Tensi amarah menguat, bahkan rasanya pendingin ruangan yang bertuliskan dua puluh derajat celsius itu tak memiliki fungsi tatkala asap tipis tak kasatmata melingkupi pori-pori setiap jengkal kulit; meronakan kemerahan penuh kesal. Ayara berhak marah, tentu saja. Semua ini perihal masa depannya bersama sang kekasih, namun semuanya mulai mengalami keretakan tatkala si pencetus amarahnya justru mengambil keputusan tanpa persetujuan wanita itu terlebih dahulu.
"Di mana otak kamu, Rayan? Pindah ke lutut? Atau pindah ke mata kaki?"
Semarah apa pun Ayara, Rayan akan memaklumi. Ini salahnya, tentu saja. Keputusan yang dirinya ambil memang akan dan sangat menyakiti banyak pihak; terutama Ayara, orang tua kekasihnya, bahkan juga dirinya sendiri. Namun, Rayan tidak bisa diam begitu saja tatkala seseorang yang sudah dirinya anggap seperti sedarah sekandung mengalami kemalangan tanpa ada seorang pun yang menyalurkan tangan pada wanita itu.Hal ini kembali mengingatkannya akan belasan tahun yang lalu saat Kana menjadi satu-satunya orang yang dapat mengembalikan kehidupan normalnya tatkala dua orang terkasihnya tiada dalam waktu yang bersamaan akibat kecelakaan.
Hutang. Rayan berhutang kebahagiaan pada wanita itu. Sang pria merasa harus membalasnya kali ini, kendati keputusan yang dirinya ambil turut menyakiti perasaan calon istrinya tersebut—ah, sebentar lagi akan berganti menjadi mantan calon istri, ya?"Dengerin aku dulu, hm?"
Mau seberusaha bagaimanapun, Ayara selalu menepis sentuhan Rayan untuk menghindari pemakluman yang mungkin harus dirinya terima setelah mendengar alasan logis dari bibir tipis sang kekasih.
Dirinya benci untuk mengakui. Kendati kebersamaannya dengan Rayan jauh lebih pendek dibandingkan pertemanan si adik tiri, Ayara cukup mengenal Rayan luar dan dalam. Dirinya sangat paham bahwa sekalinya pria itu mengambil keputusan, Rayan tidak akan pernah berjalan mundur. Sebab itu, Ayara sangat takut dengan pilihan yang akan dijalani Rayan selanjutnya, walaupun pria itu mungkin akan mengatakan alasan demi kebaikan keduanya yang mau tidak mau membuat Ayara harus menerima keputusan sepihak tersebut dengan tangan terbuka."Aku cuma akan bertanggung jawab untuk bayinya, Ay."
"Dengan dia ngegantiin posisi aku di altar?" sambar Ayara dengan skleranya yang tampak memerah, serta kilatan bening yang sempat Rayan tangkap dalam pandangannya. "Nggak waras kamu, Yan! Gila kamu! Udah diapain kamu sama dia sampai kamu ambil keputusan kayak gitu, hah?!"
Ayara tidak pernah sebenci ini dengan adik tirinya, sungguh. Kehadiran seorang asing di keluarganya memang sempat membuatnya terancam sebagai anak tunggal. Namun dirinya tidak bisa memungkiri bahwa semenjak Kana hadir dalam lingkaran keluarganya, Ayara tidak pernah merasakan sepi kembali, kendati wanita itu menyadari bahwa terdapat banyak perbedaan di antara keduanya; terutama keberanian Kana yang tanpa ragu menghajar salah satu anak tetangga akibat mendorong sang kakak tiri saat bersepeda di lapangan dekat rumah.
Bahkan walau Ayara diam tak mengambil langkah membela saat Kana dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tua si tetangga serta bahkan orang tuanya juga, Ayara tidak pernah menangkap aura kebencian dari si adik tiri."Cuma sembilan bulan, Ay, sembilan. Itu nggak lama..." Rayan masih berusaha untuk bernada lembut, karena dirinya tahu bahwa amarah tidak bisa dibalas dengan angkara juga. Sekali lagi, Rayan berusaha merengkuh Ayara, yang kali ini tidak ditolak mentah-mentah sang kekasih. Namun kali ini dirinya justru mendapati gemetar pilu dari daksa sang wanita. "Ay, kamu tau kan kalau aku cinta sama kamu? Dan itu nggak akan pernah berubah sedikit pun."
Rayan menghela napas cukup berat. Mendapati Ayara yang menangis benar-benar mengoyak jati dirinya sebagai seorang pria. "Tunggu aku sampai bayi itu lahir. Setelahnya, aku akan ceraikan Kana. Aku janji."
Ya. Setidaknya, dengan kalimat itu, Rayan bisa membuat Ayara untuk selalu menetap di sampingnya sampai waktu itu akan tiba.
***
K
etidakhadiran Ayara rupanya memperkeruh keadaan. Bahkan tak jarang para tamu bolak-balik membuka kembali lembar undangan elektronik yang sudah dikirim dua minggu lalu untuk melihat nama yang bersanding dengan Rayan. Dan nama itu tidak akan pernah berubah walau kini sang mempelai wanita yang berdiri di altar berbeda dengan si pemilik nama yang tertera di undangan.
Tidak hanya Ayara. Setelah pemberkatan, kedua orang tuanya bahkan pergi begitu saja. Hari bahagia ini tampaknya bertema suram, berbanding terbalik dengan dekorasi mewah yang menghiasi ruangan.
Kana hanya tersenyum seadanya, tidak memungkiri bahwa tatapan menusuk para tamu undangan ikut membelah otot betisnya untuk segera mangkir dari panggung altar. Pun Rayan tidak memiliki niatan untuk memperbaiki kecanggungan di antara keduanya yang bahkan tak pernah tercipta. Rasanya, detik waktu membunuh ribuan sel di tubuhnya.Acara yang sudah berakhir merupakan sebuah hadiah bagi Kana, sebab dirinya tidak harus kembali berpura-pura tersenyum untuk mengokohkan hati. Rayan yang terus saja membisu saat mobil melaju menuju hotel pun sempat membuatnya menciut, tak berani mengambil topik obrolan sederhana.
Sesampainya di hotel, Rayan langsung saja mengempaskan daksanya pada ranjang tanpa membuka tuksedonya terlebih dahulu. Seketika, dia membenci kelopak mawar merah yang bertebaran di lantai, seakan sedang mengejek dirinya. Pun Kana hanya duduk di meja rias, masih dengan gaun yang memeluk ketat daksanya. Kana benci kecanggungan ini, seakan kebersamaan selama lebih dari dua dekade di antara keduanya menguap begitu saja."Bisa minta tolong?"
Kana dapat melihat bahwa Rayan hanya meliriknya lewat pantulan cermin. Gaun ketatnya ini sangat mengganggu pernapasan serta alat cernanya, hingga membuat dirinya turut kesulitan berjalan. Tanpa perlu mengatakan apa yang wanita itu butuhkan, Rayan pun berjalan menghampiri, membuka satu persatu kancing gaun yang terletak di punggung, hingga Kana harus menahan napas tatkala wanita itu merasakan jemari tangan hangat Rayan tak sengaja menyentuh kulit punggungnya.
"Lo mandi duluan."
Setelahnya, Rayan kembali mengempaskan diri di ranjang. Pikirannya sedang kalut, sungguh. Ayara tidak bisa dihubungi sejak kemarin, bahkan sejak tiga hari yang lalu dirinya sudah tidak lagi bertemu dengan wanita itu. Kedua orang tuanya pun tidak tahu ke mana perginya si anak sulung tersebut. Hingga hari pernikahannya pun tiba, Ayara juga tidak menampakkan batang hidungnya.
Dan itulah yang membuatnya uring-uringan seharian.
Seandainya semua memiliki jalan keluar yang mudah, yang tidak akan menyakiti pihak mana pun, tapi rasanya cukup sulit. Mungkin, Ayara butuh waktu untuk sendiri, butuh untuk menjernihkan pikirannya akibat keputusan gila dari Rayan. Pria itu seharusnya memaklumi, bahwasanya ia juga memiliki andil terhadap kepergian Ayara yang cukup mendadak.
Tak ayal dengan suara gemericik air di balik pintu kamar mandi yang bahkan terdengar begitu deras, Kana hanya bisa melamun, namun dirinya bosan untuk kembali menangis. Titik-titik aliran dingin yang menusuk kulit punggungnya sempat mengalihkan diri dari rasa sakit hati yang dirinya terima akhir-akhir ini. Kana bahkan tidak peduli jika akan terkena flu esok pagi, dengan kondisi udara malam yang mungkin turut serta menurunkan sistem imunnya.
Rayan.
Pria itu berubah, mungkin. Segalanya seperti memiliki sebuah tombol reset tatkala sahabatnya itu mengucap janji di depan altar dengan nada datar, bahkan lidahnya sempat terseok ingin mengucap nama Ayara.
Tidak ada lagi persahabatan, pikirnya. Semua menghilang dalam satu malam. Dirinya harus menerima realitas bahwasanya sang sahabat memiliki kemungkinan untuk semakin memperluas luka hatinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]
General FictionSemua tak lagi sama, lebur seketika dalam satu kedipan mata. Demi mereka yang kusebut sebagai keluarga dan sahabat, aku rela mengoyak perih luka sendiri. ©astaghiri Sebagian cerita masih ada di wattpad, ya.