43. Library

29 7 0
                                    

Kelopak mata Dazen masih tertutup walau sinar sang surya sudah menembus jendelanya. Suhu badannya panas. Sepertinya dia terkena demam akibat kemarin berjalan menembus air hujan. Perlahan matanya sedikit terbuka. Biasanya, bundanya akan membangunkannya untuk bersekolah. Tapi hari ini dia belum mendengar suara teriakan sang bunda. Dazen memutuskan untuk tertidur kembali. Kepalanya terasa pening. Pun hidungnya tersumbat hingga membuatnya merasa kesulitan bernafas. Karena keadaan yang tak memungkinkan, hari ini dia akan membolos sekolah tanpa keterangan.

***

Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya dia mendesah berat. Memikirkan perasaan Dazen yang pastinya akan sangat terpukul. Belum selesai masalah antara dirinya, Dazen, dan Geril. Masalah baru kembali datang di kehidupan perempuan yang dicintainya itu. Sekitar dua hari lagi, mamanya dan ayahnya Dazen akan menikah. Itu artinya, dia dan Dazen akan menjadi saudara walau tak seibu maupun seayah. Bagaimana bisa dia menjadi adik kakak dengan orang yang selama ini dia cintai secara diam-diam itu?

Reneo terduduk di kursi kayunya. Pagi ini, kelas tidak terlalu ramai. Dia menengok ke belakang, tepatnya ke tempat duduk Dazen. Kosong. Biasanya Dazen akan berangkat lebih awal ke sekolah. Tapi hari ini, Reneo belum melihat perempuan dengan jepit yang selalu bertengger di rambutnya itu.

Reneo meraba-raba kolong mejanya. Berharap bahwa Echa akan kembali mengirimi surat seperti dahulu. Dan ya, benar saja. Tangannya meraih secarik kertas bersama setoples kue seperti biasa. Dia membuka lipatannya dan mulai membacanya.

Hai, aku kembali
Entah kenapa, aku juga tak mengerti
Rasa ini terlalu pekat
Rindu ini terlalu kuat
Hingga mampu melumpuhkan
Seluruh syaraf yang ada di dalam hidupku
Kamu tahu?
Dalam diam pun,
Hanya kamu lah yang sanggup memenuhi pikiranku
Terkadang aku merasa heran
Sebegitu kuatkah pesonamu dalam hidupku?
Sampai berjalannya waktu terasa sangat mencekik leherku
Meraup oksigen yang ada dalam dada tanpa tersisa
Jika begini, bagaimana aku melupakanmu?
Bagaimana caraku menghapuskannya?
Hati kecilku selalu meraung
Mengapa takdir seakan terus mempermainkanku?

- G

Selesai membacanya, Reneo melipat kertas itu dan memasukannya ke dalam saku celananya. Memikirkan, apa yang harus di lakukannya ketika dia menanyakan tentang perasaan Echa?

***

Huh! Echa menghela nafas pelan. Dia meraih buku paket tebal Geografi-nya untuk mengerjakan tugas di perpustakaan pada jam istirahat ini. Benar, merangkum. Siap-siap saja tangannya akan pegal saat merangkum sampai satu bab ini. Dia harap, setelah bel istirahat selesai, rangkumannya juga akan ikut selesai.

Plak! Echa mendongak. Dilihatnya Reneo melempar sebuah kertas yang dilipat hingga tergeletak di atas meja. Echa merasa gugup saat Reneo menatap dirinya dengan tatapan tajam melebihi pisau yang sering digunakannya untuk belajar memasak.

"Eh Reneo," ucap Echa tersenyum centil untuk menutupi kegugupannya.

"Baca!" perintah Reneo mengarahkan dagunya ke arah kertas yang dia lemparkan.

Tangan putih Echa terulur mengambil kertas itu. Jantungnya berdetak kencang tak enak hati. Tangannya pun sedikit bergetar ketika membuka lipatannya. Echa terbelakak kaget. Itu adalah surat yang di simpannya di kolong meja Reneo tadi pagi. Tapi, kenapa Reneo memberikan kepadanya? Atau- apakah Reneo sudah mengetahui jika dirinya adalah secret admirer Reneo selama ini?

"M-maksudnya apa nih?" tanya Echa pura-pura bingung.

Reneo berdecak, "Gak usah pura-pura bego."

Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan Echa. Walau begitu, dia tetap berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Eng- ini surat siapa?"

"Lo bisa baca gak!"

Detik Kehancuran ✓ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang