[8] Disclosed

1.7K 196 23
                                    

Otot abdomennya perih, terasa sedikit kaku akibat berbelas-belas menit melepas tawa hingga sudut mata ikut berair, tak ayal membuat jemari ikut bekerja untuk menghilangkan kristal bening yang sejujurnya terproduksi bukan karena pilu sedih, melainkan sebab tak kuat saat mendengar celoteh canda sang mantan kekasih yang sedikit banyak membuat dirinya menyisihkan sementara kisah terpuruknya.

Pertemuannya kembali dengan Wisnu saat ini membuatnya bersyukur, bahwa mungkin masih ada setidaknya sesosok manusia yang belum mengetahui rentetan kisahnya serta dapat membuatnya masih bisa merasakan sedikit kebahagiaan barang setitik. Kendati pria itu masih belum tahu, entah Kana sendiri yang akan menceritakannya atau mungkin sang pria mendengar bisik dari luar sana, Kana berharap; Wisnu dapat mengisi lembar abu-abunya agar sedikit lebih berwarna, walau terdapat persen kemungkinan pria itu akan menjauh seperti yang lainnya.

Cepat atau lambat, Kana kembali akan merasakan kehilangan lagi, kan?

Tapi, siapa yang tahu?

“Duh, sampai terharu gitu, aku jadi tersanjung.” Wisnu tersenyum lebar, tampak apik ditambah deretan giginya di antara dua labium menggoda itu; terlihat sangat manis. Jujur, dia amat senang bertemu lagi dengan Kana setelah sekian lama.

Takdir sepertinya sedang berpihak pada wanita itu, kendati mungkin hanya bersifat sementara, sebab segalanya tampak semakin melegakan saat mengetahui bahwa dirinya dan Wisnu tinggal di gedung apartemen yang sama. Setidaknya, dia tidak akan sendirian selama Rayan yang bahkan enggan untuk berada dalam satu frekuensi deru oksigenasi dengannya. Tidak ada salahnya kan bercengkrama kembali dengan sang mantan? Apalagi pelukannya masih tampak terbuka lebar, walau si wanita masih memiliki sadar diri bahwa statusnya kini sudah tidak sendiri lagi. Kana masih memasang batas itu, walau tak tampak.

Dia hanya ingin menghargai nama Rayan saja, kendati bahkan pria itu tampaknya sudah tidak lagi menaruh rasa peduli padanya.

Tapi, untuk saat ini, Kana hanya ingin membisu akan statusnya, kecuali pria itu sendiri yang melihat atau bertanya. Lagipula, itu bukan kategori menyembunyikan. Toh, Kana hanya mengikuti Rayan yang enggan menggunakan cincin pernikahan mereka.

“Kerja di mana kamu sekarang?”

Saatnya bertanya serius, sebab sedari tadi pria itu bahkan tiada hentinya berjenaka, yang membuat perut Kana masih terasa kaku sampai saat ini.

“Di penerbitan. Kantornya nggak jauh dari sini, kok. Kamu?”

Wisnu menyesap cokelat hangatnya, yang masih dihapali otak Kana bahwasanya pria itu memang tidak menyukai minuman yang pahit, semacam kopi. Berbanding terbalik dengan Rayan yang selalu membutuhkan dopping itu setiap pagi, yang sejujurnya cukup membuat Kana kerepotan bila asam lambung pria itu kembali naik hingga harus dirawat inap di rumah sakit. Ayara terlalu sibuk hingga tak bisa menemani kekasihnya sendiri. Apalagi Rayan tipe yang cerewet dan tak suka sendirian.

Yah, itu sih berbulan-bulan lalu. Kenapa mesti diungkit?

Dan kenapa harus membanding-bandingkan mereka berdua?

“Baru banget resign, bosen, kerjaannya monoton.”

Tipu sekali mulutmu, Kana. Kalau saja tidak ada tambahan satu nyawa dalam raganya, bahkan Kana tidak akan rela untuk melepas pekerjaannya yang sangat dicintai itu. Mau bagaimana pun, suatu saat, perutnya akan membesar, yang mau tidak mau dirinya memang harus hengkang dari perusahaan yang memiliki peraturan untuk memiliki suami atau istri saja tidak diperbolehkan.

Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang