"W...wae? Wae?" Aku menangkap tubuhnya yang kecil, lalu mengusap rambutnya yang diikat apa adanya.
"Bogoshipo." Joo membisik. Ia hanya membisikkan kalimat pendek itu di telingaku sambil terisak dan memeluk erat. Sungguh erat. Aku sungguh tak tahu apa yang ada dalam pikirannya saat ini, yang pasti ia tampak sungguh-sungguh mengucapkannya.
"Gwaenchana, gwaenchana. Aku di sini, jangan khawatir. Kenapa menangis?" Joo melepaskan diri dari dekapanku. Kedua matanya menatapku berkaca-kaca, namun bibir ini tak bisa berhenti tersenyum. Ya, setidaknya, barangkali ia akan ikut tersenyum setelah ini.
"Aku takut..." ungkapnya. Jemari Joo menjelajah ke sela-sela jemariku, kemudian menggenggamnya erat, "Aku takut meninggalkan Ilhoon," tambahnya.
"Aku? Kenapa? Hehehe..." Dengan bodoh diriku bertanya meski sebetulnya diriku tahu betul apa jawaban atas pertanyaan itu. Tidak. Tidak. Aku tak sedang menahan tangis. Malam ini terasa begitu panjang. Amat sangat panjang sebelum besok tak lagi kujumpai Joo yang suka menyanyi dan menangis di kamar sebelah.
"Bagaimanapun juga, kau tetap bayi laki-laki kecilku, Ilhoon-ah."
"Berhenti memanggilku bayi laki-laki. Aku sudah besar. Aku sudah tahu cara menaklukkan banyak gadis," sergahku. Aku sengaja mencandainya dan segambar senyum tipis menghiasi bibirnya. Ya, aku berhasil. Ia tersenyum, karena kelakarku.
"Ya, tapi kita tumbuh bersama, Dude. Gadis-gadis yang kautaklukkan hatinya itu, mereka bahkan mungkin tak mencintaimu sebanyak aku, sesering aku. Tak bisa mencintaimu seluas dan sedalam itu. Aku...merasa berat berjalan memunggungimu." Joo menyandarkan punggungnya di bahu kananku. Tangisnya sudah berhenti. Aku tahu, ia hanya perlu meluapkan segala perasaannya padaku malam itu: sebelum besok genggaman tangannya berpindah—dariku, ke genggaman tangan laki-laki lain.
"Tapi besok kau akan menikah," ujarku cengengesan. Ajaibnya, aku mengatakan kalimat itu dengan berurai air mata. Bibirku tersenyum, tapi mataku memanas. Air mata itu menderas tiba-tiba entah bagaimana awalnya. Dan aku akhirnya menyadari satu hal: bahwa dirikulah yang sedang ketakutan, bahwa dirikulah yang sedang gelisah, bahwa dirikulah yang berat melepas genggaman tangan Joo, bahwa dirikulah yang...merindukan gadis itu.
"Ilhoon-ah? Kau menangis?" Joo tercengang melihat air mataku yang begitu banyak. Kedua telapak tangannya sontak mengusap lelehan air mata di pipiku. Inilah dia. Momen seperti inilah yang mungkin takkan kutemui lagi besok. Tidak akan ada lagi Joo yang akan mengusap air mataku secepat ini. Aku hanya bisa sering berbicara dengannya lewat ponsel atau bertatap muka lewat panggilan video. Membayangkannya, mengapa terlihat begitu mengerikan? Haha. Aku hanya ingin tahu, apakah memang semua orang mengalaminya.
"Jangan mengejekku!" Kutepis tangan Joo yang masih sibuk mengusap pundakku. Hal seperti ini berbalik begitu cepat. Coba ingat kembali, siapa yang duluan menangis dan datang memeluk? Bukankah itu Joo? Lalu apa yang terjadi sekarang?
"Wae? Kau tiba-tiba menangis. Jadi wajar jika aku menenangkanmu, kan?"
"Jangan membiasakannya. Aku tak suka."
Gadis itu menarik tangannya. Dalam khidmatnya sunyi, kami sama-sama terdiam untuk beberapa waktu: bergulat dengan pikiran masing-masing. Malam panjang itu tampak menambah durasi. Karena pagi masih akan lama, maka aku akan menceritakan padamu soal mengapa diriku bersikap agak kasar pada Joo ketika ia berusaha menenangkanku. Tidak apa-apa, kan? Lagipula ini adalah diary terakhirku. Tak masalah. Barangkali setelah ini kau menghapus ceritaku yang tak berguna, aku takkan marah. Aku janji.
Joo selalu menjadi orang pertama yang heboh ketika sesuatu terjadi padaku: apa pun itu. Ketika kami sedang bersama, ia akan langsung berteriak bahagia dan memelukku. Tak peduli sedang ramai orang atau tidak. Ah, pernah suatu kali kami berada dalam meeting bersama dan kabar bahagia datang. Ia menahan kegembiraannya dengan menggenggam tanganku erat selama meeting berlangsung. Joo menangkup wajahku dengan kedua tangannya beberapa detik setelah meeting selesai dan itu sungguh... baiklah, kuakui, memang ia gadis yang tak bisa menyembunyikan perasaannya.
Dan tampaknya aku juga ingin menceritakan yang satu ini padamu—meski itu tak penting buatmu—soal bagaimana ketika kami tak sedang bersama. Itu hanya hitungan menit. Beberapa menit setelah artikel keluar, ia langsung menghubungiku lewat panggilan telepon, mengucapkan selamat (atau barangkali belasungkawa) tanpa basa-basi. Ia adalah Joo yang perhatian. Jadi maksudku, bagaimana aku tidak kesulitan ketika ia terus menerus melakukan itu sementara setelah ini ia akan disibukkan dengan urusannya sendiri? Urusannya dengan calon suaminya dan mungkin urusan dengan bayinya nanti? Aku berharap Joo berhenti melakukan itu dan bersikap sewajarnya supaya aku tak merasa kehilangan, juga kesepian.
"Jangan bohong. Aku tahu kau suka diperhatikan seperti ini..." ujar Joo.
"Joo, jebal..."
"Aku akan tetap melakukannya dalam kondisi apa pun..." Ia menggantung kalimatnya.
"Tapi manusia berubah. Mereka tidak bisa terus-terusan bersikap sama."
"Itulah yang kukhawatirkan. Itulah yang kutakutkan, Ilhoon-ah."
"Joo..."
"Jangan memintaku berhenti melakukan hal-hal yang biasa kulakukan untukmu. Aku tidak ingin berhenti melakukannya. Jangan mengatakan hal-hal yang seolah memintaku untuk berhenti mencintaimu. Manusia selalu berubah, tapi aku tak mau berubah. Untukmu." Gadis itu menatap dalam-dalam sepasang mataku. Aku tak mengatakan apa pun untuk membalas kalimatnya. Aku hanya... betul-betul mencintai Joo sepenuh hati.
"Boleh aku tidur di sini malam ini??" tanya Joo.
"Wae?" tanyaku singkat.
"Geunyang..."
"Yeogi. Nuna bisa tidur di sini," sahutku. Aku tidak mengatakan apa-apa setelahnya. Joo tidur di atas ranjangku, kuselimuti ia hingga dirinya betul-betul nyaman, kemudian aku duduk kembali di kursi samping piano. Mataku memandangi Joo yang terlelap, namun kemudian perasaan sedih kembali menyeruak. Meski mati-matian mengabaikan, nyatanya perasaan ini tak sesederhana itu. Kenangan kami pun melintas sana-sini dalam benakku tanpa mau berhenti menghantui. Joo, gadis itu manis. Joo kakakku.
Menjelang hari bahagia, seharusnya ia tak menangis. Ia harus bahagia bagaimanapun caranya meski di sini kemudian sepi. Setidaknya, aku berusaha baik-baik saja. Kupikir, ini hanya secuplik dilema perasaan seseorang ketika hendak ditinggal pergi saudaranya yang lain. Hanya itu. Ya. Kami sangat manis, bukan? Joo, saranghaeyo...
- E n d -
KAMU SEDANG MEMBACA
[2019] 'THE LAST' SERIES 🔜
Fanfic(Sebagian Part Sudah Dihapus Untuk Kepentingan Penerbitan) Vol. 15 The Last Christmas Greeting berkisah tentang Shin, seorang pemuda yang tidak mempercayai keberadaan Sinterklas. Ia memiliki pengalaman misterius sejak umur 10 tahun. Pengalaman itu t...