Bersenandung kecil sebagai iringan tiap pergerakan, agaknya Kana lebih menyukai untuk membiarkan helaian lembab rambutnya mengering sendiri, sebab ia bergegas untuk melakukan ritual pagi yang biasa dilakoni di rumah, apalagi ini masakan perdana yang ia buat untuk mereka berdua. Lekuk senyumnya pagi ini bertambah beberapa derajat tatkala mendapati Rayan sudah menampakkan diri di apartemen, mengisyaratkan bahwa pria itu masih memiliki empati padanya, walau sedikit.
Namun, sejujurnya, dia tak sedang berharap lebih. Agaknya, ia membiarkan semua berjalan sesuai alur, tanpa mau menginterupsi takdir yang mestinya dapat diubah menjadi lebih baik.
Didapati masih terduduk di sofa depan televisi, wanita itu mengambil langkah menghampiri, yang justru dibalas dengan lengosan tatap ke antah berantah. Si pemilik lidah bahkan terlalu gatal untuk bertanya perihal kepergiannya semalam, yang berusaha untuk dirinya simpan dan terus menampakkan ketidakpedulian. Memangnya, ingin mengharapkan jawaban seperti apa? Pergi ke gereja, begitu?
Cih. Alim sekali bagi seorang Rayan.
"Sarapan, yuk? Baru banget mateng lauk sama nasinya," ajak Kana.
Tanpa mengindahkan pinta sederhana itu, Rayan bahkan sama sekali mengalihkan atensi, hanya bergerak untuk merogoh saku celana, mengeluarkan dompet hitam miliknya yang lalu sebuah kartu tak luput terambil dalam selipan jari. Dirinya sedikit sengaja melempar barang tipis tersebut ke meja, mencipta kerut kening keheranan sekaligus mempertanyakan kesopanan pria di hadapannya.
"Gue kasih kartu itu bukan berarti lo bisa belanja sepuasnya. Beli yang perlu aja, gue akan tetap ngawasin lo."
"Sarapannya?"
Sesederhana itu; keinginannya.
"Gue mau keluar kota, dua minggu, urusan bisnis." Pergerakannya terpatri dalam netra, mengisyaratkan tak mengindahkan ajakan dari istrinya, yang kini masih menaruh harap pada cipta olahan di meja dengan kabut asap yang mulai menipis; mendingin. Dan semakin meyakinkan diri bahwa suaminya itu ingin segera bergegas kembali meninggalkan tempat. "Baik-baik di apartemen."
Belum sempat membalas, pun daksa dengan tinggi yang melebihi belasan senti darinya itu melengos begitu saja, melajukan langkah menuju pintu apartemen, kembali tak menghiraukan ajakan Kana yang terus saja membeo.
"Maaf, tapi gue kenyang."
Selanjutnya, pintu itu tertutup, mendebumkan kesabaran yang untungnya masih dimiliki oleh si wanita. Agaknya, membuat suasana menggembirakannya menurun hingga derajat minus.
Setelahnya, dia memilih membalikkan tubuh, beranjak menjauh dari pintu, lalu berdecih pelan, mengejek kebodohan Rayan akan kebohongannya.
"Dua minggu? Urusan bisnis? Kalau mau jalan-jalan sama Ayara mah tinggal bilang, pasti juga gue izinin." Dalam senandung kesalnya, Kana terkekeh pelan. "Si goblok emang, kalau bohong yang pinteran dikit kenapa."
***
Kegiatannya dalam membaca terusik. Deringan bel yang melewati rungu membuat Kana harus merelakan melipat halaman terakhir yang telah dibaca olehnya, sebab buku yang ia ambil dari rak perpustakaan mini milik Rayan tak memiliki pembatas buku. Dibawanya daksa yang sedari tadi melekat pada sofa, berjalan malas menuju interkom yang kini menampakkan rupawan seorang pujangga di pagi hari.
Ugh.
Kana tahu sekali bahwa Wisnu pasti belum membersihkan diri, tapi sialnya pria itu masih bisa terpandang apik dalam penglihatannya.
Orang ganteng mah, bebas.
Memilih untuk mengabaikan interkom di saat Wisnu terus saja mendekatkan wajah di depan kamera, Kana melangkah untuk menghampiri pintu utama, bersua dengan Wisnu yang langsung melebarkan garis senyumnya saat pemilik apartemen telah membukakan pintu.
"Ada apa, Nu?"
"Nih."
Boks berwarna oranye itu kini berpindah tangan, mengerutkan kening si penerima. Setelahnya, si pemberi justru memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, seakan enggan untuk menerima kembali apabila Kana menolak pemberiannya.
"Dari Bang Emil, semalem aku lupa ngasih, hehe."
Wisnu dengan kekehannya yang tampak bodoh itu memang terlihat menggemaskan.
Kana mengangguk. "Mereka masih di apartemen kamu?"
"Udah aku usir, males jadi laler diantara mereka," Wisnu membuat pergerakan memutar pada bola matanya.
"Ya makanya, cari laler lain, biar kalian jadi pasangan."
Wisnu berdecak. "Lucu kamu."
"Ketawa dong."
"Ha. Ha." Terkadang, Wisnu memang menyebalkan. "Ngomong-ngomong, baunya enak nih," si pria itu terus saja mengendus-endus harum rempah yang menggoda olfaktorinya ketika pintu apartemen Kana terbuka. "Habis masak?"
"Hm. Mau mampir?"
Kana pikir, daripada makanannya terbuang percuma, lebih baik dia mengundang tamu lain untuk menghabiskan makannya.
"Yah, boleh deh, kalau kamu maksa," si Mbul itu mengedikkan bahunya, lalu beranjak masuk setelah Kana menggeser tubuhnya dari pintu.
"Hm, tolong, aku nawarin, bukan maksa."
Selanjutnya, kekehan selembut madu mengalun dalam rungunya, mengayunkan tangan untuk menutup pintu dan selanjutnya melangkah menuju dapur yang menyatu dengan pantri.
"Rezeki mah nggak boleh ditolak, ntar dipatok ayam."
Capricorn dengan jenis manusianya memang selalu terlihat aneh. Kana telah merasakannya saat berpacaran dengan Wisnu, dulu. Dan untungnya dia sudah terbiasa, jadi apa pun yang sedang dilakukan oleh pria Capricorn itu selalu dianggap wajar baginya.
Karena mereka memang begitu.
"Iya, iya. Ini, makan."
"Ih, nasinya kebanyakan." Wisnu merengut, menatap gunungan nasi yang terpampang dalam piringnya. "Tambahin lagi dong, dua centong, hehe."
Kana berdecak. "Habisin yang itu dulu, nanti baru nambah," omelnya bak seorang ibu.
"Iya, Bunda."
"Ewh."
Entah kenapa Kana merasa geli saat mendengarnya.
"Lah, nanti kan kamu jadi Bunda, seorang ibu. Suatu saat kamu bakalan dipanggil Bunda, Ibu, Mama, atau Mami sama anak kamu." Sejemang, Kana membisu. Ucapan Wisnu barusan benar-benar mengetuk pemikiran si wanita yang kini sedang kosong. Dan sepertinya, Wisnu menyadari hal itu. "Ngomong-ngomong, nanti aku nggak dilabrak sama suami kamu, kan? Kok nggak keliatan orangnya?"
"Kalau keliatan, emangnya kenapa?"
"Nanti aku bakalan bilang kalau kamu yang ajak aku mampir buat sarapan, hehehe."
"Heeee lambe dasar!"
Wisnu semakin terkikik. Walaupun begitu, candaannya membuat suasana kembali membaik. Wisnu tahu, bahwa kini suami Kana sudah tak berada di apartemen. Lagipula, mana mungkin Kana mengajaknya untuk sarapan apabila suaminya masih bercokol di apartemen?
"Oh, ya," dengan mulutnya yang penuh, Wisnu masih saja terus mengajak obrol Kana, yang entah kenapa wanita itu sama sekali tidak terganggu. Tapi, ada satu hal yang sejujurnya sangat mengganggu Kana saat mereka sedang makan bersama, yang untungnya Wisnu sudah merubah kebiasaan buruknya dulu, yaitu mengecap. Yah, walaupun sekarang kebiasannya itu sudah menghilang, dia tetap mengisi kekosongan mengunyah dengan obrolan. "Kamu disalamin sama Kak Nami dan Bang Emil. Katanya, kapan-kapan kamu harus main ke rumah mereka. Aku udah punya keponakan, tau."
"Heh? Kak Nami udah punya anak?"
Mereka memang sedekat itu, hingga keluarga Wisnu pun juga ikut mengenali Kana dan turut dianggap sebagai anak mereka. Bahkan terkadang mereka terlihat pilih kasih, dan menganggap Wisnu sebagai tiri dari keluarga.
"Makanya, kamu tuh kalau ngilang jangan lama-lama, sampe nggak tau kan kalau aku udah berubah dan punya dua keponakan."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]
General FictionSemua tak lagi sama, lebur seketika dalam satu kedipan mata. Demi mereka yang kusebut sebagai keluarga dan sahabat, aku rela mengoyak perih luka sendiri. ©astaghiri Sebagian cerita masih ada di wattpad, ya.