Bel istirahat pertama berbunyi nyaring membuat semua murid SMA Marta Budiman bersorak riang. Beberapa darinya bergegas untuk menuju kantin mengisi perut yang sudah berbunyi ribut. Namun berbeda dengan Dazen. Gadis dengan rambut panjang yang terjun bebas di sekitar punggungnya itu tengah melangkahkan kaki mungilnya menuju kelas XI IPA-1 untuk menghampiri-- ya. Siapa lagi jika bukan Gerilio Gauta?
"Awww!" Dazen memekik keras saat tubuh mungilnya terpental mencium dinginnya lantai, sebab tak sengaja menabrak dada bidang lelaki yang lebih tinggi darinya.
Dengan wajah datar lelaki itu hanya menatap Dazen tanpa berniat untuk membantunya bangkit berdiri. Seolah-olah menganggap gadis yang sedang terduduk di lantai ini hanyalah serpihan debu yang tak perlu dikasihani.
"Heh robot bernafas! Lo tuh kalau jalan lihat-lihat dong! Sakit nih bokong gue nyium lantai! Masih mending kalau nyium Geril pujaan hati gue! Mana lo gak ban-"
"Maaf," Reneo mulai melangkahkan kakinya kembali setelah memotong ocehan Dazen dengan mengeluarkan satu kata singkat berjuta makna dari mulutnya.
Baru saja dua langkah, Dazen menarik celana abunya hingga dia terhenti dengan alis terangkat naik. Membuat Reneo menatap heran ke arah Dazen yang kini sudah bangkit berdiri seraya menepuk-nepuk tangan dan belakang roknya. "Kenapa?"
Dazen berdecih sebal, "Pake nanya lagi! Lo gak sadar apa, siapa yang barusan lo tabrak? Pokoknya lo harus tanggung jawab!"
"Harus ya?" tanya Reneo menantang.
"Iya lah! Sakit tahu!" keluh Dazen dengan mendelik kesal.
Reneo semakin memasang raut yang dibuat menyebalkan, "Dengan?"
Dazen yang salah fokus dengan tatapan dalam yang berasal dari mata tajam orang di hadapannya ini hanya menggaruk kepalanya salah tingakah, "Dengan-- dengan beliin gue makanan gratis di kantin! Cepettt gue laper! Gue mau ke kelas pacar gue dulu. Sebelum gue balik kesini lagi, makanannya harus udah siap di atas meja gue! Kalau enggak, gue bakal laporin lo atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga! Eh, maksud gue-"
"Gak sengaja," ucap Reneo santai seraya memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana seragamnya. Setelah itu, Reneo hendak kembali melangkahkan kakinya seolah-olah tak peduli.
Lagi-lagi Dazen menarik baju seragam yang dikenakan Reneo saat dia ingin mencoba kabur dari hadapan Dazen, "Gue gak mau tahu! Beliin makanannya sekarang, Neo!"
"Reneo," ralat Reneo singkat.
Dazen mengerjap, "Ya itu lah pokoknya! Gak peduli mau nama lo Neo, Neon, Reneo, atau Oreo, gue gak peduli!"
"Loh? Saaayaaang?"
Perhatian Dazen teralihkan saat mendengar suara lembut pujaan hatinya yang berada di ambang pintu. Otomatis bibirnya bergerak membentuk bulan sabit, "Heyyy sayang!" sapanya sembari melambaikan tangan dengan riang.
"Kenapa marah-marah gitu sama cowok cupu? Dia gangguin kamu?" tanya Geril mengacak gemas rambut lurus tipis milik kekasihnya itu.
"Ini tuh gara-gara si robot bernafas bikin aku kesal setengah mati tahu gak!" adu Dazen dengan mengembungkan pipinya agar terlihat menggemaskan dimata kekasihnya.
Geril meraih tangan mungil Dazen, membawanya melangkah menuju kantin dengan jari yang saling bertaut, "Kamu jangan marah-marah, ntar cepat tua loh!"
"Emangnya kenapa kalau aku cepat tua? Kamu bakalan berhenti cinta ya?" tanya Dazen dengan tatapan menyelidik.
"Gak papa sih," jawab Geril seadanya.
Dazen menarik-narik bagian pinggang seragam Geril, "Iiii kenapa? Atau karena aku bakalan gak cantik lagi ya?"
"Iya. Kamu bakalan gak cantik lagi."
Mendengar kalimat yang tidak mengenakan di pendengarannya itu, Dazen sengaja menghempaskan tangannya sehingga jemari mereka terpisah --tidak seperti sebelumnya. Dia memasang ekspresi kesalnya dengan bibir kecil berbentuk kerucut andalannya.
"Terus kalau aku udah gak cantik lagi, kamu bakalan ninggalin aku? Gitu?!"
Tangan Geril terangkat menuju pundak Dazen. Merangkul, lalu membiarkan tangannya mengelus pipi gembul kekasihnya itu, "Dengerin ya kesayangannya Geril. Meskipun kamu udah tua, kamu udah keriput, kamu udah gak cantik lagi, aku bakalan tetap cinta kok sama kamu."
Bola mata coklat terang milik Dazen berbinar, "Benaran?"
"Iya lah. Cuma kamu satu-satunya yang ada di hati aku. Gak ada yang lain," Geril tersenyum miring.
Mendengarnya, Dazen kembali tersenyum bahagia, "Kamu gak bakalan ninggalin aku kan?"
Kepala Geril menggeleng otomatis, "Enggak lah. Mana berani aku ninggalin kamu. Yang ada aku gak bisa hidup tanpa kamu," gombalnya seraya menjawil hidung mancung Dazen.
Dazen terkekeh pelan. Betapa bahagianya dia memiliki kekasih seromantis Gerilio Gauta. Sungguh, dia sangat mencintai dan tidak ingin kehilangannya. Dia baru mengetahui satu fakta, bahwa ternyata cinta memanglah indah. Seindah drama Korea yang sering dia tonton. Seindah kisah Romeo dan Juliet yang romantis. Seindah hubungannya dengan Gerilio Gauta yang dia pun tak tahu bagaimana kedepannya.
Setelah sudah berada di tengah keramaian kantin, mereka duduk dan segera memesan makanan yang akan dilahapnya untuk mengisi perut. Dan setelah pesanan sampai, mereka segera memakan dengan gaya jaimnya. Bahkan, sesekali Geril menyuapkan sesendok kuah bakso kepada kekasih hatinya itu. Tanpa mereka ketahui, sepasang mata tajam memperhatikan mereka dari kejauhan. Hatinya memanas. Dengan tangan terkepal menahan amarah dan rasa kecemburuan, dia memutuskan untuk kembali menuju kelas XI IPS-2 saja.
Sudah cukup dia melihat kemesraan mereka saat di kelas tadi. Sekarang, mereka bermesraan di kantin dengan acara suap-suapan. Nafsu makannya mendadak hilang. Padahal sudah dua balikan dia mengunjungi kantin. Pertama, dia lupa membawa uang yang tertinggal di dalam tas punggungnya hingga tak sengaja bertabrakan dengan orang yang selalu mengisi pikarannya. Dan sekarang setelah dia membawa uang untuk dibelikan, dia melihat pemandangan tak enak hingga membuat nafsu makannya hilang seketika.
Ya, dia Reneo Alfian. Robot bernafas yang memiliki sorot tajam di kedua matanya. Sebenarnya bukan robot, dia manusia. Hanya saja, sikapnya yang dingin dan irit dalam berbicara membuat semua teman-temannya menjulukinya sebagai robot bernafas. Aneh bukan? Robot dari mananya? Bahkan gerak geriknya pun sama seperti manusia normal pada umumnya. Yang membedakan, dia selalu memasang ekspresi datar. Nyaris tidak pernah tersenyum. Wajahnya bagai kaku tidak bisa mengeluarkan senyuman barang sedikit pun.
Setelah sudah sampai di kelas XI IPS-2, dia mendaratkan bokongnya di kursi kayu berposisi tempat duduk paling depan, dua jajar dari pintu yang berada di sebelah kanan. Tangannya meraba-raba kolong meja dan segera menurunkan kepalanya untuk menengok. Dilihatnya sepucuk surat dan sebuah kue apem di sana. Tak aneh lagi, ini pasti ulah dari seorang penggemar rahasianya. Dengan malas, dia membaca surat berbentuk kapal-kapalan itu dalam hati.
Dear, Reneo Alfian.
Sebuah kue apem untuk sang pujaan hati. Di makan ya, ini sangat spesial.
I love you forever.- G, your secret admirer
Reneo melirik kue apem yang tergeletak di mejanya. Membuka plastik, dan memakannya. Bukan apa-apa, dia hanya menghargai pemberian dari penggemar rahasianya itu. Kebetulan juga, dia merasa lapar karena tidak sempat makan di kantin tadi.
Ah, teringat apa yang dilihatnya di kantin tadi, hatinya kembali memanas. Tak di sangka, dia mempunyai penggemar rahasia walaupun dirinya sendiri adalah penggemar rahasia dari seorang gadis bernama Dazen Zovanka. Bedanya, dia hanya berani memandangi Dazen dari jauh tanpa sepengetahuan siapa pun. Tanpa berani memberikan surat, kue apem, bunga, atau pun coklat seperti yang biasa dilakukan oleh penggemar rahasianya itu.
"Kapan lo sadar sama perasaan gue?" lirihnya miris.
Sadar? Bagaimana Dazen akan sadar? Reneo-nya saja tidak pernah menunjukkan secara langsung tentang perasaannya. Dan, bagaimana Dazen bisa tahu? Jika sikap Reneo yang terlalu dingin saja berbanding terbalik dengan Dazen, tipikal gadis yang banyak bicara. Bahkan untuk hal yang tidak penting sekali pun.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Detik Kehancuran ✓ [SUDAH TERBIT]
Teen FictionWaktu memang mampu memperbaiki kehancuran. Tapi tetap saja, goresan dari kehancuran tersebut akan membekas di setiap ingatan. Hanya dengan sedetik saja, secercah kebahagiaan pun dapat berubah menjadi suatu kehancuran yang melebur bersama kesakitan t...