[15] Sensitive

1.3K 176 101
                                    

"Mau peluk."

Tuh, kan. Racauannya mulai ke mana-mana. Tapi, kalau Rayan dalam keadaan agak mabuk dan pesakitan kayak gini, Kana juga seringkali turut menanggapinya. Kadang, Kana mengorek rahasia-rahasianya saking kondisi Rayan saat sakit sangat mirip ketika pria itu mabuk karena alkohol.

"Nggak gratis. Bisa bayar berapa lo?"

"Gue kasih black card."

"Black-HAH?!" Kana menarik bahu Rayan, membuat pria itu meringis layaknya bayi kagetan. Tahu kan kalau bayi suka kagetan kalau ada suara yang mengganggu? "Nuyul di mana lo bisa sampe punya black card?!"

"Peyuk... huhuhu..."

Sebenarnya, saat ini merupakan kesempatannya untuk menguras harta Rayan! Hahahahaha!

Ya ampun, mama tiri sekaleh.

"Beneran black card, kan?"

Belum sempat menjawab, lengannya ditarik. Memang tidak terlalu kuat, namanya juga orang sakit. Tapi Kana sudah terbaring di sampingnya, menatap wajah Rayan yang terus saja meringis banyak keluh. Dirinya tak banyak bergerak tatkala justru si pria yang merangsek maju, menyelipkan salah satu lengannya menuju pinggang, menarik erat hingga membuat si empu tubuh harus berhati-hati agar janinnya tidak ikut merasa sesak.

Sayangnya, entah kenapa hal ini tidak membuatnya berdebar, bahkan ketika kepala yang menjadi pucuk paling panas itu sudah bertengger manis dalam ceruk lehernya; bernapas dalam ritme pelan dan mengembus hangat yang merupakan refleksi dari kondisi tubuhnya. Apa karena memang sudah terlalu biasa?

Ya, dia memang biasa meladeni sikap Rayan yang seperti ini, dulu.

"Black card-nya beneran, nggak?"

"Ada black card... Red card... Green card... Ambil aja..."

Wah! Sialan! Dia dikerjain!

Rasanya, pengin banget menempeleng kepala fitrahnya itu. Namun sayangnya, bahkan kedua tangannya terlanjur merapat di dada guna sedikit menghalangi eratan Rayan yang memeluknya. Tentu saja dia perlu bersikap defensif. Ini hanyalah bentuk dirinya sebagai sifat kemanusiaan, bukan karena hal lain.

"Peluk balik."

Kana berdecak. Makin banyak macam saja marmut satu ini. Wanita itu pun memilih diam dan tidak menanggapi racauan si pria.

"Peluk balik, Ay."

Hah? Apa dia bilang?

"Ay ... peluk balik ..."

Baiklah, tidak perlu disebutkan secara lengkap pun, Kana sudah tahu siapa yang sedang berada dalam alam baka—maksudnya alam batas sadar dan mimpi si pria yang dengan kurang ajarnya memeluk tanpa persetujuan darinya. Ya, dia memang tidak berdebar. Tapi, entah kenapa, rasanya tetap ngilu; semacam mencipta luka namun tak berdarah.

***

Rungunya terusik tatkala gaduh mengetuk gendang telinga dari arah luar ruangan. Walau nyatanya dingin tak lagi menusuk kulit, pening masih merajalela dalam kepala, membuatnya enggan beranjak dari ranjang hanya sekadar memenuhi lambungnya yang mulai merintih minta diisi. Tidak ada yang dapat diingatnya kecuali pulang dalam kondisi 5L serta mendapat cibiran khas sang istri. Setelahnya; black-out; tak sadarkan diri. Seperti mungkin terjadi suatu hal, namun sepertinya juga tidak mungkin mengingat dirinya terakhir hanya berlabuh di ranjang, dan kini juga masih di ranjang.

Tidak mungkin ada yang terjadi ketika hal terakhir dan hal saat ini berada di tempat yang sama, kan?

Kan?

Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang