"Kamu harus pergi?"
"Iya."
"Tidak bisa kamu menginap saja malam ini?"
"Tidak bisa."
"Baiklah."
Melihat Harumi yang terlihat sedih, Haruto meraih lengan kekasihnya itu. Memberikan pelukan hangat untuk kekasihnya itu.
"Bisakah aku menghubungi Shihyun atau Ima?" tanya Harumi yang masih dalam rengkuhan Haruto.
"Tidak bisa. Kalau kau rindu pada mereka. Aku akan sampaikan. Tapi nomormu harus dirahasiakan."
"Iya."
Haruto melepas pelukannya, kini dia menatap mata Harumi. Membuat gadis itu tenggelama dalam tatapan Haruto.
"Kamu sudah memilih untuk pergi jauh. Bersamaku. Aku hanya berharap kamu akan bertahan sampai kita bisa bahagia nantinya. Mengerti kan Watanabe Harumi?"
Harumi tersenyum geli mendengar Haruto memanggilnua dengan nama keluarga Haruto. Sungguh menggelikan sekali untuknya.
"Hm"
Haruto cemberut karena melihat Harumi tersenyum bukannya menjawabnya.
"Iya sayang. Aku memilihmu. Daripada hidup mewah dengan keluargaku. Tapi, kamu harus menjawab pesanku jika tidak sibuk. Aku kesepian disini."
Tingkah Harumi yang sedikit menggemaskan itu membuat Haruto memeluk kekasihnya itu lagi. Tapi kali ini pelukannya Haruto terlihat menggemaskan.
"I love you."
Haruto tersenyum. "I love you too."
Haruto mendekatkan wajahnya, lalu memberikan ciuman manisnya untuk Harumi.
"Aku harus pergi."
" Hati-hati."
Haruto berjalan keluar menuju mobilnya yang terparkir di depan villa. Haruto melambaikan tangannya lalu membuka pintu mobilnya. Dia sudah harus kembali. Managernya sudah murka.
***
Masaki menatap foto kakak perempuannya. Sangat mirip dengan ibunya dan juga dirinya. Dia tidak tahu mengapa selama ini keluarganya seakan-akan tidak memiliki putri. Padahal, Harumi memiliki paras yang cantik. Kecantikannya itu pun yang digunakan ayahnya untuk menjual putri satu-satunya.
Masaki tahu, keluarganya memang sudah berkecukupan. Tetapi tetap membutuhkan banyak kolega yang bisa membantu bisnis usaha mereka.
"Bunda-"
Masaki menatap pada pintu yang terbuka dan menunjukkan wajah bundanya. Akina berjalan mendekat pada Masaki yang kini duduk di sofa yang ada diruangan kamarnya.
"Kau merindukan kakakmu?"
Pertanyaan Akina dengan nada yang berbeda, membuat Masaki memandang bundanya khawatir.
"Bunda baik-baik saja?"
Akina menganggukan kepala dengan ekspresi yang berbeda. Masaki tahu bundanya sedang sedih.
"Harumi, meskipun dia tidak pernah dekat dengan bunda. Tapi bunda selalu tahu apa yang dia lakukan. Tapi sekarang-"
Kalimat itu tidak mampu Akina lanjutkan. Isakan tangisnya yang kini berlanjut. Selama ini dia belum bisa menjadi ibu yang baik untuk Harumi. Karena desakan keluarga Satoo, dia harus menjauhkan putrinya darinya. Dia selalu ingin memeluk Harumi. Melihat putrinya sedih dari jauh selalu membuat hatinya sakit.
Akina sering sekali mengunjungi asrama dan sekolah Harumi. Menatap putrinya dari jauh. Dia selalu ingin membawanya pulang. Tapi dia selalu tidak bisa, sampai pada akhirnya Harumi pulang. Akina sudah menyiapkan dirinya untuk memanjakan putrinya itu. Sayangnya, suaminya itu malah membuat Harumi pergi. Dan tidak ada yang tahu dimana tempat persembunyiannya sekarang.
Masaki memeluk bundanya. Bahkan dirinya juga ikut berkaca-kaca melihat bundanya seperti ini. Masaki tahu bundanya bukan perempuan lemah. Pemandangan bundanya menangis sangat langka dia lihat. Dan kini dia tahu, betapa bundanya mencintai Harumi. Kakak perempuan satu-satunya itu.
"Masaki akan menemukan kak Harumi. Bunda jangan sedih lagi."
***
Tidak pernah ada yang tahu mengapa Harumi kecil saat itu dipaksa keluar dari kediaman Satoo. Akina hanya bisa menahan tangisnya saat melihat Harumi dibawa menuju mobil itu. Begitu mobil itu menjauh pergi, lutut Akina seakan mencair. Membuat tubuhnya terjatuh dan tangisnya pecah.
Akina berdiri lalu berjalan dengan amarah yang sudah memuncak. Tujuan satu-satunya adalah ruang kerja suaminya. Begitu sampai diruangan itu, Akina segera membuka paksa pintu itu.
"DIA PUTRIMU. TEGA SEKALI KAU MEMBUANG PUTRIMU SEPERTI ITU."
Tsuyoshi mengalihkan pandangannya pada Akina yang kini mengamuk.
"Apa aku perlu mengingatkanmu tentang perselingkuhanmu dengan Nakamoto?"
To be continued
19 February 2019