"Gue berhak bahagia kan, Yan?"
Tidak peduli dengan kebisuan Rayan, Kana mengambil alih senyap redup dalam untaian pertanyaan yang sejujurnya sangat mengusik pria itu untuk segera merotasikan tubuh. Ada perasaan muak saat Rayan mendengar pertanyaan tersebut. Bukan karena untaian kalimatnya, namun pada intonasi vokal yang terdengar seperti mengejek; seakan segala pengorbanan yang sudah Rayan lakukan sampai detik ini hanya dianggap sebelah mata oleh wanita tersebut.
"Gue mau minta satu hal lagi," Kana mengembus udara yang sempat terikat dalam paru-parunya, seakan turut mengeluarkan beban hidup yang dirinya timpa beberapa hari terakhir ini. "Nggak usah cari-cari dia. Dia udah mati. Mau dicari ke mana pun, nggak akan ketemu."
Rayan sangat paham konteks subjek yang dimaksud oleh Kana, dan dirinya langsung mengepal geram tatkala mendapati permintaan serta pernyataan yang terdengar ambigu itu. Pengorbanan yang dirinya lakukan tidak hanya untuk menyelamatkan harga diri seorang Kana, tapi turut serta ingin melacak keberadaan Si Brengsek yang bahkan sudah sekian lama tak pernah dirinya jumpai lagi.
Mungkin, Rayan memang baru menyadari bahwasanya sang sahabat mengalami perubahan tak kasat mata semenjak menjalin kasih dengan Javas. Entahlah, Rayan bisa merasakannya. Jalinan persahabatan di antara keduanya yang bahkan hampir mencapai dua dekade tidak bisa membohongi mengenai apa yang ia rasakan terkait dengan Kana kendati dalam bulan-bulan terakhir Rayan disibukkan dengan segala macam perintilan pernikahannya, sedikit juga tak sengaja mengabaikan presensi Kana yang nyatanya wanita itu turut mengambil langkah mundur untuk menghilang dari pandangannya.
Javas benar-benar pandai mencuci otak perempuan rupanya.
Lantas, pria itu mati? Pria itu bisa mati?
Rayan tidak akan percaya begitu saja. Dia pikir, buat apa mengorbankan perasaan Ayara hanya untuk menikahi Kana kalau tidak melacak keberadaan Si Brengsek lewat wanita itu sendiri? Rayan yakin, Javas masih hidup, dan Kana sengaja menutup-nutupinya dengan omong kosong bahwa kekasihnya itu telah tiada.
Mungkin memang benar tiada; tiada di hatinya. Hati wanita itu mungkin sudah mati akan presensi seorang Javas.
Punggungnya diberanjakkan dari ranjang, menarik atensi pada Kana yang masih asyik memandangi langit kamar. "Tolong jangan memperumit ini semua. Walau pada akhirnya lo benci sama Javas, kenapa lo bisa berbuat jauh sama dia? Otak waras lo lagi di mana waktu itu, Kana?"
Ouh. Walaupun tidak menggunakan intonasi yang tinggi dalam ucapannya, kalimat tersebut baru saja menghunus ulu hati Kana; menyisakan perih yang bahkan tak menciptakan luka berbentuk fisik.
Keduanya sama-sama menganggap memiliki perubahan signifikan, yang kali ini tampak tak sehat dalam jalinan persahabatan. Entah siapa yang lebih dulu memulai, namun mereka berdua tampaknya juga membenci kondisi saat ini.
Sempat ditarik dalam kubangan senyap, kekehan Kana mengudara, menertawakan garam yang beberapa detik lalu dilempar oleh Rayan pada luka basahnya. Lantas, siapa yang antagonis di sini?
"Gue memperumit semuanya? Maaf, apa gue lagi salah denger?" Kana menoleh dengan pandangan mengejek, mendapati raut geram pada pria bersurai kelam itu. "Gue nggak pernah maksa lo buat nikahin gue, Rayan. Apa gue sampai memohon-mohon sama lo? Kayaknya enggak, deh."
Serangan dari Kana benar-benar membuatnya ingin menerjang bibir itu. Bukan dengan bibirnya, namun dengan kepalan tangannya yang untung saja dirinya sadar diri bila Kana masihlah seorang wanita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]
Fiksi UmumSemua tak lagi sama, lebur seketika dalam satu kedipan mata. Demi mereka yang kusebut sebagai keluarga dan sahabat, aku rela mengoyak perih luka sendiri. ©astaghiri Sebagian cerita masih ada di wattpad, ya.