Seulas senyuman tipis terukir di wajah cantiknya. Dia melihat pantulan dirinya di cermin besar sebuah lemari pakaian yang terletak di pojok kamarnya. Hanya satu kata, sempurna. Penampilannya sudah cukup sempurna. Dengan mengenakan gaun biru laut selutut serta rambut yang di gerai indah. Jepit yang bertengger manis di rambut pirangnya menambah dia terlihat lebih anggun. Terakhir, dia mengambil lipbalm dan mengoleskan di bibir kecilnya dengan rata agar tidak terlihat pucat.
Setelah sepenuhnya yakin dengan penampilannya, dia berjalan keluar dari kamar yang sering dia sebut sebagai istananya itu. Dilihatnya sepasang suami istri yang tengah bercengkrama dengan hangat di ruang tengah, dia kembali tersenyum senang. Secuil kebahagiaan yang semakin membuncah di relung hatinya itu tampak semakin bertambah.
"Nda, Dazen sudah cantik belum?"
Kedua sepasang suami istri itu menoleh ke asal suara. Terlihat seorang anak gadis dengan penampilan sederhana namun mampu menarik pesona. Kulit cerahnya putih bersih seperti susu. Ditambah dengan senyum manisnya yang dapat membuat semua orang terpikat ketika melihatnya.
Kaki telanjangnya melangkah untuk mendekati kursi agar bisa terduduk di tengah-tengah kedua orang tuanya.
"Anak Ayah cantik banget. Emangnya mau kemana sih hmm?" tanya sang ayah seraya mengacak puncak kepala putrinya gemas.
"Ishhh acak-acakan kan rambut Dazen!" dengusnya kesal, terlihat dari bibirnya yang dimajukan beberapa centi.
"Putri Bunda sudah cantik dari lahir kok, tidak perlu diragukan lagi," ucap sang bunda dengan lembut membuat senyuman Dazen mengembang lebar.
"Yasudah yuk, sudah siang juga. Nanti pamerannya malah tutup lagi," lanjut sang bunda tersenyum hangat.
Kepala putrinya terangguk antusias, "Yuk! Dazen udah gak sabar lihat pameran fotonya," ucapnya dengan mata coklat terang yang berbinar.
Dengan senyum yang terpancar mereka segera keluar rumah untuk mengunjungi pameran foto yang anak gadis itu inginkan. Bukan apa-apa, dia memang gadis yang menyukai funia Fotografi. Sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke tujuh belas kemarin, dia meminta kepada kedua orang tuanya untuk mengunjungi sebuah pameran foto.
Dazen Zovanka. Dengan paras anggun yang dimilikinya, dia senantiasa memancarkan senyuman indah. Betapa bahagia menjadi dirinya, memiliki keluarga utuh yang sangat menyayanginya. Dalam sepanjang perjalanan pun, dia memperhatikan kedua orang tuanya yang duduk manis berkemudi di depan. Walau dalam mobil ini, dia terduduk manis di belakang seraya menggenggam erat ponselnya.
Huh!
Itu yang dia kesalkan. Tidak mempunyai adik membuatnya kesepian. Terbesit keinginan untuk meminta dibuatkan adik kepada kedua orang tuanya, namun dia takut jika perhatian mereka berpindah kepada adiknya kelak. Dia tidak ingin kasih sayang mereka terbagi. Cukup egois memang, namun itulah kenyataannya.
Dilihatnya kembali sepasang suami istri yang terdengar sedang memperbincangkan tentang urusan perusahaan itu. Dia cukup bahagia melihat kedua orang tuanya sangat terlihat mempunyai hubungan yang harmonis. Dia pun sangat bahagia bisa berada di tengah-tengah mereka. Dia harap, kelak tidak akan ada yang dapat menghancurkan kebahagiaannya.
Seketika mobil yang dikendarai keluarga harmonis itu terhenti. Rupanya, gedung tempat pameran foto yang akan di kunjungi mereka sudah tepat di depan mata. Mereka mulai memasuki gedung pameran foto yang terkesan sangat mengagumkan itu. Gelaran pameran foto dengan mengusung tema Humanity Exposure yang merupakan dokumentasi Dompet Dhuafa saat menjalankan kerja-kerja kemanusiaan.
Dazen berdecak kagum. Dengan mata yang berbinar dan senyuman bangga dia melihat-lihat foto yang terpampang disana. "Pada bagus-bagus ya, Nda."
"Iya sayang, pokoknya nanti hasil jepretan kamu juga harus ada yang di pajang disini ya," ucap Delia menyetujui ucapan anak tunggalnya.
"Benar kata bunda. Pokoknya hasil jepretan kamu harus ada di antara beribu foto yang ada disini!" Guntur yang merupakan sang ayah ikut berkomentar.
Dazen mengacungkan jempolnya di udara, "Ayah sama bunda tenang aja. Dazen bakalan buktiin kalau hasil jepretan Dazen lebih bagus dan berkualitas sehingga bisa membuat pesan yang kuat yang bisa disampaikan lewat hasil jepretan Dazen. Dazen kan mau buat ayah sama bunda bangga sama hobby Dazen yang cuma jeprat-jepret," ucapnya diiringi kekehan kecil.
Sepasang suami istri itu ikut terkekeh pelan. Menatap lembut anak semata wayangnya. Seolah ia adalah harta berharga satu-satunya yang mereka miliki. Mereka mengerti, bahwa anak satu-satunya itu sangat menyukai dunia fotografi. Mau tak mau mereka harus menuruti kemauannya untuk melihat pameran foto guna membahagiakan gadis bernama Dazen Zovanka itu.
Usai mengunjungi gedung pameran foto yang mengagumkan itu, mereka memasuki sebuah restoran untuk mengisi perut yang mulai berbunyi untuk meminta asupan. Sembari menunggu pesanan, Dazen menggerakkan jemarinya di atas layar benda pipih bermerk apel tergigit itu. Dia tersenyum senang kala melihat pesan masuk dari seseorang yang dicintainya.
GerilioGauta: Hai, sayang. Kemana aja sih?
Dengan senyum yang tetap mengembang, jemari mungilnya menari diatas keyboard ponselnya untuk membalas pesan dari kekasih hatinya itu.
DazenZovanka: Apa sayang
DazenZovanka: Maaf aku lagi jalan-jalan sama ayah sama bunda
Tak butuh waktu lama. Pesan masuk kembali memenuhi room chat antara sepasang remaja yang saling jatuh cinta tersebut. Di sadari atau tidak, itulah yang membuatnya bahagia. Kekasihnya selalu saja membalas pesan darinya dengan tepat waktu sekali pun jika dia mengatakan sedang bermain game. Seolah-olah pesan darinya adalah prioritas utama yang tak boleh sedikit pun terlewatkan. Selain mempunyai keluarga yang harmonis, kebahagiaan dari Dazen Zovanka adalah memiliki seorang Gerilio Gauta yang mencintainya. Perlakuan manis dari kekasihnya selalu saja membuat kebahagiaan kembali membuncah di relung hatinya.
GerilioGauta: Oh, lagi jalan sama camer ternyata, bilangin ya kalau Geril ganteng titip salam sama mereka
"Cieee kenapa senyum-senyum sendiri gitu hmm?" tanya Guntur menggoda anak gadis kesayangannya.
Dazen mendongak dengan kembali tersenyum malu karena terlihat jelas dari kedua pipinya yang menimbulkan semburat merah, "Biasa, Yah."
Delia sedikit terkekeh, "Gimana sih, Yah. Kayak gak tahu anak muda aja!" seru Delia memaklumi.
Guntur sedikit menoleh ke arah Delia setelah selanjutnya mengalihkan pandangan ke sekitar restoran. "Iya-iya. Ngomong-ngomong, kenapa hari ini gak kencan sama pacar kamu yang namanya Gar-"
"Geril," ralat Dazen cepat.
"Nah, itu maksud Ayah."
"Kan hari ini khusus buat jalan-jalan sama ayah sama bunda, gimana sih! Dazen kan mau nikmatin kencan bareng keluarga juga," jelas Dazen dengan nada manja.
Delia tersenyum kecil, "Duh anak Bunda bisa aja. Rela gak kencan sama pacar demi kita ya, Yah."
Dazen mengangkat kedua bahunya dengan ekspresi geli. "Eh, iya. Geril tadi titip salam buat camer katanya."
Guntur mengangkat salah satu alisnya, "Oh ya? Bilang sama dia, kalau mau punya niat benar-benar sama anak Ayah, temui Ayah sama bunda secara langsung untuk meminta persetujuan."
Belum sepatah kata pun Dazen menjawab, seorang pelayan datang dengan membawa nampan yang berisi pesanan mereka. Karena rasa lapar yang sudah melanda, mereka segera melahapnya diiringi obrolan-obralan kecil yang semakin membuat mereka terlihat seperti keluarga kecil yang dikelilingi keharmonisan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Detik Kehancuran ✓ [SUDAH TERBIT]
Teen FictionWaktu memang mampu memperbaiki kehancuran. Tapi tetap saja, goresan dari kehancuran tersebut akan membekas di setiap ingatan. Hanya dengan sedetik saja, secercah kebahagiaan pun dapat berubah menjadi suatu kehancuran yang melebur bersama kesakitan t...