Keheningan menusuk pori-pori epidermis, membuat segalanya tampak canggung tatkala pada akhirnya Kana harus mengenalkan Rayan sebagai suaminya pada Wisnu. Yang lebih menyebalkan lagi, Rayan berlalu begitu saja tanpa mengucap tujuan kepergiannya.
Kana juga berharap bila segala barang belanjaan yang dibawa oleh Wisnu digeletakkan begitu saja di depan pintu apartemen. Namun, pria itu malah membuntuti dirinya untuk masuk ke dalam, bahkan turut menyambangi dapur dan meletakkan plastik-plastik tersebut di meja pantri.
Ini bukan perihal selingkuh-menyelingkuhi, atau tutup-menutupi. Kana hanya merasa tidak nyaman saja, apalagi dirinya memang harus sadar diri bila sudah memiliki ikatan suci dengan orang lain, yang mengharuskan dirinya untuk membatasi diri akan pergaulan, terutama dengan kaum pria.
Tapi, sepertinya untuk tipe manusia macam Wisnu akan sulit untuk masuk ke dalam daftar hitamnya.
“Itu beneran suami kamu?”
Pada akhirnya, Wisnu mengajukan pertanyaan yang sempat terduga dalam benak wanita itu. Lagipula, siapa yang tidak curiga? Siapa suami yang memperbolehkan seorang pria masuk ke dalam teritorialnya? Rayan malah pergi begitu saja saat Kana memperkenalkan Wisnu sebagai temannya.
Oh, dia sempat mengatakan sesuatu, yang sangat singkat.
“Oh, ya udah.”
Setelah itu Rayan pergi meninggalkan keheranan dalam benak Wisnu serta kegelisahan pada diri Kana.
“Ya masa peliharaan sih, Nu? Bentukannya kan manusia, bukan hewan.”
Kana jadi ingat seseorang yang memiliki sarkasme tingkat tinggi apabila perihal kata-mengatai.
Nada bercanda Kana tidak tertangkap oleh radar Wisnu. Pria itu masih terus saja memerhatikan wanita di sampingnya yang sedang menyibukkan diri mengeluarkan barang-barang belanjaan dari dalam plastik.
“Kamu nggak pakai cincin, dan aku juga nggak lihat suami kamu pakai cincin.”
Kana tak bisa menjawab. Setelah sekian lama tak berjumpa, hal pertama yang pria itu perhatikan adalah jari manis sinistra atau pun dekstra si lawan jenis, yang menandakan kepemilikan orang lain. Wajar saja kan ingin berharap lebih bila benda sakral itu tidak tersemat pada jari manis?
“Kenapa nggak ngundang aku?”
“Emangnya kamu mau dateng?”
Bola mata Wisnu sempat berotasi, seperti perlu memikirkan dua kali untuk mengambil keputusan apabila dirinya diundang ke pernikahan sang mantan, apalagi mantan satu-satunya.
Satu-satunya yang paling tersayang.
Yang sayangnya memang cuma satu.
“Tergantung, sayangnya aku nggak ikhlas.”
“Hm? Apa?”
“Nggak,” tepis Wisnu langsung, lalu memasukkan kedua tangannya di saku celana.
Wisnu meloloskan pikiran, dia butuh menerka apa yang baru saja menimpanya barusan. Memborbardir beribu pertanyaan untuk Kana saat ini sepertinya kurang tepat, terutama untuk hatinya. Lagipula, semuanya serba mendadak. Dirinya tidak siap menerima segala informasi walau terkaan jauh lebih menyakitkan dari kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]
General FictionSemua tak lagi sama, lebur seketika dalam satu kedipan mata. Demi mereka yang kusebut sebagai keluarga dan sahabat, aku rela mengoyak perih luka sendiri. ©astaghiri Sebagian cerita masih ada di wattpad, ya.