Deru motor terdengar dari depan gerbang sebuah rumah yang cukup besar. Sang pengendara membuka helm full face-nya, melirik kaca spion seraya menyisir rambut dengan jemarinya secara acak.
"Hai," sapa Dazen yang tiba-tiba datang dengan senyuman gembira sebagai pengawal pagi.
Geril mendongak. Membalas sapaan Dazen seraya tersenyum tak kalah manis kepada kekasihnya itu. "Hai. Selamat pagi bidadari kecilku."
"Pagi kembali," balas Dazen singkat. Senyumannya tak luntur, masih mengembang secerah mentari di pagi ini.
"Yaudah yuk, nanti kita telat." Dazen mulai menaiki motor dan duduk di belakang Geril seraya memeluk pinggang kecilnya. Lagi-lagi dia tersenyum dibalik punggung lelaki itu. Sangat bahagia tentunya.
Gerilio Gauta. Lelaki yang dua hari kemarin menyatakan cinta kepadanya. Tidak butuh waktu lama bagi Dazen membalas cintanya. Memangnya siapa yang akan menolak jika ditembak oleh seorang most wanted di sekolah? Apalagi menyatakan cinta dengan cara seromantis mungkin. Menembak Dazen di tengah lapangan basket dengan membawa sekuntum mawar merah yang awalnya disembunyikan di belakang badan. Tak hanya itu, Dazen juga sangat mencintai Geril dari sejak dia menginjak masa putih abu. Anak dari pemilik SMA Marta Budiman itu benar-benar membuatnya terpesona. Selain ketampanan dan keterlimpahan hartanya, perlakuan Geril juga terlihat sangat begitu manis di mata Dazen.
Setelah sampai dan Geril memarkirkan motornya, mereka berjalan memasuki area sekolah. Menjadi kebiasaan baru, Geril mengantar Dazen ke kelas XI IPS-2 agar kekasihnya itu tidak digodai oleh lelaki lain. Lagi-lagi Dazen hanya bisa mengulum senyum bahagia saat sudah terduduk di kursi singgahsananya. Sebelumnya, Dazen tidak pernah diantarkan seorang kekasih sampai ke depan kelasnya. Bagaimana tidak? Geril adalah pacar pertamanya. Tepat sekali, Dazen mengakhiri masa jomblo dari lahirnya sejak dua hari yang lalu. Saat dimana Geril menyatakan cintanya dengan sangat romantis yang sukses membuat Dazen membekap mulut.
"Darrrrr!"
Dazen terlonjak kaget saat suara gebrakan meja dan teriakan teman sebangkunya memasuki gendang telinga. Otomatis ingatan tentang kebahagiaannya membuyar dan hilang seketika.
"Gangguin orang lagi halu aja lo, cungur!" dengusnya sembari memasang ekspresi terkejut yang dibuat-buat.
"Haluin apa sih? Kenneth Aldebaran si cogan Wattpad lagi? Mimpi huuu!" teman sebangkunya itu kembali mengejek sembari mengusap kasar wajah Dazen dengan tangan mungilnya.
Dazen hanya mendelik. Tak menghiraukan gadis berpipi tembam yang kini sudah duduk di sebelahnya. Dia Elga Safitry. Elga nama panggilannya. Dia teman sebangku Dazen sejak menduduki bangku SMA. Artinya, mereka duduk bersebelahan sudah dua tahun lamanya.
Elga mengeluarkan buku catatannya. Betapa rajinnya dia, walaupun bel masuk belum berbunyi tetapi sudah mulai mengeluarkan sebuah buku lengkap dengan bolpoinnya. Dengan malas Dazen meliriknya sekilas. Terlihat Elga yang sedang membaca buku catatan pelajaran Ekonomi-nya dengan mata yang memicing serius. Mulutnya pun komat-kamit seperti sedang membaca mantra. Tak aneh lagi bagi Dazen, Elga memang murid yang pintar di kelasnya. Dia menduduki peringkat pertama di kelas XI IPS-2 itu saat semester satu kemarin. Tak perlu diragukan lagi, kedua orang tua dari sahabatnya itu pasti bamgga memiliki putri yang berturut-turut mendapati gelar sebagai bintang kelas.
"Serius banget bacanya. Gak takut keluar tuh bola mata sampai belotot gitu?!"
Elga menutup paksa buku catatannya, "Lo lupa? Sekarang kan ada ulangan Ekonomi. Gue aja semaleman menghafal sampai ketiduran. Masa lo santai-santai gitu?"
Dazen berdecak tak peduli, "Keep santuy and bodo amat!"
Tanpa mereka sadari, bel masuk telah berbunyi dua menit yang lalu. Seorang bapak guru berjenggot sepanjang lima centi serta botak di tengah kepalanya mulai memasuki kelas dengan menjinjing tas hitamnya yang sepertinya berisi laptop.
Benar saja, setelah ketua murid memimpin untuk berdo'a, pak Dadang tiba-tiba menyuruh semua murid mengeluarkan kertas dua lembar secara paksa. Dengan kasar Dazen menyobek bagian tengah bukunya. Apa-apaan ini? Baru saja masuk kelas, sudah ada ulangan dadakan saja. Beruntung, Elga duduk di sebelahnya. Teman sebangkunya itu cukup mudah untuk diandalkan. Dia selalu membantu Dazen untuk mengerjakan soal-soal yang menurutnya sulit. Walaupun terkadang sifatnya egois, Elga selalu mendahulukan jawaban untuk dirinya sendiri sebelum memberitahu ataupun memberi contekan kepada orang lain.
Dazen merogoh bagian-bagian kecil tasnya. Namun nihil. Dia tak kunjung menemukan bolpoin hitam yang sedang di carinya itu. Sedangkan pak Dadang sudah mulai membacakan soal ulangan secara dikte dengan tempo yang agak cepat.
"Pak!" Dazen mengangkat tangan kanannya membuat pak Dadang menutup mulut hingga perhatian semua murid sontak tertuju ke arah tempat duduknya yang berada di barisan paling kanan posisi ketiga dari depan.
Pak Dadang menatapnya heran, "Ya?" sahutnya singkat.
Dazen menyengir dan berdiri tanpa dosa, "Pulpen saya hilang, Pak. Yang warnanya hitam, masih ada tutupnya. Bentuknya panjang, terus ujungnya lancip. Padahal baru beli di koperasi dua hari yang lalu, harganya dua ribu lima ratus," jelasnya mendeskripsikan secara rinci. Semua murid menghela nafas kasar. Ada-ada saja Dazen ini!
Tak di sangka, seorang murid lelaki yang terduduk di urutan paling depan barisan tengah mengangkat tangan seraya memegang sebuah bolpoin hitam. Dengan mata yang berbinar senang Dazen berjalan mengambil bolpoin yang terulur ke arahnya dari lelaki yang dia ketahui bernama Neo itu.
"Ini pulpen gue kan? Lo nemu dimana? Ohh, atau jangan-jangan selama ini lo ya yang suka nyuri pulpen g--"
Tuduhan Dazen terhenti saat melihat nama Reneo Alfian melilit ditengah-tengah bentukan bolpoin tersebut. "Makasih ya," ucap Dazen dengan menyengir malu walau rentetan ucapannya tak di balas sepatah kata pun oleh sang pemilik bolpoin. Yang ada hanya wajah datar yang terlihat semakin menyebalkan di mata Dazen.
"MAKASIH!" ucapnya sekali lagi dengan suara yang lebih keras karena kesal tidak mendapat respon.
"Ya."
Dazen memutar bola matanya malas, "Dasar robot bernafas! Untung baik minjemin gue pulpen!"
Setelah Dazen kembali ke tempat duduknya, pak Dadang kembali melanjutkan dan membacakan satu persatu soal yang membuat semua murid terlihat kebingungan. Bagaimana tidak? Cara pembelajaran yang di sampaikan pak Dadang sangat kurang jelas sehingga sulit di pahami oleh para murid yang berotak standar. Hanya menjelaskan sedikit tentang materi, lalu dengan mudahnya memerintahkan semua murid mengerjakan LKS tanpa di perjelas lagi. Setelah itu, dia keluar membiarkan murid kelas XI IPS-2 menikmati jam kosong. Apakah ada cara pembelajaran seperti itu di sekolah lain selain SMA Marta Budiman ini?
Ahh. Dazen segera membuang jauh-jauh pemikirannya tentang cara pembelajaran yang disampaikan oleh seorang guru botak di bagian tengah kepalanya itu. Dia berusaha fokus, sesekali melirik Elga yang dengan lancar menulis di lembar jawaban miliknya. Tak habis pikir, mengapa otaknya bisa seencer itu?
Tak ingin mengganggu teman sebangkunya, sebisa mungkin Dazen mengisi lembar jawaban yang masih kosong dengan pemikiran tak logisnya. Bisa-bisa kepalanya pusing jika otaknya dipaksa untuk berpikir lebih jauh tentang materi Perusahaan Dagang yang diajarkan oleh guru berjenggot lima centi dengan nama Dadang Surjono itu.
"Bodo amat, yang penting ngisi!" tekadnya dengan percaya diri. Kemudian dia berjalan ke depan untuk mengumpulkan hasil ulangannya dengan bangga dihiasi raut angkuh. Hampir semua murid berdecak kagum melihat Dazen yang pertama mengumpulkan. Mungkin semuanya mengira bahwa Dazen adalah murid yang cerdas, namun ternyata dugaan mereka salah besar dan sangat bertolakbelakang dengan fakta yang ada.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Detik Kehancuran ✓ [SUDAH TERBIT]
Teen FictionWaktu memang mampu memperbaiki kehancuran. Tapi tetap saja, goresan dari kehancuran tersebut akan membekas di setiap ingatan. Hanya dengan sedetik saja, secercah kebahagiaan pun dapat berubah menjadi suatu kehancuran yang melebur bersama kesakitan t...