47. Pregnant

44 12 0
                                    

Seharian ini Dazen menangis hingga membuat kedua matanya membengkak. Pantas saja selama sebulan ini dia merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Dia sering merasa pusing dan mual. Dia kira dia hanya terkena demam biasa. Tetapi kemarin, dia sudah berkonsultasi dengan dokter. Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa keperawanannya ternyata sudah direnggut hingga menyebabkan dia mengalami hamil muda.

Dazen sampai menjerit tak terima. Dia merasa tak pernah melakukan hal yang haram seperti itu. Bahkan jika berpacaran saja dia tak lebih dari sekedar menggenggam tangan. Bagaimana bisa hidupnya menjadi semakin rumit? Siapa yang merenggut keperawanannya? Harta yang akan dia berikan kepada suaminya kelak. Air mata terus berderai di wajahnya. Lebih baik dia mengakhiri hidupnya saja. Dia tidak sanggup jika harus-- ah! Dia malu. Dia malu kepada dirinya sendiri. Dia mempermalukan keluarganya. Dia mempermalukan ayah dan bundanya. Dia mempermalukan sekolahnya. Dia malu. Dia sungguh malu telah melakukan perlakuan kotor di luar agama.

Geril yang berada di sebelahnya hanya mampu membawa Dazen ke dalam dekapannya. Tak henti-hentinya Dazen memukul perutnya yang masih rata.

"Gue malu, Ril. Gue malu! Gue mau gugurin anak ini, gue malu!"

Geril mengelus lembut rambut Dazen, "Jangan, Zen. Dia gak bedosa."

"Gue malu! Gue gak mau punya anak! Gue belum pernah ngelakuin hal kotor kayak gitu! Anak ini tanpa seorang ayah, Ril. Gue malu!"

Geril melepaskan pelukannya, menangkup kedua pipi Dazen yang basah. "Lo ingat gak kalau lo pingsan selama beberapa hari?"

Dazen mengangguk karena memang dia mengingatnya. Saat itu dia tertidur lama. Yang terakhir dia ingat, dia akan di ajak ke sebuah pameran foto oleh ayahnya. Tapi saat dia terbangun, yang dia lihat hanyalah langit-langit kamar.

"Saat itu lo di bawa ke hotel sama ayah lo."

Mulut Dazen terbuka lebar mendengar penuturan Geril.

"Dia nidurin lo. Dia yang udah ngehancurin hidup lo."

"Gak! Gak mungkin ayah yang ngelakuin ini. Gak mungkin!" pekik Dazen histeris.

"Zen, emang dia yang udah ngerusak hidup lo. Emang dia pria brengsek itu!"

"Ayah," lirih Dazen, setelahnya dia menangis semakin histeris.

"Sekarang dia udah ada di penjara. Gue yang jeblosin dia ke penjara saat itu juga. Menurut data kesehatannya, dia mengidap gangguan psikologis."

"AYAH! GAK MUNGKIN!"

Geril menahan amukan Dazen. Berusaha memberhentikan teriakan histeris Dazen.

"Gue- gue kira ayah gak ada di rumah karena sibuk kerja. Kenapa tante Resta gak bilang? Kenapa Reneo gak bilang? Kenapa gak ada yang ngasih tahu gue? Kenapa, Ril?!"

"Gue yang nyuruh mereka buat gak ngasih tahu lo. Gue gak mau lo-"

"Gue benci hidup gue! Gue benci! Lebih baik gue ikut sama Bunda. Gue benci!"

Dazen terus memukul perutnya kuat-kuat, "Gue harus gugurin anak haram ini! Gue udah hancur, Ril! Ngapain lo masih mau dekat-dekat gue? Gue cewek kotor. Gue udan rusak!"

"Enggak, Zen! Gue! Gue yang bakalan tanggung jawab!"

"Ini anak haram, Ril. Dia gak pantas hidup!"

"Gue bakal nikahin lo," Geril kembali membawa Dazen ke dalam dekapannya, memeluk Dazen dengan sangat erat.

"Gue yang bakal tanggung jawab. Gue bakal nikahin lo. Kita bakalan besarin anak ini sama-sama," bisik Geril lembut, membuat isakan Dazen semakin menjadi.

Detik Kehancuran ✓ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang