33. Trip

43 8 0
                                    

Tubuh mungil Dazen nyaris membungkuk membawa ransel besar di punggungnya yang berisi perlengkapan hasil preparenya kemarin. Dia meringis pelan ketika berjalan dengan punggung yang dibebani ransel besar itu. Dari gerbang ke tengah lapang saja, nafasnya sudah tidak teratur. Benar, hari ini adalah hari keberangkatan semua murid kelas XI untuk melakukan praktik lapangan ke pulau Bali selama dua hari semalam.

"Bisa gue bantu?"

Dengan memegang bahunya, Dazen menoleh ke asal suara.

"Gak!" jawabnya ketus dengan mata mendelik tajam.

Tanpa sepertujuan Dazen, Reneo melepaskan ransel dari punggung Dazen dan membawanya ke arah lapangan yang sudah dibanjiri semua murid kelas XI IPA maupun IPS?

"Eh?" alisnya tertaut bingung. Dazen berjalan mengikuti Reneo hingga sampai di tengah lapang.

"Makasih."

Tanpa menjawab, Reneo berjalan ke arah barisan paling depan jajaran kelas XI IPS-2. Sedangkan Dazen, dia bedecak sebal. Dia masih kesal kepada Reneo yang saat itu memukul Geril. Bahkan sampai saat ini, dia tidak pernah akur lagi dengan Reneo. Sampai-sampai Reneo sudah tak lagi menjadi tutor belajarnya.

Setelah berbaris dan mendengarkan sambutan dari kepala sekolah, semua siswa-siswi kelas XI membubarkan barisannya dan menuju bus yang telah di sediakan. Dazen terdiam mengamati teman-temannya yang lain bergandengan dengan sahabat masing-masing. Sedangkan dia? Dia sendiri. Tidak mempunyai teman. Jika sudah begini, dia menjadi teringat akan Elga. Apa kabar sahabatnya itu? Dia benar-benar merindukannya.

"Lo se-bus sama gue ya?"

Dazen membuyarkan lamunannya. Menengok ke asal suara. Dilihatnya seorang perempuan dengan tangan menggenggam bedak. Rambutnya dibiarkan tergerai membuatnya semakin cantik dengan pipi yang terlihat berisi.

"I-iya kali," ucap Dazen ragu.

"Yaudah, yuk!" Echa meraih tangan Dazen dan menggenggamnya. Sedangkan Dazen terdiam melihat tangan mungilnya di genggam oleh saudara kembar dari kekasihnya itu.

"Kenapa lagi? Ngelamun mulu ah lo! Si Geril gak bakal nyamperin lo. Dia udah masuk bus sama si Maul, sama si gentong minyak juga sih. Kebetulan lo sama gue satu bus. Yaudah lo bareng gue aja, yuk!"

Dazen mengangguk samar. Kemudian mereka berjalan menuju bus dan mulai memasukinya, mencari tempat duduk kosong untuk di tempati. Setelah mendapatkan, Dazen memilih untuk terduduk di dekat jendela bus agar dapat melihat indahnya pemandangan.

Di dalam bus, tak henti-hentinya Echa memoleskan bedak tebal sampai lima centi. Juga tangannya menyisir rambut yang di gerai itu agar terlihat rapi. Dazen yang melihatnya pun hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. Merasa bosan, Dazen terlelap dengan kepala yang menyender ke belakang jok. Angin yang berhembus melalui jendela bus membelai lembut wajahnya. Tentunya hal itu semakin membuatnya terlelap nyenyak.

Echa melirik sekilas ke arah Dazen. Dia menguap dengan tangan yang masih menggenggam bedak. Dia membuka resleting tas kecilnya dan memasukan bedak ke dalamnya. Dia ikut terlelap dengan kepala menyender ke bahu Dazen.

***

AKU TAK MAU JIKALAU AKU DI MADU AHAYYY

CANGCIMEN CANGCIMEN CANGCIMEN

GAREHU BALABALA DOROKDOK HANEUT

DUALASLIMA DUALASLIMA DUALASLIMA

PARA HADIRIN PARA HADIROT
SANGU SAPIRING BEAK KU KOLOT

HAHAHA!

Berbeda dengan bus yang di tumpangi oleh kaum perempuan, bus ini dipenuhi oleh ocehan para lelaki terutama murid keturunan Sunda dengan nama Maulio Putra itu. Bus ini tampak ramai sehingga sulit untuk dapat terlelap dengan damai.

Detik Kehancuran ✓ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang