1 - Halmeoni sucks & compassionate

2.8K 252 0
                                    

Udara cukup dingin hari ini, Jennie mengeratkan mantel hijau army miliknya. Setelah berjam-jam duduk di kursi penumpang dalam bus. Akhirnya dia bisa menghirup udara segar di kota kelahirannya, Anyang.

Dia akan tinggal lama di Anyang, setelah lima tahun hidup di New Zealand dan dua tahun di Seoul. Jennie akan melanjutkan hidup bersama neneknya disini, setelah kedua orangtuanya meninggal akibat kecelakaan.

Aku akan merawat nenek, begitu katanya.

Jennie melangkah dengan hati-hati untuk menghindari genangan air yang berlumpur, menjaga keseimbangan agar tidak terpeleset karena jalanan licin. Jennie berhenti disebuah minimarket untuk membeli secangkir kopi, tubuhnya sedikit menggigil setelah hujan lebat menjerjang kota ini.

"Hei! Jangan lari, jalannya licin!"

Samar-samar Jennie bisa mendengar suara anak kecil yang berteriak, sejenak dia mengingat-ingat sesuatu, Kayaknya aku juga punya teman masa kecil deh. Kaya dinovel-novel, tapi kok nggak ingat, ya?

Jennie menyeruput tetes terakhir kopinya, sebelum beranjak dan mencari taxi untuk mengantarnya sampai kedepan gerbang rumah neneknya.

"Halmeoni, apa kabar?" ucap Jennie masih dengan memeluk nenek Hwa-in. Neneknya.

"Astaga.. Jennie kecil sudah besar rupanya.. Nenek tentu saja baik. Kau sudah baik-baik saja 'kan?" Hwa-in melepas pelukannya dengan pelan, "Jangan bersedih lagi.. Ada nenek disini." ucapnya dengan suara parau, mengigatkan Jennie, bahwa neneknya sudah sangat tua. Apalagi keriput disetiap inci wajahnya sangat terlihat jelas, dan tubuhnya yang mulai membungkuk.

"Aku baik, Halmeoni. Aku selalu baik, apalagi sekarang ada Halmeoni yang selalu menjagaku." jawab Jennie dengan senyuman dibibirnya.

"Aigoo.. Kalau begitu cepat kekamar ya. Mandi, dan setelah itu makan." perintah nenek Hwa-in, dan segera Jennie laksanakan. Sebelum beranjak menuju kamar yang akan ditempatinya entah beberapa lama nanti. Jennie memapah tubuh sang nenek untuk sampai ke dapur, karena sudah tua, jadi perlu hati-hati dan harus diperhatikan.

Jennie menyimpan kopernya di samping lemari pakaian, melepas jaket yang digunakan untuk melindungi hawa dingin di atas koper. Dia berjalan gontai dan langsung menghuyungkan badannya untuk segera menubruk kasur empuk yang selalu digunakannya ketika berlibur. Dan sekarang kasur itu akan selalu ditindih tubuh mungil Jennie setiap hari.

Gadis itu memejamkan mata sebentar, mengusir penat yang dia dapat dari perjalanannya dari Seoul ke Anyang. "Hah.. Cepek juga, ya. Oh iya, aku nanti sekolah dimana ya?" gumamnya dengan kening berkerut tipis.

"Mending mandi dulu, trus tanya Halmeoni."

Jennie mengubah posisinya menjadi duduk dan langsung berjalan menuju sisi kiri ruangan, tempat kamar mandi berada.

Kira-kira sepuluh menit berlalu, Jennie sudah siap dengan pakaian santainya. Perasaan gadis itu berbeda dari hari biasanya. Mungkin karena akan hidup di lokasi yang berbeda. Walaupun dia sudah berada di Anyang sejak lahir sampai berumur sembilan tahun. Sesaat dia berhalusinasi, bahwa dirinya seperti terlahir kembali. Berlebihan memang. Tapi mulai hari ini dia akan menjalani hidup kembali di tempat kelahirannya. Menjalani hidup baru.

Jennie segera berajak turun guna menemui sang nenek yang sedang berkutat dengan wajan dan panci didepannya.

"Halmeoni." nenek Hwa-in menoleh, saat Jennie memanggil, "bolehkah aku membantu?" tanyanya.

"Memangnya kau bisa? Kau memecah telur saja tidak bisa, apalagi memasak?" ejek Hwa-in dengan kekehan kecil, dan membuat Jennie menghentakkan kaki seketika.

"Siapa bilang aku tidak bisa memecahkan talur? Bahkan, itu terlalu mudah untukku." ujarnya ketus seraya berjalan mendekat kearah sanga nenek yang sedang mengaduk sup. Entah sup apa, Jennie tidak tahu.

"Mudah, jika kau melemparnya."

Jennie mendengus, kenapa neneknya menjadi sangat menyebalkan seperti ini? Bisa gila kalau terus mendengus karena kesal dengan sikap sang nenek.

Nenek Hwa-in hanya bisa terkekeh lagi. Melihat cucu kecilnya cemberut dengan bibir maju hampir satu centi. "Kau duduk saja, biar nenek yang masak. Kau pasti lelah 'kan?" kata nenek lembut. Tangan kirinya yang tidak memegang apa-apa mengusap kepala bagian belakang Jennie sayang.

Hanya butuh satu detik setelah nenek Hwa-in menyelesaikan ucapannya. Jennie kembali tersenyum dan bersorak girang. Dia mencabut panggilan menyebalkan untuk neneknya. Dan mengganti menjadi tersayang untuk panggilan neneknya.

Sedikit saja pantatnya sudak menyentuh alas empuk kursi. Jennie kembali mengecap panggilan sang nenek menjadi menyebalkan lagi. Ucapan neneknya membuat pantatnya yang masih melayang dihempaskan dengan kasar.

"Lagipula, Halmeoni tidak mau, masakannya menjadi tidak berguna jika tersentuh oleh tanganmu."

Astaga! Aku jamin, halmeoni dicap sebagai gadis bermulut pedas saat masih sekolah dulu.

"Terserah apa katamu, Halmeoni. Aku hanya bisa diam." kata Jennie dengan nada yang mendramatisir.

Jennie membantu menyiapkan meja dan menata piring untuk makan malam mereka berdua. Sedikit mengelap meja yang basah.

"Halmeoni. Ngomong-ngomong, aku akan sekolah dimana? Apa dekat dengan sekolah dasarku dulu?" tanya Jennie, dipertengahan acara makan malamnya.

Nenek Hwa-in yang masih menyeruput sup Taoge-nya sedikit tersedak dengan ucapan tiba-tiba Jennie. "Kau ini, aku sudah tua Jennie. Bicara itu pelan-pelan."

Jennie hanya menyengir setelah menyodorkan air untuk neneknya. "Mian." jawabnya bersalah.

Nenek Hwa-in menggelengakan kepala. "Iya, dekat sekolah dasarmu dulu. Halmeoni sudah bicara dengan guru yang Halmeoni kenal. Dan suratnya sudah terurus. Besok, kau sudah bisa masuk. Tapi kau harus menemui kepala sekolah dan guru kedisiplinan dahulu, ada urusan lain yang harus kau selesaikan sendiri."

Jennie yang mendengar itu menganggukkan kepala. Neneknya memang hebat. Jennie kira, dia sendiri yang harus mendaftar dan mengurusi apa saja keperluan yang akan digunakan. Tapi neneknya sudah menyelesaikannya. Padahal nenek Hwa-in sudah tua.

Beruntungnya diriku!

______




YELLOW CARD | ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang