[7] The Ex

2K 210 45
                                    

Pengap mendominasi dalam paru-paru. Tampak butiran debu dan jaring laba-laba menjamahi tiap sudut tertinggi di setiap ruangan. Seharusnya, hal ini tidak mengherankan bila si pemilik hunian memang mulai menjarangi diri hanya sekadar menyambangi kediamannya sendiri; yang sebenarnya merupakan tempat tinggal dirinya dengan sang kekasih apabila kala itu si pria tidak mengambil keputusan yang menorehkan banyak luka.

Dominasi warna putih, hitam, serta abu-abu pada setiap ornamen serta dinding membiaskan campur tangan Ayara semata, sebab sejauh yang Kana tahu bahwasanya pria kurus namun berpundak bidang itu lebih menyukai warna cerah, seperti biru dan merah ketimbang monokrom.

Jadi, pria itu tak mengambil alih urusan apartemen mereka sendiri?

“Kamar gue di mana?”

Oh, Rayan hampir melupakan presensi Kana yang kini berada di belakangnya, sebab pria itu terlalu sibuk memikirkan dan menyadari betapa lengkapnya peralatan rumah tangga di apartemennya sehingga sudah siap untuk disinggahi.

Namun, perihal Ayara, bahkan dirinya belum mencoba untuk merundingkan hal ini, yang memungkinkan akan membuat wanita itu kembali mengamuk dengan kalimat-kalimat bak hunusan pedang.

Dengan gerakan malas, Rayan menunjuk salah satu pintu menggunakan ujung dagu tanpa perlu menoleh, sebab dirinya meyakini bahwa Kana sudah melihat arah ruangan yang dituju. Pun suara roda koper yang bergesekan dengan lantai marmer menandakan bahwa wanita itu sudah mengetahui tempat di mana dirinya layak untuk tidur di apartemen ini. Rayan tidak akan mungkin mengizinkan wanita itu untuk menyambangi kamar utama, di mana seharusnya dirinya serta Ayara-lah yang kini menghidupi setiap sudut apartemen ini.

Dibukanya pintu ruangan itu, yang sudah Kana duga bahwa kamar yang dituju oleh Rayan merupakan kamar tamu.

Ranjang untuk ukuran satu orang, serta lemari kecil dan meja-kursi di sudut lain.

Atau, mungkin sebenarnya ini adalah kamar pembantu?

Benar-benar hanya untuk satu orang. Huh.

Belum sempat menyusuri kediaman barunya, Kana merotasikan kepala sebelum Rayan hendak kembali melajukan tungkai menuju kamar utama. “Gue tidur sendiri, nih? Terus apa gunanya lo jadi suami gue?”

Pria itu menukik alis. Wajah tirusnya mencetak raut yang terlihat tidak menyenangkan, membuat Kana tertawa sendiri tatkala candaannya justru dibawa serius oleh pria kurus itu.

“Ya elah, biasa aja kali tuh muka. Aku mah apa atuh dibanding Ayara, hanya bagai butiran Jasjus.”

Sejak dulu, wanita itu memang senang bercanda, kendati tentunya menggunakan nada menyindir. Sayangnya, kali ini Rayan memilih untuk tidak peduli; diam membisu dan kembali mengambil langkah menuju kamar utama, di mana seharusnya Ayara juga berada di sana.

Sama seperti Rayan, Kana turut tidak peduli bila sarkasan halusnya diabaikan. Dirinya kembali melajukan langkah untuk masuk ke dalam ruangan, mengeluarkan isi kopernya sembari bersenandung pelan. Setidaknya, Rayan masih mengizinkan dirinya untuk tinggal di sini, kendati hanya sementara. Setelahnya, Kana harus memutar otak mengenai bagaimana caranya menghasilkan uang guna menghidupi diri serta anaknya kelak.

Sebab Kana tahu, dirinya tidak akan bisa bergantung pada pria yang bahkan masih tampak tak rela untuk menyematkan status sebagai seorang suami.

Jika Kana memiliki sebuah hak untuk berkeinginan, dia mau Rayan ikhlas menerimanya sebagai seorang istri, bukan hanya merasa kasihan akan status anaknya kelak. Namun, Kana tahu, hal tersebut hanyalah sebuah angan. Sebab itu, mulai dari sekarang, Kana ingin membiasakan diri untuk hidup menjadi orang tua tunggal, kendati saat ini statusnya masih seorang istri.

Bukankah perjanjian awalnya memang seperti itu? Percuma mengharapkan sesuatu yang bahkan sangat mustahil untuk terjadi.

***

Dirinya mendapati lengang sunyi yang merambat di setiap sudut ruang apartemen setelah keluar dari kamar usai membereskan barang-barang miliknya. Kana menarik kesimpulan bila Rayan sudah tidak lagi berada di unit apartemen, kendati dirinya sama sekali tidak mendengar suara dentuman pintu utama. Mungkin, kala itu Kana sedang asyik sendiri merapikan kamar, hingga tidak menyadari bahwa lelakinya itu pergi tanpa memberi salam pamit.

Lelakinya? Hah, lucu sekali kedengarannya.

Kana melangkah menuju dapur yang menyatu dengan pantri, di mana dirinya hanya melihat kekosongan saat membuka satu per satu almari. Bahkan, kulkas hanya berisi dua botol air mineral berukuran besar. Setelahnya, wanita itu memutuskan untuk berbelanja bahan pokok rumah tangga di swalayan; yang sepertinya mulai menjadi sebuah kewajiban dirinya, kendati bahkan dirinya belum berunding dengan Rayan saat ini sudah berubah menjadi seorang kepala rumah tangga.

Kepala rumah tangga, ya? Sepertinya pria itu masih belum sudi menyematkan status tersebut.

Setelah mengganti pakaian yang lebih santai, Kana pergi ke swalayan yang letaknya masih berada di satu kawasan dengan gedung apartemen. Kali ini, dirinya berbelanja menggunakan uang miliknya, sebab tentu saja; Rayan sudah menghilang entah ke mana.

Didorongnya troli sambil bersenandung saat mencapai swalayan, terlebih dahulu menyambangi jajaran sayur-mayur mengingat dirinya serta janin membutuhkan makanan yang bergizi. Kana tak kesulitan memilah mana yang masih segar atau tampak layu, sebab dirinya sering berkutat di dapur, selang-seling menggantikan peran asisten rumah tangga dalam urusan makanan.

“Mbak, permisi, mau tanya. Bedanya jahe sama lengkuas apa ya?”

Kana sempat terperanjat saat seseorang tiba-tiba saja menengadahkan dua rempah yang memang tampak kembar tersebut. Setelahnya, dengan telaten Kana menjelaskan perbedaan keduanya.

“Kalau jahe kulitnya lebih halus, Mas, nah kalau lengkuas ruas-ruasnya agak kas...”

Saat Kana sedikit mendongak, dirinya mendapati pemuda tersebut merekahkan senyum padanya; mematri patri senyum khas yang masih melekat dalam memori. Kedua matanya mulai berbinar, turut mencipta senyum pada lengkung bibirnya.

“Hai!”

Pria itu tak pelak membuka rengkuhan lengan, membuat si lawan jenisnya turut melebarkan tangan dan melingkarkannya sembari menepuk-nepuk pelan punggung bidang pria tersebut; yang terasa penuh dengan otot kencang, tak dipungkiri, serta membawanya terkekeh pelan, bahwa rasa rindu itu dapat muncul merekah secara tiba-tiba kendati keduanya sudah lama tak berjumpa.

“Berhenti! Berhenti! Kamu bikin aku malu! Banyak orang, ish!"

Kana memukul-mukul lengan yang dirasa otot bisepnya itu memang cukup padat. Yah, bagaimana dirinya tidak malu di saat pria yang berada dalam pelukannya ini terus saja menggoyangkan tubuh keduanya ke kanan dan kiri.

“Bentar, aduh, kangen!”

Dirasakannya rengkuhan yang semakin mengerat, mencoba memejamkan mata untuk menghindari para lirikan tajam yang menghunus mereka berdua. Mungkin, dalam belasan detik, sang pria melepas peluk, namun masih menenggerkan kedua tangan pada lengan yang dirasa hanya ditempeli kulit itu.

“Aku sekarang udah kurus, tapi kenapa kok kamu malah kelihatan semakin kurus?”

Mencoba tak menghiraukan, Kana menurunkan kedua genggaman pada lengannya sembari tersenyum lebar saat senyum kotak itu tak pernah berubah dalam pandangannya.

Long time no see, Mbul?”

***

Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang