Kepalanya mengalah menuju arah gravitasi, menatap kosong pada benda pipih yang baru saja dilempar penuh amarah oleh Papa. Dirinya bahkan tak peduli dengan perih yang tercipta saat benda bersudut itu sempat mengenai ekor mata. Rungunya turut mendadak berdengung, tak mencerna mengenai teriakan-teriakan yang dituju padanya, hingga tarikan pada kerah pakaian menarik atensi dirinya dari pandangan kosong.
"Pa!"
"JAWAB! SIALAN!"
Kana terlambat, Papanya sudah kepalang kecewa atas kesimpulan yang ia ambil sendiri; tanpa bertanya terlebih dahulu pada sang putri. Pria tua baya itu mana pernah mengambil tindakan kekerasan, kendati Papa angkatnya memang berwatak keras sejak dulu ditambah pekerjaannya yang mengabdi pada negara sebagai seorang perwira tinggi angkatan darat.
Bukan hanya Papa, Mama serta Ayara yang turut berada di dalam ruangan terlanjur melempar ringisan tatapan tak percaya. Mereka tahu bahwa Kana adalah wanita yang bebas—tidak senang dikekang serta memiliki jejaring pertemanan yang cukup luas. Hanya saja, mungkin sebab pergaulannya yang terlalu luas itu, membuatnya terjebak dalam kuburan yang ia gali sendiri.
"SIAPA, HAH?! SIAPA?!"
Bola matanya bahkan tak berani untuk sekadar membalas, hanya terpaku pada salah satu genggaman erat tangan Papa dengan urat nadi yang cukup mengetat. Dan lagi, ia bisa menemukan tungkai sang ibu yang berdiri tepat di belakang Papa. Wanita paruh baya itu memang ikut terlampau kecewa, tetapi tidak ingin membenarkan perilaku suaminya yang saat ini tengah membalut rasa kalut dengan amarah, hingga mungkin dirinya setengah tak sadar dengan apa yang baru saja dilakukan pada putri angkatnya.
Sedangkan Ayara, hanya berdiri di ambang pintu, melipat kedua tangannya di depan perut. Wanita itu berkali-kali mengembus napas tak percaya dengan segala perbuatan adiknya hingga puncak amarah Papanya tersulut.
Setelahnya, tarikan dari kerah pakaiannya terlepas, berganti dengan hempasan hingga Kana hampir tersungkur jatuh ke lantai. Mungkin sang ayah sudah sadar dengan perilakunya yang kelewat batas, tapi hal itu tidak mengurangi kekecewaannya atas bukti nyata yang ia dapatkan hari ini; yang menghancurkan dirinya sebagai orang tua, walaupun keduanya tak memiliki ikatan darah.
"Apa itu Javas? Di mana Javas sekarang?"
Papanya tidak lagi berkata kasar, tapi nada tegas membalut di setiap kata yang keluar; penuh penekanan serta intimidasi. Bahkan sampai saat ini Kana tidak berani mendongak, tetapi ia menjawab dengan gelengan; yang memiliki cabang arti, hingga kalimat akhir Papanya membuat hati Kana—sebagai seorang anak yang diasuh sejak dini—hancur lebur tak bersisa.
"Mulai saat ini, saya bukan Papamu lagi."
Dan lagi, Kana kembali jatuh ke masa lalu; penuh dengan kesendirian.
Semuanya kembali sunyi, tatkala Papanya tak lagi sudi untuk sekadar bertukar udara di ruangan yang sama, serta Mama yang memilih untuk membuntuti sang suami, terkecuali Ayara. Dia hanya bergerak, meminggirkan daksa saat Papa dan Mama melewati pintu, tidak turut serta menurunkan kedua tangannya di depan perut.
"Gue udah pernah bilang sebelumnya, kan? Javas itu brengsek. Apa dia tau tentang anak itu atau... mungkin bahkan dia sendiri yang nyuruh lo buat menggugurkan anak kalian?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]
General FictionSemua tak lagi sama, lebur seketika dalam satu kedipan mata. Demi mereka yang kusebut sebagai keluarga dan sahabat, aku rela mengoyak perih luka sendiri. ©astaghiri Sebagian cerita masih ada di wattpad, ya.