Aku dan Yook Sungjae lebih memilih mendengarkan cerita-cerita ngeri yang marak dibicarakan anak-anak di sekolah kami akhir-akhir ini. Kelas XII IPA 4. Salah satu anak perempuan di kelas itu kabarnya menjadi korban penculikan dan mutilasi. Mutilasi? Iya, mutilasi. Menurut apa yang kudengar, juga berita-berita di televisi, pelaku yang terekam di CCTV dekat rumah cewek itu berdandan seperti badut. Tidak, ia tidak mengenakan kostum. Hanya berdandan seperti badut: merias wajahnya sedemikian rupa hingga menyerupai badut yang punya senyum lebar dengan lipstick merah membara.
Badut itu berjalan masuk ke dalam rumah seolah tak ada yang perlu ia khawatirkan. Beberapa waktu kemudian, ia terlihat membopong seorang gadis keluar. Itu dia. Cewek kelas XII IPA 4. Di rekaman CCTV yang lain, terekam suara-suara jeritan dari sebuah tempat yang mirip dengan area jagal hewan. Tempatnya kumuh. Menurut penuturan beberapa saksi yang ada di sekitar tempat jagal hewan, pada tengah malam mereka membaui daging yang dibakar dan dibumbu: agaknya menggugah selera.
Aroma nikmat itu kemudian hilang keesokan harinya dan beberapa anak kecil tidak sengaja menemukan potongan jari-jari manusia di sekitar sana. Dua puluh jari yang tersebar di sekitar area jagal hewan itu kemudian betul-betul ditemukan. Tak jauh dari sana, di dalam keranjang daging mentah, di sana terisi potongan-potongan tubuh, juga jeroan yang masih segar. Yang tidak ada, yang tidak ditemukan di sana hanyalah potongan telapak tangan dan kaki—yang tentunya tak berjari lagi.
"Hyung, menurutmu, ke mana perginya telapak-telapaknya?" tanya Sungjae padaku.
"Molla, Sungjae-ah. Apa benar telapak-telapak itu tidak bisa ditemukan di manapun?" tanyaku. Ah, mungkin inilah mengapa ada kasak-kusuk yang mengatakan bahwa aroma daging bakar malam itu adalah bakaran daging manusia: khusus hanya bagian telapak saja.
"Heol, nyatanya ada isu seperti itu. Mereka betul-betul tak ditemukan, sejauh apa pun radiusnya. Mereka raib, Hyung! Tidakkah kau merasa aneh? Ngeri... apa sebenarnya motifnya?" Anak itu kelihatan bergidik. Jadi sejauh ini yang bisa disimpulkan adalah ini kasus penculikan, pembunuhan, mutilasi, sekaligus... makan orang(?), ah mungkin tepatnya makan telapak orang. Menarik sekali. Dan dari semua yang kudengar, cewek XII IPA 4 itu adalah orang ke-6 yang jadi korban si badut.
Dalam waktu satu bulan, di daerah Seoul saja sudah ada 6 korban. Pelakunya sama, si badut. Dengan demikian, kasus pembunuhan ini bukanlah pembunuhan biasa. Levelnya sudah masuk dalam pembunuhan berantai. Pasalnya sungguh berlapis. Kupikir detektif yang menangani kasus ini pun agaknya sedikit tulalit. Mereka semua tergolong lama dalam proses indentifikasi hingga korban yang berjatuhan makin banyak. Lebih-lebih si ketua tim. Siapa namanya kemarin? Shin Donggeun? Ya, ia datang ke sekolah kami dan menanyai beberapa siswa terkait kasus yang menimpa si cewek kelas XII IPA 4.
"Ilhoon Hyung! Ya, kau tahu? Berita baru yang katanya belum dirilis resmi di berita-berita televisi. Masih tentang kasus beberapa hari lalu. Konon, si cewek ini kesehariannya memang kasar. Hiii... aku jadi berpikir, jangan-jangan si badut sialan itu membunuh orang-orang yang kasar. Coba kita urutkan satu-satu... ah, kenapa aku jadi sangat bersemangat." Aku tertawa mendengar celotehnya.
Yook Sungjae tampak lebih antusias menjabarkan dan berpikir teka-teki kasus pembunuhan berantai yang sedang ramai dibicarakan orang banyak dibanding mempelajari sastra Korea yang baginya sangat membosankan. Ia sudah menebak-nebak dan aku akan dengan senang hati meladeni pemikiran-pemikiran nakal yang selalu dituangkannya dalam sebuah catatan kecil. Sudah seperti detektif SMA saja.
Aku tak merasa risih. Jujur. Bagian lain diriku justru tertantang ketika Yook Sungjae sudah mulai berceloteh sana-sini dan berakhir dengan menuliskan itu semua di catatan kecilnya. Beberapa saat ia juga meminta pendapatku soal kasus ini. Kupikir memberi masukan satu dua padanya takkan mempengaruhi apa pun, namun nyatanya anak ini memang betul jenius.
"Hyung, menurutmu kenapa investigasi kasus ini tampak sangat lama? Apakah mungkin karena korbannya random? Maksudku, tidak ada ciri khas khusus kalau dilihat dari anatomi tubuh korban. Semua yang menjadi korbannya bermacam-macam, mulai remaja sampai orang tua. Satu-satunya yang bikin aku pusing adalah kenapa yang hilang harus telapak-telapak mereka?" Sungjae sibuk memutar-mutar pulpennya di jam istirahat. Ia memutuskan untuk tidak pergi ke kantin dan justru membahas ini denganku. Ah, aku pun juga tak perlu ke kantin. Tidak ada uang saku hari ini.
"Mungkin ini kali pertama para detektif menjumpai kasus seperti ini. Dan aku tidak tahu apakah kau memperhatikan ini atau tidak. Tubuh-tubuh yang dimutilasi itu, mereka ditemukan di satu tempat alih-alih disebar seperti kasus mutilasi lainnya. Atau kalau tidak disebar, paling juga dikubur di suatu tempat. Disembunyikan..." ujarku ikut menganalisis. Mata Sungjae membelalak, membulat, seolah mendapat sebuah pencerahan. Ia mengangguk setuju.
"Benar juga! Yang disebar hanya jari-jari yang diputus. Ah, dalam beberapa kasus sebelum cewek kelas XII itu jadi korban, pernah ditemukan perhiasan-perhiasan di sana, diduga milik korban, tapi sama sekali tak disentuh oleh si badut. Aku benar-benar tak bisa memperkirakan motifnya, Hyung. Ini jelas bukan masalah kebutuhan uang."
"Mungkinkah penyakit psikologis?" gumamku.
"Ketagihan membunuh tanpa motif apa pun? Eyyy..." Ia terkekeh. Hei, bukankah kemungkinan seperti itu tidak boleh dihilangkan? Sejauh yang kutahu, aku pernah membaca beberapa artikel yang membahas tentang kasus-kasus hitam seperti itu: yang tersangkanya memiliki kelainan psikologis—skizofrenia, kepribadian ganda, psikopat, bipolar, PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), dan lain-lain. Jadi, mengapa itu tidak bisa dimasukkan dalam kemungkinan-kemungkinan motif pembunuhan berantai, penculikan, mutilasi, dan bahkan sampai 'makan orang' itu?
"Laki-laki. Aku yakin betul bahwa si badut ini adalah seorang laki-laki. Ah, mengapa para detektif itu tak juga membeberkan hasil identifikasi mereka, sih? Apa yang sebetulnya mereka takutkan? Bukankah dari postur tubuh dan segala macam yang terlihat di CCTV itu jelas bahwa si badut berjenis kelamin laki-laki? Mereka ini bodoh atau apa? Aduh, maaf, Hyung, aku terbawa suasana, jadi nyinyir."
"Kau sudah belajar sastra Korea?" tanyaku memutus kekesalannya yang berujung tawa.
"Aish, wae tiba-tiba menanyakan itu?" Ia merengut.
"Supaya kau tambah kesal mhahaha..."
"Kau harus kuberi pelajaran, Ilhoon-Hyung!" Ia melempar bukunya padaku, kemudian berusaha menggelitik. Ya, Yook Sungjae. Anak itu satu kelas denganku. Kami sudah lama kenal dan ia memang masuk kelas akselerasi. Ia cerdas. Aku menyukai kepribadiannya yang bagus, hanya saja diriku tak pernah sudi pulang atau berangkat sekolah bersamanya. Rumah kami tak sejalan, tiap pulang ia selalu mampir ke tempat les bahasa Korea—yang kemudian tidak memberi pengaruh apa pun terhadap perkembangan bahasa Koreanya.
"Hyung, mau pulang bersamaku hari ini?" tanyanya. Aku menggeleng mantap.
"Waeyo?" Ia menatapku dengan tatapan serius. Aku agak kikuk tak nyaman. Yook Sungjae sama sekali tak pernah menunjukkan tatapan seperti itu sebelumnya ketika mengajakku pulang bersama. Tapi kali ini tampaknya aku melihat sisi lain dirinya yang serius—yang berbeda dibanding ketika ia berceloteh tentang deduksi-deduksi ala detektifnya.
"Geunyang... biasanya kau mampir ke tempat les. Lagipula rumah kita dari ujung ke ujung. Itu sangat jauh," jawabku seadanya. Ya, memang itu jawaban yang sebenarnya.
"Aku tidak pergi les hari ini dan aku akan mengantarmu pulang, Hyung." Yook Sungjae tampak tak pernah seserius ini.
"Eoh, geurae. Kalau kau tidak keberatan..." jawabku. Aku memalingkan wajah dari tatapan Sungjae yang berbeda, tanpa menyadari bahwa sesaat kemudian ia tersenyum.
Note:
Hewhewhw!!!! Part 2 dirilis besok ya gaes wkwkwkwk. Yowww... Gimana menurut kalian? Sejauh ini, bisa nebak nggak motif si badut apa? Hihihihi 😅😂 see you tommorow!
KAMU SEDANG MEMBACA
[2019] 'THE LAST' SERIES 🔜
Fanfiction(Sebagian Part Sudah Dihapus Untuk Kepentingan Penerbitan) Vol. 15 The Last Christmas Greeting berkisah tentang Shin, seorang pemuda yang tidak mempercayai keberadaan Sinterklas. Ia memiliki pengalaman misterius sejak umur 10 tahun. Pengalaman itu t...