Ini adalah hari ke-12 di bulan Mei. Lagi-lagi aku pergi ke toko bunga dekat toko roti. Bunga. Jika biasanya Lee Minhyuk, suamiku, yang memberi kejutan, kali ini aku berkeras untuk menjadi seseorang yang melakukan itu untuknya. Ia suka mawar putih. Tiap kali pulang ke rumah, tiga tangkai mawar putih selalu datang bersamanya. Yang membedakan hanyalah bagaimana ia memberikan mawar-mawar itu. Pernah suatu ketika ia pulang, tapi sama sekali tak membawa apa pun kecuali tas berisi kaus bau keringat dan beberapa benda seperti dompet dan handphone. Aku menyembunyikan wajah kecewaku. Pikirku, ia pasti lupa tanggal hari jadi kami.
Aku menahan diri untuk tidak bertanya karena diriku tahu ia pasti lelah. Satu pekan kami tidak bersua dan hari itu ia pulang dengan wajah letih. Meski demikian, Minhyuk tetap menyapaku dengan senyum yang tak pernah absen ia lontarkan padaku. Belum satu jam ia berada di rumah, setelah mandi dan membersihkan diri, ia langsung pergi ke kamar dan berkata bahwa ingin tidur. Percakapan kami hanya sesingkat itu. Sesingkat itu di hari jadi kami.
"Oppa, benar-benar lelah, ya?" tanyaku. Aku hanya ingin memastikan. Hanya ingin.
"Ya Tae Ri-ah. Mianhae..." Ia hanya menjawab demikian, lalu masuk ke kamar dan mematikan lampu, meninggalkanku sendirian di ruang tamu: aku yang mematung melihat punggungnya yang menghilang di balik pintu.
Benakku berkali-kali meyakinkan diri bahwa Minhyuk Oppa benar-benar lelah dan ingin istirahat. Aku tak ingin memikirkan yang lain-lain. Suamiku itu bahkan belum sempat makan. Pertanyaan tentang apakah ia sudah makan bahkan belum sempat terlontar dari mulutku karena ia begitu... pendiam...hari ini. Tidak, bukan maksudku memaksa atau bagaimana, tapi ini sudah satu minggu. Kami tak bertemu selama satu minggu. Meski setiap hari kami terhubung lewat ponsel, tapi bertemu dengannya itu adalah hal yang berbeda. Tidak ada satu menit pun panggilan telepon yang bisa mengalahkan sebuah perjumpaan.
Sebelum kami memutuskan untuk menikah, ia bertanya tentang bagaimana caraku tetap menjaganya dekat di sisiku. Konsekuensi pernikahan kami adalah hubungan jarak jauh. Ia akan sering pergi meninggalkanku untuk melakukan beberapa penerbangan rutin. Aku menjawab pertanyaannya: aku akan merindukanmu setiap hari. Minhyuk terdiam sejenak usai mendengar jawabanku, terlihat seperti tengah menganalisis sesuatu, lalu tawanya meledak.
"Merindukanku setiap hari? Itu adalah fiksi, Ahn Tae Ri. Percaya atau tidak, prioritas manusia setiap hari itu berbeda. Kau tidak bisa merindukanku dengan intensitas yang sama setiap hari. Kau bisa bosan, sayang..." ujarnya. Aku merengut. Ia meremehkan perasaanku (?).
"Kau tidak pernah mempercayaiku, ya?" tanyaku.
"Ah, aniya aniya. Maksudku, perasaan rindu itu memang mengerikan, bisa membuat sakit. Merindukanku saja tidak akan mengobati semuanya, tidak akan memangkas jarak. Manusia perlu aksi, Tae Ri-ah. Telepon aku jika kau rindu, hm?" Minhyuk tersenyum sambil menatapku: matanya begitu teduh.
Aku begitu mencintainya. Tapi memang sepertinya hari itu ia betul-betul melupakan tanggal 12 Mei. Merasa ini bukan hari istimewa lagi, aku memutuskan hendak menyusul suamiku: tidur. Kakiku melangkah ke beranda depan. Aku berniat mengunci pagar ketika seorang laki-laki dari toko bunga dekat toko roti datang dengan sepeda kayuh dan buru-buru menghampiriku.
"Ahgassi, jamkanman-yo! Jamkanman, jamkanmannnn!" teriaknya. Alih-alih mengunci pagar, aku kemudian justru membukakannya untuk laki-laki dari toko bunga itu.
"Wae geuraeso-yo, Ahjussi?" tanyaku. Kira-kira ini sudah pukul delapan malam.
"Aish, mianhae-yo. Aku terlambat mengantarkan bunga ini karena toko sangat ramai. Maafkan aku. Ah, ia pasti menunggu lama. Sekali lagi maafkan aku..." katanya. Apa? Siapa 'ia'? Lee Minhyuk? Tiga tangkai mawar putih terbalut plastik bening dan hiasan pita biru laut tersodor di hadapanku. Secarik kartu ucapan tergantung di sisi pita yang kosong. Tanpa menyadari bahwa laki-laki pengantar bunga itu sudah pamit pergi, air mataku nyaris meluncur. Minhyuk gila. Laki-laki gila. Kupikir ia melupakan hari ini. Kupikir ia melupakannya.
"Happy 4t anniversary, Ahn Tae Ri. Saranghaeyo, our little candy. Sorry if I late today. Thanks for being my wife, my friend, my sister, and my world."
Aku membaca tulisan dalam secarik kartu ucapan kecil itu dan menangis dalam diam. Ya, Minhyuk adalah Minhyuk. Ia bahkan bisa membuatku menangis dan tertawa tanpa alasan. Kupandangi wajah suamiku yang terlelap, kuraih telapak tangannya yang agak kasar, dan kusampaikan maaf karena sampai saat ini belum juga membuat kehidupan pernikahan manis ini lengkap.
***
"Eoh, annyeong, Tae Ri-ah. Maaf Oppa baru menjawab panggilan teleponmu, sayang. Bagaimana kabarmu hari ini?" tanyanya sesaat setelah menjawab teleponku. Rinduku memburu. Kata-kata yang terpendam dalam lubuk hatiku meronta ingin keluar, ingin menyampaikan maksud kerinduan ini pada Lee Minhyuk.
"Naega bogoshipda. Neomu bogoshipda..." Hanya kalimat itu yang terlontar. Aku tak kuasa menahan air mata. Kerinduan ini sungguh menggebu. Minhyuk tak kunjung membalas pernyataan itu. Lama, ia terdiam cukup lama.
"Maafkan aku..." Sepenggal kata maaf itu kudengar lagi. Aku membencinya. Acapkali ia menjawab panggilanku, mendengar keluhanku soal rindu, kata-kata itulah yang selalu muncul meruntuhkan pertahananku. Aku muak.
"Bisakah... Oppa berhenti mengucap kata maaf? Kenapa kau selalu mengatakan itu tiap sambungan telepon kita terhubung? Kau melakukan kesalahan?" tanyaku.
"Aniya... naneun geunyang...bogoshipda. Aku melakukannya karena terlalu merindukanmu, Tae Ri-ah. Aku terlalu... merindukanmu..." Ia terisak. Suamiku menangis.
Mendengarnya terisak sedemikian rupa, aku merasa bersalah karena selalu mempertanyakan kata maaf yang terujar dari bibirnya. Aku tak mengerti bagaimana perasaannya sekarang, yang pasti kerinduan ini menyiksa. Minhyuk tak pernah memintaku bersabar menunggu. Ia tahu bahwa aku takkan pernah pergi meninggalkannya. Tapi hari itu, di telepon ia menangis terisak begitu sedih.
"Oppa, kenapa menangis? Uljima. Aku baik-baik saja. Kami baik-baik saja. Satu minggu. Kita akan berjumpa satu minggu lagi, bukan?" Aku tersenyum meski air mataku berderai tak henti-henti.
"Geurae. Satu minggu lagi. Satu minggu lagi aku akan bertemu denganmu...dan dia."
"Nee, Oppa eodisseo? Aku mendengar suara makin ribut di belakangmu ..." tanyaku. Kudengar suara suamiku makin samar. Yang makin jelas terdengar justru suara-suara di belakangnya. Ia ada di mana? Bandara? Apakah bandara seramai itu akhir-akhir ini?
"Eoh, aku dalam perjalanan menuju pesawat, Tae Ri-ah. Lima menit lagi pesawat lepas landas." Aku mendengar tawanya yang renyah. Tawa? Setelah beberapa saat lalu menangis terisak?
"Oppa gwaenchana? Jinjja gwaenchana?"
"Eoh, aku baik-baik saja. Kenapa? Ah, Tae Ri-ah, bisa kita berbincang lebih lama lagi?" tanya Lee Minhyuk. Aku mengiyakan setelah beranjak ke tempat tidur. Perutku agak sakit, mual.
"Ahn Tae Ri, kau tahu mengapa aku selalu membawa pulang tiga tangkai mawar putih di hari jadi pernikahan kita?" tanyanya. Aku tersenyum. Topik ini menarik untuk dibicarakan. Bukankah sudah kubilang? Minhyuk adalah Minhyuk. Ia bahkan bisa membuatku tersenyum dan menangis tanpa alasan. Sekarang soal tiga tangkai mawar putih. Percakapan kami akan benar-benar lebih menarik. Inilah cara kami menekan rindu. Jadi, mengapa harus tiga?
Note:
Annyeong! The last call menemani malam minggu readers sekalian, nih. Part 1 sudah rilis. Sekarang tinggal menunggu part 2. Thanks sudah mampir di The Last Series vol. 4. Hewhewhw saranghaeyo
😉😉😉
KAMU SEDANG MEMBACA
[2019] 'THE LAST' SERIES 🔜
Fanfiction(Sebagian Part Sudah Dihapus Untuk Kepentingan Penerbitan) Vol. 15 The Last Christmas Greeting berkisah tentang Shin, seorang pemuda yang tidak mempercayai keberadaan Sinterklas. Ia memiliki pengalaman misterius sejak umur 10 tahun. Pengalaman itu t...