[16] Strike!

1.2K 154 58
                                    

Lagi, dirinya terusik untuk mengembalikan kesadaran dari ambang mimpi akibat wewangian semerbak bumbu dapur yang menyentuh olfaktori, menghantar impuls menuju usus untuk mengeluarkan bising pertanda kosong, meminta untuk disambangi makanan. Kali ini, bahkan selimut yang membalut dirasa mencipta terlalu banyak bulir keringat pada tiap pori, hingga dalam beberapa kali tendangan, benda tersebut tersingkirkan seutuhnya ke sisi ranjang.

Kini, dirinya bahkan baru menyadari tak ada lagi pening yang menyambut ketika terbangun. Oh, ingatkan dirinya untuk bersikap selayaknya manusia yang patut berterima kasih namun kata itu hanya terus menyangkut dalam niat.

Ke siapa lagi kalau bukan karena keberadaan sang istri yang seharusnya patut ia syukuri?

Sang kekasih bahkan tidak sedang bisa menjadi pilihan karena dua insan itu nyatanya masih menyimpan angkara, terutama dari pihak wanita. Selanjutnya, bahkan sampai saat ini dirinya tak peduli dengan ponsel yang mungkin sudah tak memiliki daya hidup, membuat dirinya yakin bahwa wanitanya tak akan menaruh rasa kasihan mengingat tengkar mulut di akhir pertemuan mereka.

Oh, ingatkan lagi untuk berperan menjadi lelaki yang selalu menyimpan kata maaf yang harus dilontarkan; berfungsi sebagai bentuk mengalah diri mengingat motto lelaki selalu salah di mata perempuan.

Tapi, dirinya belum memiliki niat untuk bercecap maaf; untuk saat ini dan mungkin beberapa saat kemudian. Takut pusing, lagi, keluhnya dalam hati. Mungkin tubuh serta pikirannya masih membutuhkan rehat hingga mencapai petang, barulah beraksi untuk merujuk. Malas juga berlama-lama menjalin angkara, apalagi sebenarnya bukan dirinya yang memicu.

Lagi-lagi, lelaki selalu salah.

Sejenak, pria itu melamun, sembari terduduk dan menatap mengawang di segala arah. Puas memandangi kekosongan, pun pria itu beranjak menuju kamar mandi, cukup membersihkan wajah dari peluh serta menyikat gigi. Setelahnya, Rayan keluar dari ruangan dan berpendar pandang tepat pada daerah pantri, di mana sang wanita menyibukkan diri dengan dua hal; yaitu sarapan serta notebook. Mungkin wanita itu terlalu serius dengan pekerjaannya melihat kacamata bulat yang bertengger pada pucuk hidungnya hampir terjatuh atau kondisi isi piringnya yang hanya terjamah beberapa suapan karena terlalu sibuk mengetik.

Kana belum memberitahu kalau dirinya bekerja lagi.

Tapi, apa memang perlu dirinya diberitahu?

Hak atau kewajiban, memangnya? Apa disebut perlu?

"Breakfast, Bro," sapanya pendek tanpa menoleh atau bahkan melirik.

Barangkali nasi goreng bahkan terus saja menjadi subjek yang tertelantarkan, dirinya masih sempat menyadari keberadaan daksa pria lewat sudut matanya saat terlalu fokus pada layar notebook. Pandangannya pun masih fokus pada apa yang sedang dikerjakannya tersebut.

Kalau lapar, tentu saja ia masa bodoh dengan tingkah malunya. Lagi pula, nasi goreng di meja benar-benar mengetuk lambungnya saat ini. Jika memesan makanan di luar lewat aplikasi pun, pasti perlu menunggu lama. Jadi, daripada semakin menyiksa diri dengan menahan lapar, duduklah gluteus itu pada singgasananya dan mengambil sisa yang ada di meja.

Dirinya masih terdiam, padahal tak memiliki kesibukan selain mengunyah, apalagi memainkan gawai. Ponselnya saja dia lupa ditaruh di mana. Si wanita pun juga begitu, tak terlalu memusingkan enol konversasi yang tercipta di antara mereka berdua. Lagi pula, dirinya juga sedang tidak memiliki mood untuk memperbaiki suasana.

Enak. Selalu enak. Lidah pria itu tak bisa berbohong, tapi mulutnya selalu terkunci. Banci sekali dirinya.

"Udah enakan?"

Yah, malah wainta itu yang memulai. Dasar penjilat ludah.

"Enak."

"Hm?" Kana sempat bingung dengan jawaban itu. Si lawan pun malah gelagapan sendiri, baru menyadari dengan ketololan jawaban yang ia beri. Fokusnya sedang terpecah saat ini.

"Udah," balasnya lagi, mencoba bersikap sedatar aspal. Mulutnya itu memang keceplosan menilai masakan yang dari dulu selalu enak. Biasa, alam bawah sadarnya mungkin tadi sedang ingin memunculkan diri.

"Baguslah kalau begitu," wanita itu mengangguk sekilas, kemudian memasukkan sesuap nasi yang dikunyah begitu lama, barang satu kali tiap satu ketik, membuat manusia di depannya berdesah kesal.

"Makan dulu, baru ngetik lagi. Nggak inget punya nyawa lain di perut?"

Jemarinya sukses berhenti di atas papan ketik. Bilamana kepalanya tak menoleh, namun bola matanya terarah pada pria yang juga sedang menyalang tatap menuju dirinya.

"Gue pikir lo nggak inget kalau gue lagi hamil."

Sarkas, sih; sangat. Ngilu juga saat mendengarnya. Memangnya, Rayan terlihat tidak sepeduli itu dengannya, ya?

Perlu diberi tamparan berapa kali kau Bung Rayan agar otakmu tergeser dan mengingat segala perbuatanmu sebelumnya?

Jadi, siapa yang jahat dalam cerita ini? Sudah bisa menentukan?

Dia kalah lagi, Bung.

Ayo coba lagi, baku hantam dengan mulutnya. Kali saja menang.

"Gue nikahin lo ya karena alasan itu. Kenapa harus lupa?"

Strike! Satu banding satu. Mereka memiliki skor yang sama untuk babak pertama.

"Sesibuk apa pun elo, jangan lupa, ada nyawa yang harus lo pelihara."

Tuyul kali ah, pelihara. Diksimu kasar sekali, Rayan.

Strike lagi si pria, jadi dua banding satu.

Si wanita melepas kacamatanya, ditaruh di sisi meja. Salah satu tangannya menyangga dagu, menatap penuh ejek.

"Apa perlu gue bawa Mbul ke sini, ya? Biasanya kalau ada dia, gue jadi nafsu makan. Boleh?" pintanya dengan pelan.

"Mbul?" Alis mata yang tertarik ke atas salah satunya itu pertanda kesimpulan menanyakan subjek yang sedang dituju. "Apaan tuh? Kucing?"

Si lawan yang berada di hadapannya itu pun melirik sinis, lalu menyuap kembali satu sendok ke dalam mulut. "Tetangga depan."

Strike! Oh, strike!

Dua sama sekarang, melihat sudut matanya berkedut begitu saja, atau karena tangan yang berada di bawah meja mengepal tanpa diminta.

Oh, yeah, ternyata dua manusia itu memiliki perkembangan sejauh ini? Di belakangnya?

"Bawalah ke sini, kenalin ke gue. Jangan main di belakang terus," balasnya penuh tarik senyum sudut bibir, menelan satu poin kemenangan yang dihitung sendiri olehnya.

Si wanita terdiam sejenak, menyiapkan strike selanjutnya untuk mendebat kalah lawan di depannya. "Jangan, deh. Nanti lo minder. Dia ganteng banget soalnya, berisi pula; otot maksudnya. Enak buat dipeluk."

Ooooooooooooooouh bloody hell! Sialan sekali mulut perempuan ini. Terbit senyum dalam wajah itu pun menunjukkan kemenangan telak baginya.

Masih mau dibalas lagi, Bung Rayan?

Tunggu.

Tunggu sejenak.

Perihal peluk, mengapa baru teringat bilamana sang kekasih terasa memeluknya saat ia sedang sakit kemarin? Mengapa terasa begitu nyata? Atau, hanya mimpinya saja?

Ia ingin bertanya, tapi takut mendapatkan jawaban yang tidak ingin didengar rungunya.

Banci sekali kau, Bung Rayan.

Tapi, anggap saja, itu memang mimpi. Toh mereka saja bahkan sudah terputus komunikasi sejak pertemuan terakhir kali. Kenapa harus terlalu dipikirkan?

Ya. Buat saja spekulasi-spekulasi dalam otakmu, Rayan. Karena, lawanmu saja malas membuka mulut perihal black-out yang sering menimpa dirimu.

***

Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang