[6] No Shame

1.8K 208 39
                                    

Melihat begitu lahapnya si wanita dengan dua hidangan yang sudah tersaji di hadapannya, Rayan secara tak sengaja meringis pelan. Tidak, dirinya tidak ikut-ikutan mengalami peningkatan sekresi asam lambung seperti Kana. Hanya saja, saat melihat si wanita seperti orang yang belum makan berhari-hari, Rayan mulai mengakui bila dirinya memang bersalah untuk keterlambatan jam makan wanita tersebut. Namun, mau mengucap maaf pun, rasanya Rayan enggan. Sebab dirinya tahu, Kana mungkin akan menanggapinya dengan remeh.

"Kenapa lo? Kayak nggak pernah lihat gue makan aja," wanita itu melirik sambil memasukkan sesendok nasi beserta lauknya ke dalam mulut. Masalahnya, dia rada sangsi saat Rayan yang terus saja diam menatapnya, walaupun sebenarnya Kana nggak pernah merasa gengsi dengan makanan, apalagi sejenis nasi padang. Rayan sangat hapal sekali jika wanita itu bakalan kalut apabila sudah memasuki Warung Padang ini. Buktinya, ini sudah piring kedua dengan lauk yang berbeda.

"Lo nggak makan?"

Sepertinya, Kana memang harus lebih banyak menabung rasa sabar diri, sebab kali ini sepertinya Rayan berusaha untuk tidak terlalu menanggapi atau bahkan menggubris pertanyaan yang diajukan oleh wanita tersebut. Kendati sebenarnya Rayan memang agak sedikit cuek, namun sang pria tidak pernah mengabaikan Kana; ya itu sih dulu. Sekarang kan sudah berbeda.

"Udah makan, ya? Tadi sempet pulang dulu sebelum balik ke hotel?"

Tuh, kan. Belum sempat dijawab, wanita itu kembali bertanya. Sebenarnya, Kana memang sengaja melakukan hal itu, sebab sejak tadi Rayan terus saja mengambil sikap mematung; menatap wanita di hadapannya begitu lamat seakan terus saja mengirim sinyal mata untuk menghabiskan makanannya dalam waktu yang singkat.

Entahlah, bagi Rayan, kini segala tentang Kana agaknya terlalu menyebalkan. Akan tetapi, dirinya masih menyisakan setitik rasa untuk tetap berada di sisi wanita tersebut.; entah rasa iba atau justru sebaliknya. Di antara dua rasa itu, toh dirinya masih berusaha untuk berada di sisi Kana, kan? Saking dirinya merasa memiliki hutang serta rasa tanggung jawab dari sesuatu yang bahkan tidak pernah dilakukan olehnya.

Tidak, tidak. Rayan tidak ingin menyesal. Dia pikir, semua yang sudah terjadi memiliki benang takdir, termasuk apa yang sudah dirinya lakukan sampai sejauh ini. Menurut pria itu, apa yang dirinya lakukan saat ini pasti akan berbalik pada hal setimpal yang akan didapatkannya.

Hal baik akan berbalas baik juga pada dirinya, kan?

"Nggak usah banyak tanya, buruan habisin makanan lo."

Alasan Rayan saat mengalihkan jawaban yaitu; dirinya hanya tidak ingin merasa lebih bersalah sebab memilih untuk pulang lebih dulu dan sempat melupakan eksistensi Kana di hotel. Mau dilihat bagaimana pun, dirinya memang bersalah, kan?

"Habis ini, gue ikut lo ya? Gue kan nggak mungkin tinggal lagi di rumah bokap nyokap, karena lo taulah..." dengan kedua bahu yang terangkat, Kana menggantung kalimatnya. Sebab, tanpa dirinya melanjutkan dan memperjelas alasannya, Rayan sudah terlampau paham. "Untuk kali ini, tolong... Biarin gue tinggal sama lo di apartemen."

Rayan mendengus pelan. Harusnya, wanita itu memiliki rasa malu untuk mengatakan hal tersebut. Pasalnya, Rayan yakin bahwa Kana sudah mengetahui jika apartemen yang dimilikinya saat ini merupakan tempat tinggal Rayan dan Ayara setelah menikah.

"Nggak masalah kalau misalnya lo minta bayaran per bulannya. Tapi, gue minta ringanin dikit, ya? Gue udah resign dari tempat kerja gue yang lama, dan butuh waktu untuk cari kerjaan yang baru. Ya, ya?"

Agaknya, memang berat bila memperbolehkan Kana untuk tinggal di apartemen milik dirinya serta AyaraMasalahnya, Rayan bingung ingin mengatakan apa pada Ayara, apalagi sepertinya si pria juga tidak bisa menolak permintaan Kana mengingat wanita itu kini sedang tidak memiliki penghasilan yang tetap. Rayan sendiri bingung kenapa Kana harus keluar dari pekerjaannya yang lalu. Padahal yang dia tahu, Kana mendapatkan penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhannya sehari-hari di kantor itu.

"Lo nggak mikirin perasaan Ayara?"

Setidaknya, itu yang seharusnya dipikirkan oleh Kana. Wanita itu benar-benar tampak tidak tahu diri manakala menginginkan segala sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh Ayara, di saat si kekasih Rayan itu kini memilih untuk menenangkan diri beberapa hari, atau bahkan dalam hitungan minggu.

Kemarin, setelah dirinya sudah menemukan keberadaan sang kekasih, Rayan terus berusaha membujuk Ayara dengan berbagai cara, namun wanita itu tetap pada pendiriannya untuk mengasingkan diri dari siapa pun. Bahkan dengan mendengar suara Rayan barang sedikit saja, dirinya sudah merasa sakit hati. Kendati begitu, pada akhirnya Ayara memperbolehkan pria itu untuk menemaninya seharian--di saat Kana yang masih berada di hotel harus menahan lapar serta kantuk tatkala menunggu Rayan yang tidak kunjung datang untuk menjemputnya.

"Gimana keadaan Ayara?" 

Kana masih bisa makan dengan rasa lahapnya, tanpa memikirkan Rayan yang tengah menatapnya sengit seakan topik pembicaraan saat ini bukan hal yang serius. Padahal, ini tentang orang yang tengah disakiti olehnya; oleh mereka berdua.

"Masih perlu ditanya?"

Kali ini si wanita berdecak, mulai merasa tidak nafsu melahap sisa makanan di hadapannya. "Nanyain salah, nggak ditanyain juga salah. Mau lo apa, sih?"

Rayan tak sadar mengerjap kaget. Dirinya juga bingung. Mengapa dia begitu sensitif bila Kana sudah berbicara, bahkan barang satu kata pun?

"Rayan, inget," Kana mulai menekankan ucapannya. "Sampai semua ini terjadi, lo yang membuat keputusan, dan gue nggak pernah memaksa elo. Lo pikir gue peduli kalau gue nggak punya malu?"

Wanita itu menukikkan alis, seakan sedang menantang Rayan dan memicu pertengkaran di antara mereka berdua.

"Buat apa gue berdiri di altar, di samping lo, kalau gue masih punya malu? Yang gue pikirin sekarang cuma satu; yaitu gimana caranya gue bisa didik anak ini biar jadi anak yang baik; biar dia nggak kayak bapaknya. Gue nggak malu kok kalau gue hamil, toh udah kejadian juga. Gue nggak akan gugurin anak ini. Gila kali. Adanya gue malah nambah timbangan dosa." Kana menghela napas dalam satu sentakan. "Jadi, gue minta partisipasinya untuk elo berperan jadi ayah yang baik ke anak gue, sampai anak ini lahir. Lo nggak bakalan mundur dari keputusan lo sampai sejauh ini, kan? Rayan yang gue tau, nggak pernah ngejilat ludahnya sendiri. Iya, kan?"

Pria itu mulai kembali memikirkan tentang konsep benang takdir. Apakah yang dilakukan olehnya kali ini benar-benar jalan takdir untuknya? Jika saat itu dirinya memilih untuk tetap waras dan menikahi Ayara, akankah Rayan senantiasa mengalami hal seperti ini? Atau mungkin Kana yang bahkan akan semakin terasingkan sebab tidak lagi ada orang yang ingin mengulurkan tangan padanya?

Rayan mulai ragu. Sebab, dalam detik ini, muncul setitik rasa penyesalan.

***

Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang