[17] Feel so Guilty

1.2K 146 57
                                    

Menjelang petang, bahkan saat detik belum mencapai pertengahan waktu, langit sudah memuramkan diri dengan mengirim rintik air yang membasahi kota. Tak secuil pun keinginan untuk sekadar keluar dari unit apartemen sejenak, bahkan untuk membentang lepas selimut yang membalut daksa pun enggan; tatkala petir dengan kilatan yang memburu terus saja bergemuruh di langit, membias julur pada ruangannya yang sebelumnya bahkan tirai sudah ia tarik untuk menghalau pandangan dari luar. Sepertinya Tuhan memang sedang kesal saat ini.

Bagi orang lain, mungkin ini berlebihan. Namun, trauma itu selalu membekas walau lukanya sudah mengering. Pria itu memang memiliki memori buruk mengenai hujan terutama bila petir dan kilat menyambar saling bertengkar di langit.

Siapapun pasti memiliki trauma, kan? Terdapat gerakan tubuh di luar kemauan untuk melindungi diri dan segera menjauh, walau nyatanya objek traumatis tersebut tak membahayakan.

Seperti trauma mantan, misalnya? Pasti langsung menjauh-jauh bila bertemu pandang. Semacam reflektivitas untuk tidak berada dalam jangkauan mata bila tak sengaja bertemu walau hanya sehelai surai saja.

Berlebihan, sih, tapi banyak yang begitu, kan?

Mengaku, hm, wahai manusia.

Lagi, saat pemikirannya penuh dengan kecemasan serta hal-hal buruk yang bahkan tidak mungkin terjadi di dalam unit apartemen, dirinya menghirup aroma menggugah dalam olfaktori; selalu saja seperti itu jika berada di unit apartemen; yang setelahnya membuat Rayan langsung membentang lepas selimut untuk memastikan kebenaran dari olfaktorinya sendiri.

Oh, penghidunya memang tidak berkhianat.

Lapor, Bos! Ada yang masak mie!

Siapa lagi kalau bukan si wanita yang hidup satu apartemen dengannya itu?

Kedua ekstremitas bawahnya otomatis turun dari ranjang, melaju untuk keluar dari ruangan dan mencari pelaku utama penyebar aroma-aroma pemikat olfaktori serta gastrik.

"HEH!!!"

"ANJYONGHASEYO LO YAAA!"

Yang dihardik justru lebih galak, hampir saja mengumpat untuk mengeluarkan kata-kata binatang yang tak memiliki dosa, mengingat-ngingat bahwa dirinya juga sedang memiliki nyawa lain dalam daksa, sehingga mengharuskan diri untuk bertutur baik agar tertular pada keturunannya.

"Bisa nggak sih? Nggak usah teriak-teriak? Lo kira hutan? Hah?"

Padahal, dirinya juga berteriak. Cermin mana cermin?

Wanita itu melempar petasan dari sorot matanya, menyatakan netra tak senang dengan kehadiran Rayan yang sangat tiba-tiba. Padahal, dirinya sejak pagi tak ada sedikit pun mengganggu pria itu, berusaha mengajak obrol pun tidak setelah pertandingan mulut yang dimenangi oleh si wanita.

"Siapa yang ngebolehin lo makan mie, hah?!"

Pria itu menarik mangkuk yang masih mengeluarkan asap tipis beraroma, yang tentu saja sangat menggoda. Siapa yang bisa menahan keseksian aroma jajaran mie?

Tidak ada.

"Lah? Siapa lo? Bapak gue?"

Rayan berdecak, masih menjauhkan mangkuk itu saat si wanitanya berusaha menggapai kembali apa yang menjadi miliknya.

"Ibu hamil nggak boleh makan mie! Nggak inget juga pernah operasi usus buntu? Perlu banget gue ingetin lagi lo nangis-nangis nggak kuat karena perut melilit? Mau lagi ngerasain itu lagi, hah?!"

Oh, siapa juga yang mau merasakannya kembali? Tapi, tak merasai sedapnya mie selama kurang lebih tiga tahun, siapa yang tak tahan?

"Tega, lo? Gue udah bertahun-tahun nggak makan mie. Bayi gue juga belum dikasih makan. Apa lo tega bayi gue kelaperan, hah?"

"Makan yang lain, jangan mie," pria itu masih kekeuh.

"HIIIIIIH!" Wanita itu langsung histeris saat Rayan mulai menyantap mie yang bahkan baru beberapa suap ia cicipi. Melahapnya dengan suapan yang besar agar cepat habis dan tak bisa kembali direbut oleh Kana.

Jahat memang, tapi hal itu yang bisa Rayan lakukan agar si pesakitan usus buntu tak lagi muncul yang bisa membuat si wanita terus saja meraung-raung tanpa tidur lebih dari dua puluh empat jam.

Tiba-tiba saja, Kana menyatukan kedua tangannya, lalu memejam. "Malaikat, tolong, catat dosa Rayan karena telah menganiaya istrinya sendiri dengan mengambil makanannya. Catat sebagai dosa besar!"

"Heh, gue udah nyelametin elo untuk nggak masuk rumah sakit, ya! Lo mau brojolin bayi segede jenglot? Mau?!"

"Lo pikir gue masak mie karena apa? Udah nggak ada bahan-bahan makanan di kulkas, baji—GUR!"

Hampir keluar lagi, kan, kata-kata mutiaranya. Padahal bagus sekali lho untuk mengumpati pria di hadapannya. Hal itu dilakukan untuk mengurasi stressor hidup; semacam manusia berbentuk Rayan.

"Tinggal delivery order, susah amat jadi manusia."

"BUTA LO MATA LO?!"

Kana semakin emosi teman-teman. Apalagi jemarinya menunjuk penuh kesal menuju jendela dengan tirai yang terbuka, di mana menandakan keadaan di luar apartemen yang cukup kelam. Sudah emosi, tingkat kesensitifan ibu hamilnya juga sedang memuncak, makin-makin saja birai mutiaranya itu. Rayan bahkan sempat tersentak dan memejam saat kilat kembali menyambar dari langit. Jadi, sudah tahu kan seciut apa dirinya saat trauma serta angkara yang bergerumul menjadi satu untuk menyerangnya di waktu yang bersamaan?

"Dah lah!"

Wanita itu beranjak dengan cepat dari kursinya, membawa serta radang amarah yang terbakar di kepala. Sungguh, dalam beberapa hari ini, entah kenapa kehadiran Rayan turut serta mencipta berang keki yang membuatnya enggan untuk melihat si pria bahkan walau hanya sejumput rambut melalui sudut matanya.

Apa memang wanita hamil selalu sensitif?

Tentu saja. Belum pernah hamil, kan? Makanya tidak tahu. Apalagi pria. Mana pernah bisa hamil?

Bunyi pintu terbanting lebih dahsyat dalam merusak rungu dibanding gemuruh petir, menandakan si wanita sedang melampiaskan amarahnya lewat benda apa pun yang tersentuh di tangan. Selain lewat birai, si wanita memang sering membuang kekesalannya dengan cara membuat barang-barang di sekitar terbanting, terlempar, atau bahkan tertendang. Itu memang sudah biasa, tapi tidak untuk kedua gendang telinganya, apalagi saat ini gemuruh hujan semakin meningkatkan suasana yang mengesalkan.

Baiklah, pria itu mengakui bahwa dirinya memiliki andil dalam membuat wanita yang sudah mendekam di kamar itu menguarkan bara angkaranya, di samping memang wanita itu juga sedang memiliki titik sensitivitas yang cukup memuncak. Lagipula, selain tadi pagi, sepertinya Kana belum lagi mengisi perutnya.

Terpaksa, untuk mengurangi rasa bersalahnya, pria itu kembali menuju kamar, mengambil ponsel dengan daya baterai yang sudah penuh. Menggeser-geser layar untuk mencari aplikasi jasa pengantar makanan, memesan apa pun yang mengenyangkan, untuk dirinya juga yang masih merasa lapar.

Belum makan nasi, belum kenyang, bos.

Namun, tentu saja, melihat cuaca yang sangat buruk, bahkan pesanannya tak ada yang mau menerima. Lagipula, siapa yang mau mengantar di tengah cuaca yang bahkan dirinya saja sangat enggan disentuh bahkan setitik hujan pada permukaan epidermis?

Birai bawahnya menjadi pelampiasan, antara rasa bersalah serta trauma akan gemuruh petir di luar sana. Sempat juga mempertimbangkan diri untuk keluar dari unit apartemen dan membeli makanan atau tetap berada di sini dan terus saja menumpuk rasa bersalah dalam diri.

Setelah mendengus kasar, pria itu beranjak mengambil sweater tebal dan kunci mobil di nakas. Saatnya membuat trauma yang terpendam untuk terbang bebas, walau dirinya tahu itu hal yang sulit.

***

Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang