. Siapa namamu, Ahgassi?"
***
Pernah kau dengar nama besar Gwanghae-gun? Gwanghae. Pangeran Gwanghae. Ia yang berjuang mempertahankan tahta Joseon ketika Jepang menyerang Korea sebagai tunggangan mereka hendak menyerang Kerajaan Ming. Ah, barangkali kau buta sejarah, atau mungkin sejarah ini bukan sejarah negaramu, maka perkenankan saja aku untuk menceritakannya padamu. Kau cukup duduk manis sambil menikmati ceritanya dan jangan sampai hilang fokus.
Gwanghae-gun memimpin sebagian perwira militer istana dan menyusun pertahanan untuk melawan serangan Jepang ketika raja melarikan diri ke utara-perbatasan Ming. Pengecut, bukan? Ah, maaf, aku jadi agak sedikit naik darah dan sarkasme. Pangeran Gwanghae kala itu bertindak sebagai seorang pemimpin De facto dari Dinasti Joseon: memimpin peperangan dan mengurus rekonstruksi negara setelah perang yang menghancurkan Joseon, menggantikan Raja Seonjo yang sudah tua dan lemah-kakekku.
Ya. Semua hal hebat, nama besar, bahkan sejarah itu, ayahkulah yang mengukirnya. Gwanghae. Aku putra Gwanghae-gun yang mungkin kau tak pernah dengar namanya. Tidak setenar ayah, aku hanya orang biasa yang mewarisi kemampuan berperang dan gelar pangeran. Lee Ji. Banyak orang memanggilku demikian ketika aku baru lahir. Namun entah mengapa aku tak seberapa suka mendengarnya. Bagaimana kusebutkan ini? Ini tampak... terlalu mewah, terlalu berat, terlalu...
"Pangeran Lee Ji!"
"Imhae-gun!" Aku menghampiri lelaki itu. Imhae-gun, ia pamanku. Posisi ayahanda saat itu masih belum stabil meski hasil perang memberiya prestise. Beberapa faktor yang menyebabkan hal itu, salah satunya adalah kehadiran paman. Tentu saja. Terlalu rumit. Kehidupan istana takkan pernah memberimu kesempatan untuk bernapas. Kau akan terus menjumpai dirimu di bayang-bayang kematian tiap saat. Di sini, kau bahkan bisa mati sekalipun tak melakukan kesalahan.
"Bisa memanggilku Deokhwa saja?" tanyaku.
"Eyyy, kau gila? Ini di istana, ayahandamu raja, dan kau pangeran. Setidaknya aku harus memanggilmu dengan hormat meski kau keponakanku..." katanya sambil merekahkan senyum. Aku tidak tahu apakah senyumnya betul-betul tulus, atau hanya kamuflase untuk mengelabuhi pangeran yang baru berusia delapan belas tahun.
"Geurae?" tanyaku menggoda.
"Pangeran... meskipun kau putra raja, kau tetap tidak boleh bicara banmal dengan pamanmu sendiri." Kami lalu tertawa bersama. Selera humor kami hanya terbatas sampai di sana. Di istana, tawa bahkan mengundang maut. Beberapa waktu lalu, seorang dayang istana tak sengaja tertawa lepas. Kemudian dua hari setelahnya ia ditemukan mati pucat di gudang dengan bibir memutih dan sisa busa di sudut mulutnya: itu racun.
Tidak pernah tertarik dengan hal-hal memuakkan dalam istana, aku memutuskan untuk sering bermain keluar dengan beberapa anak pejabat yang juga 'liar'. Kami sekumpulan anak-anak yang ingin bebas dari hegemoni keluarga, kerajaan, juga istana. Meski beberapa masih tetap harus pulang tepat waktu, di sisiku masih ada satu yang setia: Yang In Seob. Ia putra dari Menteri Pertahanan Negara dari Fraksi Barat, fraksi penentang pemerintahan ayahanda.
"In Seob-ah...mau menunggang kuda sambil berburu?" tanyaku.
"Tapi pangeran...kau..."
"Mau atau tidak?" tandasku. Aku tahu sepulang kami bermain, tubuh In Seob akan penuh memar akibat pukulan rotan dari ayahnya. Namun apa yang bisa kulakukan? Aku tak berhak mencampuri urusan keluarga mereka. Ah, aku juga tak perlu mengurusi hal-hal sepele semacam itu. In Seob bahkan mengatakan bahwa ia tak suka kubantu jika harus berhadapan dengan ayahnya. Aku akan melindungimu, Pangeran, katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2019] 'THE LAST' SERIES 🔜
Fanfic(Sebagian Part Sudah Dihapus Untuk Kepentingan Penerbitan) Vol. 15 The Last Christmas Greeting berkisah tentang Shin, seorang pemuda yang tidak mempercayai keberadaan Sinterklas. Ia memiliki pengalaman misterius sejak umur 10 tahun. Pengalaman itu t...