45. Love

31 8 0
                                    

Geril tak banyak bicara hari ini. Dia hanya melamun menatap kosong ke depan, memikirkan perihal ibu kandungnya yang sudah ditemukan. Bagaimana bisa jika ibu dari mantan kekasihnya adalah ibu kandungnya sendiri? Ah! Entahlah. Dia berusaha untuk tidak peduli. Dia membenci siapa pun yang menjadi mamanya. Banra, itulah penyebab selama ini dia membenci perempuan. Dia sering mempermainkan perempuan seperti mamanya yang mempermainkan papanya. Dia sering meninggalkan perempuan seperti mamanya yang meninggalkan ayahnya. Tentu saja itu membuat Geril semakin benci pada kaum perempuan. Dia membalas dendamkan perlakuan mamanya kepada kaum perempuan. Tak heran jika dia sudah banyak mempermainkan perempuan dengan sesuka hatinya. Sampai Dazen datang menguasai hidupnya, dia sedikit berhenti melakukan permainan konyol itu. Teringat Dazen, sudah beberapa hari ini dia tidak melihatnya. Semenjak insiden hubungannya berakhir, dia tidak pernah melihatnya lagi. Jujur, Geril sangat merindukannya.

"Siniin anjir pulpen kesayangan gue!"

"Apaan ehh, ini pulpen gue yang nemu di kolong meja!"

"Itu punya gue, bego!"

"Apaan lo? Berani lo sama gue?"

"Berani lah! Badan lo aja yang gede, tapi nyali lo ciut huh!"

"Awas aja lo kutil badak! Pulang sekolah nanti, gue tunggu lo di depan gerbang!"

"Ngapain?"

"Kita pulang bareng lah, brooo!"

Brak!

"BERISIK TAI!" Geril memijat pelipisnya. Kepalanya semakin pening saja mendengar perdebatan kedua sahabatnya, Maul dan Bimbim yang sedang memperebutkan bolpoin hasil curian.

Setelah menggebrak meja dan memarahi mereka, Geril menyembunyikan wajah di antara lipatan tangannya. Dia mulai memejamkan matanya dan tertidur di tengah keributan kelas XI IPA-1 itu.

***

Dazen berjalan menunduk menuju ruang bu Syetta. Dia kembali dipanggil oleh wali kelasnya. Dengan langkah cepat, dia memasuki ruangan yang baru-baru sering dikunjunginya itu.

"Ada apa ya, Bu?" tanya Dazen sopan.

"Begini, Dazen. Ibu-"

"Maaf, Bu. Dazen belum punya cukup uang untuk melunasi SPP Dazen. Ibu tahu sendiri kan kalau bunda-"

"Ha? Tidak, Dazen. Lagi pula, uang SPP kamu sudah ada yang melunasi. Bahkan lunas total sampai kamu lulus."

Mata Dazen membulat, "Lunas? Siapa, Bu?"

"Dia adalah pemberi beasiswa yang tidak ingin diketahui identitasnya. Justru kamu sangat beruntung, Dazen."

Dazen tersenyum senang, "Terima kasih banyak, Bu."

"Berterima kasihlah kepada Tuhan. Kamu patut bersyukur."

"Iya, Bu. Dazen tentu sangat bersyukur," ucap Dazen mengangguk patuh.

"Lalu, ada apa Ibu memanggil Dazen kesini?" lanjutnya.

Bu Syetta menghela nafas, "Begini, Dazen. Ibu perhatikan nilai kamu menurun lagi. Ada apa?"

"Eng- Dazen-"

"Ibu sangat senang saat nilai kamu membaik waktu itu. Tapi mengapa sekarang turun lagi?"

"Ibu pasti mengerti keadaan Dazen sekarang," lirih Dazen pelan sembari menunduk.

Bu Syetta mengusap punggung tangan Dazen dengan lembut, "Ibu mengerti. Kamu yang sabar ya."

"Terima kasih, Bu. Tapi Dazen berjanji, Dazen akan kembali memperbaiki nilai Dazen. Dazen akan meminta bantuan Reneo lagi, karena sekarang Dazen sudah tinggal serumah dengan Reneo."

Detik Kehancuran ✓ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang