Vol. 5 THE LAST DISASTER (Part 1)

131 30 15
                                    

Ibuku bilang, ketika aku mendapatkan mimpi buruk, ada baiknya mimpi itu dijual supaya menjadi keberuntungan bagi siapa pun yang membeli ataupun menjualnya. Aku mempercayai itu, namun sebagian orang tidak: barangkali di antara yang tidak itu adalah kau. Beberapa hari lalu, aku mendapatkan mimpi buruk. Mimpi itu tentang koran kematianku.

Maaf jika aku lupa memperkenalkan diri padamu. Aku Lee Changsub, seorang wartawan lokal swasta yang bekerja hampir sepuluh jam dalam sehari. Dalam mimpiku itu, ada sebuah artikel yang bertajuk "Gugurnya wartawan lokal dalam bentrok..." aku lupa kelanjutan judulnya. Terpampang fotoku di sana: foto Lee Changsub dengan kacamata yang tangkainya diberi rantai dan dikalungkan ke leher. Koran itu separuh terbakar, beritanya tidak jelas.

"Eunkwang-Hyung, mau membeli mimpiku?" tanyaku pada Seo Eunkwang, seorang pekerja di area pembangkit listrik tenaga nuklir. Ia seorang yang cakap dalam bidang instalasi peledak. Pemuda yang sangat keren.

"Mwo? Membeli mimpi? Untuk apa?" tanyanya sambil cengengesan. Ia menggelengkan kepala dan mengerutkan dahi, merasa konyol.

"Eomma-ku bilang, kalau aku habis mimpi buruk, sebaiknya aku menjual mimpiku supaya siapapun yang membeli, dan tentunya aku, mendapatkan keberuntungan, bukan kesialan." Aku menjelaskan pada Seo Eunkwang, namun diriku bahkan sangsi kalau ia mau membeli mimpi burukku. Mengapa? Sampai detik ini pun aku agaknya sedikit ragu dengan mitos yang diceritakan ibu. Hal-hal seperti itu tidak bisa dijamin kebenarannya, maka dari itu aku pun bahkan ragu jika Eunkwang-Hyung dan orang-orang lainnya mau membeli mimpi buruk ini.

"Ya, Changsub-ah. Kuberitahu kau ya. Kalau aku membeli mimpi burukmu itu, maka yang ada hanyalah kau yang diuntungkan karena dapat uang, sementara aku? Kau tidak bisa menjamin keuntungan yang kudapat, bukan? Ini konyol, Subie-ah. berhentilah main-main dan pergi bekerja. Aku sudah kesiangan juga..." ujarnya. Ya. Apa kubilang? Tidak seorangpun akan percaya. Eunkwang adalah orang terakhir yang kutawari untuk membeli mimpi burukku.

Jika tidak ada yang mau membeli mimpi buruk ini, maka kemungkinan terakhir adalah terjadinya hal buruk yang menimpa: aku dan orang-orang di sekitar. Karena diriku bahkan sedikit meragukan mitosnya, maka aku tak ambil pusing dengan konsekuensi itu. Mengapa? Selama ini, ibulah yang selalu membeli mimpi burukku. Sejak mimpi buruk yang terakhir dan kematian ibu yang mendadak, aku tak pernah bermimpi buruk lagi. Jadi, jangan bertanya padaku apakah betul mereka menimbulkan akibat yang serius. Tidak, sampai gempa bumi melanda daerah Ilsan, Busan, dan sekitarnya.

"Lee Changsub, kami mendapat informasi bahwa korban banyak berjatuhan di dekat pembangkit listrik. Pergilah ke sana dan meliput. Cari informasi sebanyak-banyaknya." Sebuah instruksi datang untukku. Aku tak tahu betul bagaimana hal ini bisa terjadi, namun yang pasti malapetaka sudah memuntahkan kekesalannya. Barangkali juga, ini adalah hal yang ditakutkan oleh Eunkwang-Hyung dan orang-orang yang bekerja di area pembangkit listrik: sebuah bencana, terbukanya kotak Pandora, melubernya sebuah bencana.

"Halo? Hyung? Eunkwang-Hyung? Hyung, kau di mana?" tanyaku. Baru saja ia menelepon. Beberapa menit lalu gempa susulan mengguncang daerah kami untuk kesekiankalinya. Ini parah. Ini belum pernah terjadi sejak dua puluh tahun lalu.

"Subie-ah? Ya! Lee Changsub? Bisa aku minta tolong? Tolong bawa keluargaku bersamamu, eoh? Jebal..." katanya. Apa? Apakah keadaan di sana sekacau itu?

"Hyung, jamkanman-yo. Eunkwang-Hyung, kau di mana? Bagaimana keadaan di sana? Aku akan segera tiba, jadi tolong jelaskan secara singkat. Aku janji akan membawa serta istri dan putramu..." Aku berucap janji padanya.

"Jigeum.. sekarang aku ada di dalam... anu.. kami terkunci. Tempat ini akan segera meledak. Aku masih berusaha membuka pintu. Ppalli, Subie-ah, ppalli!" Ia terdesak, lalu panggilan telepon kami terputus.

[2019] 'THE LAST' SERIES 🔜Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang