20. Sepercik Petang Mengusik Tenang

1.1K 265 146
                                    

"Sepercik petang yang mengusik tenang. Datang menjalar dalam ruang sadar. Karenanya, bentuk ujian teruntuk tegar dan sabar."
*****

"Nei..!" Sebuah suara yang terdengar dekat membuat Neira menggeliat.

"Bagun, Nei." Kali ini disertai sebuah tepukan di pipi Neira membuatnya mengerjapkan mata, lalu kedua kelopaknya perlahan terbuka sempurna.

Seketika dilihatnya sepasang mata gelap yang tengah menatapnya.

Saat Neira mengedarkan pandangan ia tersadar telah berada di dalam kamar dan ternyata di sana ada pula kedua mertua serta adik iparnya.

Jadi dia...

Seketika pipi Neira bersemu merah membayangkan jika Reyhan menggendongnya menuju kamar mereka yang mungkin saja di hadapan mertua dan adiknya ini.

Ketika kesadaran mengikat. Neira kini merasa malu terlebih saat mengingat kejadian di mobil tadi saat traumanya kembali mencuat.

Betapa tidak, di bawah pengaruh ketakutannya dia dengan segera mendekap Reyhan begitu erat dan enggan melerai pelukannya, sehingga membuat laki-laki itu tidak bisa mengemudi dan akhirnya menghubungi sopir pribadinya untuk menjemput pulang mereka.

Ketika mereka berpindah duduk di kursi belakang pun Neira masih tetap mendekapnya lalu perlahan samar-samar matanya terpejam entah karena tertidur atau tidak sadarkan diri, yang jelas setelahnya Neira tidak mengingatnya.

"Kau tidak sedang beranggapan kalau seorang sopir yang telah menggendongmu bukan?" Seketika Neira mengubah air mukanya mendengar ucapan seseorang yang masih duduk di sisi ranjangnya. Tidak lain adalah Reyhan.

Sedangkan ketiga orang di sana terkekeh kecil mendengarnya.

"Sudahlah... Kau ini bisa saja menggoda isterimu yang bahkan baru tersadar." Ibu Raniya menepuk pelan bahu puteranya.

"Bagaimana, Nak...apakah kau merasa pusing?"

"Iya, sedikit, Bu."

"Rey... Beri dia obat dan ayo kita biarkan dia beristirahat."

Suaminya memang telah memeriksa keadaannya saat pingsan, meski kondisi fisiknya bukan hal yang perlu dikhawatirkan tetapi kondisi jiwanya tengah terguncang.

Sepeninggal mereka Reyhan mengangsurkan satu butir obat dan segelas air yang langsung diminum oleh Neira.

"Tenangkan dirimu," ucapnya sesaat sebelum beranjak pergi. Lalu terdengar suara gemericik air di dalam kamar mandi.

Neira menghela napas resah beberapa saat. Selama ini ia selalu menutup rapat sisi rapuhnya di hadapan orang lain. Namun, kini laki-laki berpredikat suami itu telah mengetahui sisi lain dari dirinya.

Sejujurnya Neira menyesalkan hal itu.

Neira memutuskan setelahnya dia akan membersihkan diri karena sore semakin beranjak petang untuk segera bersiap menunaikan panggilan-Nya.

*****

"Nak, bagaimana sudah merasa lebih baik?" tanya Ibu Raniya saat melihat Neira mendekat ke ruang makan itu.

"Alhamdulillah, sudah Bu." Neira tampak lebih segar dengan pakaian santai berwarna biru.

"Syukurlah, ya sudah ayo makan," ajaknya untuk bergabung bersama Ayah dan Reyhan yang telah ada di sana, lalu Elladya datang mengambil duduk di sebelah Neira.

Baik mertua maupun sang adik enggan untuk membahas kejadian sore tadi. Juga segan untuk berkomentar mengenai traumanya jika justru akan melukai Neira. Tentang itu semua bukan hal yang perlu dibicarakan. Mereka berpikir  melihat Neira baik-baik itu adalah bagian terpenting.

BERDETAK (Berakhir dengan Takdir) {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang