VOL.8 THE LAST MEMORY (Part 1)

102 15 19
                                    

Warning!!! Konten dewasa.



.

.

Aku menyembunyikan fakta bahwa setelah bertemu dengannya, mimpi buruk itu datang lagi. Aku menyembunyikan fakta meski sangat yakin setiap saat melakukannya juga. Soal mimpi buruk. Iya, mimpi yang itu—yang tak pernah bisa kau bayangkan betapa menderitanya aku ketika kegelisahan muncul sebagai sebuah eksistensi dalam mimpiku. Bagaimana aku menceritakan rasanya? Ini seperti... kau sedang tidur, udara di sekitar cukup panas, keringatmu bercucuran hingga pakaian yang kau kenakan basah, tapi matamu tetap terpejam tak mampu terjaga. Jantungmu akan berdegup jauh lebih kencang dari biasanya, akan ada hal-hal yang menekanmu dari segala sisi hingga rasanya kau ingin keluar dari sana. Kau tenggelam dalam 'sesuatu' yang tak kau tahu itu apa. Mereka merongrong, menggerogoti, mencabik pakaian bagian bawahmu, menarik benangnya hingga habis, lalu pelan tapi pasti kau rasakan sebentuk lidah menjulur-julur di permukaan paha.

Sesak. Mengingat hal itu saja membuat mual, apalagi sampai memimpikannya. Itu gila. Acapkali mereka datang dan pergi sesuka hati, tangan dan tubuhku tak bisa berhenti gemetar bahkan ketika beberapa pil sudah tertelan. Aku berhenti. Aku berhenti mengobati orang lain untuk sementara. Alasannya sederhana: cuti sakit. Namun, hal ini tak sesederhana itu. Kusadari bahwa bayang-bayang hitam dan mendung yang sudah lama menyingkir kembali datang sejak wanita itu memperkenalkan diri sebagai seorang psikolog di sebuah seminar.

Aku benci melihat wajahnya. Ketika ia edarkan pandangan ke seantero ruangan, saat itu juga duniaku menyempit. Siluet pria tua dengan bau alkohol menguar dari mulutnya kembali merasuki memori yang sengaja ingin kulupakan. Konyolnya, hari itu aku syok hebat hingga tak sadarkan diri.

"Dokter Lee? Kau baik-baik saja? Dokter Lee?" Beberapa suara bermunculan. Samar kudengar, mereka banyak. Aku ingin membuka mata, tapi takut kujumpai sosok itu.

"Chang Woo-Sunbae? Gwaenchana?" Yoo Arin. Juniorku. Itu suaranya.

"Dia berkeringat sangat banyak. Kupikir ia tak sedang baik-baik saja. Tolong, siapapun bantu aku. Sepertinya dia kelelahan." Tidak. Aku tidak kelelahan. Tubuhku menolak untuk bersikap tenang ketika melihat wanita itu. Mataku tak ingin melihatnya. Pun entah mengapa alam bawah sadarku tampak membencinya.

Sejak itu, aku berinisiatif untuk sementara mengajukan cuti sakit, padahal yang kulakukan hanya mengurung diri di apartemen, bermimpi buruk, cemas, ketakutan setiap saat, gemetaran seperti orang kecanduan, dan mengisolasi diri seolah tidak ada seorangpun yang bisa menembus dinding-dinding yang mulai kubangun (lagi). Beberapa kolega berusaha menghubungiku dalam beberapa hari, tapi aku mengatakan pada mereka bahwa diriku baik-baik saja: hanya butuh sedikit istirahat.

"Aku akan segera baik-baik saja," balasku di sebuah forum chatting.

"Get well soon, Dokter Lee. Kami menunggumu kembali. Maaf belum bisa menjenguk. Rumah sakit sedang gila-gilanya huhuhu..." Mereka lebih baik tak datang. Lebih baik...

Kling klung!! Kling klung!

Ada seseorang di depan. Berat, aku melangkahkan kaki menuju interkom dan hendak melihat siapa yang datang. Saat itu pukul sembilan malam. Siapa orang yang datang bertamu malam-malam begini? Tak mungkin itu mereka, rekan-rekan dokterku. Aku sudah mengatakan pada mereka untuk bersikap seperti biasa. Mereka pun mengatakan bahwa rumah sakit tak memberi jeda untuk sekadar duduk menikmati makan siang.

"Nuguse..." Aku tak sadar bahwa kalimat itu belum sepenuhnya terlontar. Kupikir semua hal di sekitarku membeku. Tengkukku dingin dan mendadak rasanya jantungku dipaksa berhenti. Wanita itu... dia di sini? Untuk apa? Untuk...

Seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan: Chang Woo kecil sengaja bersembunyi cukup jauh dari jangkauan teman bermainnya. Itu petak umpet. Ia berpikir bahwa selama ini dirinya begitu mudah ditemukan. Ia bahkan berjanji untuk menjadi seorang pahlawan kecil yang tak mudah ditemukan. Ia ingin menjadi istimewa, tanpa menyadari bahwa hari itu akan menjadi sejarah panjang yang gelap, yang selalu membayang dalam mimpinya.

Ia mendengar samar suara tangis gadis kecil di balik tandon biru besar yang terlihat dari tempatnya bersembunyi. Telinganya juga merekam suara desah yang terengah dan tawa cekikik beberapa kali. Penasaran, Chang Woo akhirnya mengintip dari celah dinding. Seorang laki-laki paruh baya dengan tubuh semi telanjang tengah membekap mulut seorang gadis kecil tak berdaya. Beberapa kali pria itu mencubit paha si gadis kecil. Chang Woo bahkan melihat jemari kasar si lelaki berusaha merogoh 'sesuatu' dari balik celana dalam si gadis. Gugup, bocah laki-laki itu kemudian hendak lari dan memberitahu siapapun yang berada di sekitar pabrik tua. Ia menyadari kegilaan yang tengah disaksikannya. Namun, pria paruh baya dengan tubuh semi telanjang memergokinya tepat ketika tanpa sengaja alas kaki Chang Woo terlepas dan ia menginjak sekumpulan paku yang berserakan tak jauh dari situ.

"Apa yang kau lakukan di sini, Nak? Hm?" Pria itu tersenyum dan terus bergerak mendekati Lee Chang Woo.

"A.. ahjussi, apa yang sedang kau lakukan?" Anak itu gemetaran. Sudut matanya bersusah payah menahan tangis. Kedua telapak tangan, pun kakinya yang berdarah mendadak dingin. Wajah yang tersenyum di hadapannya makin dekat. Chang Woo bahkan mencium aroma alkohol yang menguar dari mulut si pria semi telanjang.

"Mau bermain sebentar dengan ahjussi? Ahjussi akan memberimu permen yang banyak. Permen milik Seo In Ha sangat banyak hihihi..." Kasar, lelaki itu menarik kaki kecil Chang Woo yang terluka, menyeretnya ke ruangan yang jauh lebih gelap, mengoyak kuat-kuat kain celana bocah itu, dan membekap mulutnya hingga menyisakan air mata yang mengalir deras tanpa perlawanan, pun tubuh tak berdaya.

"Eomma... eomma... " Bibir Chang Woo memanggil sang ibu. Dalam kondisinya yang tak berdaya karena dingin dan sakit, anak itu terus menggumam sekalipun yang muncul dalam pandangannya adalah bayangan laki-laki paruh baya dengan bau alkohol. Belum selesai sampai di sana, Chang Woo bahkan harus menyaksikan kematian pria itu—pria yang menggantung dirinya di langit-langit pabrik tempat Chang Woo dilucuti: pria yang mati dengan lidah terjulur dan mata nyaris keluar dari kelopaknya.

Aku mendadak tak bisa bernapas. Oksigen di sekitarku tiba-tiba menjadi aneh. Tubuhku terhuyung dan menghantam dinding lalu ambruk setelah tanpa sengaja menggapai knop pintu. Entah bagaimana, tanganku menggapai-gapai udara. Ingin merangkak pun tak tahu ke mana. Wajah pria itu muncul di tiap sisi ruang hampa yang terangkum dalam mataku. Bau-bauan alkohol bahkan mulai menyeruak. Aku harus lari. Aku harus lari. Ia... ia akan merobek kain celanaku, meremas perutku, dan menggaruk dalam-dalam permukaan kulit tanganku... ia akan...

"Dokter Lee? Dokter Lee tenangkan dirimu! Tenangkan dirimu dan bernapas pelan-pelan... jebal. Tenangkan dirimu... fokuslah. Kumohon..." Di antara suara-suara ribut yang kudengar, aku mendengar panggilannya. Aku mendengarnya, tapi mataku tak ingin berbuat lebih. Sama sekali tak melihat apa pun, kusadari bahwa sekitarku mulai menggelap... dan tubuhku dingin. Sedingin kala itu.
















Note:
Hai, jumpa lagi. Kangen kalian. Saranghaeyo 💞
Sampai bertemu di part selanjutnya! Ditunggu komentar dan sarannya 💕

[2019] 'THE LAST' SERIES 🔜Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang